CongkopGharduSejarahSitus

Asal Usul Suku Madura dari Zaman Megalitik hingga Era Modern

Avatar Of Dimadura
525
×

Asal Usul Suku Madura dari Zaman Megalitik hingga Era Modern

Sebarkan artikel ini

Catatan Tadjul Arifin R — Budayawan Sumenep

Batu Zaman Megalitik: Bato Beddhil Dan Batu Gong Di Pulau Sepudi. Kolase 2 Foto Hasil Tangkapan Tadjul Arifien R Dan Arif Susanto (Dokumen Dimadura.id)

Logo Dimadura.idAsal-usul Suku Madura merupakan bagian penting dari sejarah dan budaya Indonesia yang kaya. Dengan keunikan budaya dan sejarahnya, suku ini telah berkontribusi besar terhadap kekayaan budaya nasional.

Tulisan ini mencoba merangkum berbagai temuan arkeologi dan catatan sejarah yang mengungkapkan perjalanan panjang suku Madura dari zaman megalitik hingga era modern.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Melalui kajian ilmiah yang mendalam, kami berharap dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang asal-usul dan perkembangan suku Madura.


Ghardu

 

 


Asal Usul Suku Madura

» Oleh: Tadjul Arifien R – Budayawan Sumenep

Penelitian Artefak Berusia 11 Ribu Tahun Sebelum Masehi Oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, Di Dusun Bantilan Desa Da'Andung Kecamatan Kangayan Pulau Kangean, Sumenep, Madura, Senin Tanggal 20 April 2020. (Foto: Moh. Hairil Anwar)
Penelitian artefak berusia 4000 tahun sebelum masehi oleh balai arkeologi yogyakarta, di dusun bantilan desa da’andung kecamatan kangayan pulau kangean, sumenep, madura, senin tanggal 20 april 2020. (foto: moh. Hairil anwar)

Megalitikum yang sudah diteliti oleh Balai Arkeologi Pusat & Balar Yogyakarta, untuk Jawa Timur hanya ada di Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Pancor, Kepulauan Sepudi (Sumenep Madura). Adanya Batu Gong atau Batu Kennong ini menjadi bukti bahwa di Kepulauan Sepudi, Sumenep, sudah ada kehidupan 2000 tahun sebelum Masehi (Prof Mien A Rifai; 2017).

Megalitikum, penelitian kedua oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, bahwa di Gua Arca, Kampung Koladi Desa Da’andung, Pulau Kangean, diketemukannya beberapa fosil, biota dll. yang berusia ribuan tahun, sebagai bukti bahwa di Kangean Sumenep Madura ada kehidupan pada 4000 tahun sebelum Masehi (Afifah; 2019).

Pada awalnya, Pulau Jawa dan Madura adalah satu, tapi pecah dan terpisah dengan adanya pralaya besar (gempa/tsunami) yang menerpa Nusantara, dan pecah atau berpisahnya Pulau Jawa dan Madura pada tahun 124 Saka atau tahun 202 Masehi dengan Candra Sengkala Samudra Manggung Bhumi (Kakawin Nagara Kertaghama; 1357).

Datangnya Bendoro Gung, nama asli Dyah Cendrawati ke pulau Madura pada tahun 929; putri Prabu Sanghyang Tunggal (Raja Gilingwesi/Medang Kemulan) berputra Joko Segoro tanpa suami sah, berlabuh di Gunung Geger dan bermukim di Desa Nèpa Sampang. (Zainalfattah, 1951).

Pada abad ke-X, datanglah para nelayan orang Sulawesi & Kalimantan menempati pulau kosong tersebut, sebagai bukti sampai sekarang di Sumenep ada Suku Wajo (Bajo), Bugis dan Mandar dengan budaya yang sama dengan orang Madura tapi bahasanya campuran bahasa Madura (Zainalfattah, 1951 & Drs Abdurrahman, 1971).

Pada tahun 1177 saka atau 1255 Masehi, Raja Songennep (Madura) pertama adalah Nararyya Kulupkuda, sepupu Prabu Wisnuwardana, Raja Singosari, yang tentu membawa pasukan dari Singosari (Prasasti Mulamalurung, VI-a,b/1293 & Titi Surti Nastiti, 2009).

Tahun 1191 saka atau 1269 Masehi, status kerajaan dihapus oleh Raja Kertanegara, lalu mengangkat Arya Wiraraja sebagai Adipati yang dinohaken ring Songennep atau disingkirkan ke Sumenep karena berseberangan politik dengan Raja Kertanegara (Serat Pararaton 2).

Arya Adikara Wiraraja adalah orang Bali keturunan Sanghyang Pasopati, berputra Dhyang Dwijendra, berputra Mpu Witadharma – berputra Mpu Lampita – berputra Empu Barada – berputra Bahula Candra – berputra Mpu Tantular – berputra Siddhimantra, dan berputra Dahyang Manik Angkeran, selanjutnya pada Wangbang Banyakwide yang dikenal sebagai Arya Wiraraja. (Jro Mangku Pulasari, 2008).

Dengan membawa ratusan pasukan dari Singosari bersama keluarganya. Waktu itu daratan Sumenep Kota ke timur Pabian Mastasek, Marengan, Kalimo’ok, ke selatan Pinggirpapas, masih berupa laut. Terbukti sumber air tanah hingga sekarang masih asin, dan dari Kolor ke selatan Gunggung, Nembakor hingga ke Saroka ke timur masih laut, dan pada abad ke XIV mulai mengeras, (DR. Adi Sukadana, Antropolog).

Makanya Songennep asal kata Asong Ngennep, atau cekungan laut yang mengendap (Prof. Dr. MM Sukarto Kartoatmojo).

Pusat pemerintahan masih ada di tempat yang tinggi seperti di Batuputih, Tanjung, Banasare, Keles Baragung, Bukanbu, Lapataman, Gapura dan Parsanga (Drs Abdurrahman, 1971).

Pada abad XVI, keraton baru ada di Kota tapi di tempat yang tinggi, yakni Karangduak. Sedangkan di selatannya masih pantai laut dengan nama Karangraba, Kolor, Ba’andhing, Mastasek terus ke timur selatan, dan tidak bisa dihuni oleh manusia (Drs Abdurrahman; 1971). Terbukti sampai sekarang, di perumahan BSA selatan ke timur, air tanahnya masih payau.

Tahun 1559 M, pemerintahan dinasti Arya Wiraraja terputus diganti oleh putra ke-6 dari Raden Patah Sultan Alam Akbar al Fatah (Raja Demak Bintoro), yang bernama Raden Wangkowo, Tumengggung Kanduruan Pangeran Notokusumo Negoro, dengan membawa ribuan bala tentara dari Japan (wilayah Majapahit, Zainalfattah 1951 & Drs Abdurrahman, 1971).

Cina masuk Sumenep tahun 1740, pasca Geger Pacinan di Batavia, mendarat di Dungkek. Dengan bukti adanya Bongpay (kuburan Cina) dan rumah sèkot Pacènan berangka tahun sejaman (Daradjadi, 2013).

Tahun 1750 diganti lagi oleh dinasti Arya Wiraraja, yakni dinasti Bindârâ Saod hingga tahun 1928 Masehi (Werdisastra; 1914, Zainalfattah; 1951, Drs Abdurrahman; 1971, Kartosoedirdjo; 1919).

Asal nama Madura adalah lemah duro, tanah berdosa, karena tempat pelarian Bendoro Gung yang hamil tanpa suami (Zainalfattah, 1951 & Drs Abdurrahman, 1971).

Bangkalan dan Pamekasan baru ada pemerintahan sejak runtuhnya Majapahit pada tahun 1531 (Zainal Fattah; 1951).

Sebagai catatan, mayoritas kyai atau ulama pengasuh Ponpes di Madura adalah Dzurriyah Walisongo, dari trah Al Hasani & Al Husaini (Sunan Ampel, Sunan Kudus & Sunan Giri). Silsilah lengkap ada pada saya. Hanya para beliau banyak yang kurang suka bila disebut keturunan Rasulullah SAW, takut cangkolang”, katanya.

Suku Madura sebanyak 14 juta jiwa, yang mukim di Madura sekitar 4 juta jiwa, sisanya merantau (BPS, 2010).


Semua paparan tersebut berdasarkan kajian ilmiah, yang sumbernya tercantum pada setiap paragraf atau alinea. Mator sakalangkong!

Tulisan ini memberikan gambaran menyeluruh tentang asal-usul suku Madura, yang tidak hanya kaya akan sejarah tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya suku ini dalam membentuk budaya Indonesia.

Dengan adanya bukti-bukti arkeologis dan catatan sejarah yang mendalam, kita dapat lebih menghargai perjalanan panjang suku Madura dan kontribusinya terhadap keragaman budaya nasional. Semoga informasi ini dapat memperkaya wawasan kita dan menjaga warisan budaya suku Madura agar tetap hidup dan dihormati.***


Budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R. (Foto: Dokumen Dimadura.id)*) Tadjul Arifien R. – budayawan yang lahir di Sumenep, tanggal 6 Juni 1952.

Oretannya berupa opini, catatan sejarah dan budaya, kolom dan lain sebagainya tayang di sejumlah media lokal dan nasional.

Di antara buku terbarunya yang telah terbit seperti: MAHABHARATA, Akulturasi Epos India ke Nusantara, dari Hindu ke Islam (2022), SUMENEP dalam Bingkai Adat Keraton (2022), dan Kajian Situs Historis & Mitologi DINASTI ARYA WIRARAJA, Menuju puncak kejayaan Majapahit (2022), dll.