NEWS DIMADURA, SUMENEP – Perdebatan dalam Pemilihan Bupati (Pilbup) Sumenep 2024 yang berlangsung alot di UNIBA Madura, Rabu (20/11) tadi malam, tidak hanya membahas program kerja, tetapi juga merembet pada pembahasan mengenai simbol atau identitas budaya: blangkon dan odheng?
Dalam debat ketiga itu, Cabup Paslon 2 (FAHAM), KH Imam Hasyim, menyindir topi yang dikenakan Paslon 1 (FINAL), menyebutnya tidak mencerminkan tradisi Sumenep.
Paslon FINAL menjawab bahwa topi tersebut merupakan khas suku Mandar di Masalembu, sembari menegaskan bahwa blangkon bukan tradisi Sumenep, melainkan tradisi Solo. Menurut mereka, tradisi asli Sumenep adalah odheng.
Pernyataan ini memancing tanggapan budayawan senior Sumenep, Tadjul Arifien R. Ia menilai komentar tersebut kurang mendalam.
“Mungkin mereka kurang jauh pikniknya. Kalau mau memimpin Sumenep, mereka harus memahami sejarah dan budaya daerah ini, bukan sekadar mendengar kata orang,” sindir penulis buku ‘Adat Keraton Sumenep’ itu.
Blangkon: Simbol Filosofi Keraton Sumenep
Tadjul menegaskan bahwa blangkon memiliki akar budaya di Sumenep dengan filosofi mendalam. “Blangkon Sumenep memiliki filosofi abhâlângajâ ngembhân pakon—berupaya maksimal melaksanakan amanah. Ini berbeda dengan blangkon Solo,” jelasnya.
Ia menambahkan, meski ada kemiripan bentuk dengan blangkon dari daerah lain seperti Solo atau Yogyakarta, blangkon Sumenep memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terlihat pada motif, jenis, dan lipatan yang penuh makna.
“Setiap daerah, seperti Sumenep, Bangkalan, dan Pamekasan, memiliki blangkon dengan karakter unik yang harus dipahami, bukan dipukul rata,” tegasnya.
Tiga Jenis Blangkon Sumenep
Tadjul menjelaskan tiga jenis utama blangkon khas Sumenep:
1. Blângkon Pasonḍhân
Digunakan oleh bupati atau adipati sebagai pengganti mahkota, dengan sompèng (ekor) kanan sepanjang 9 cm dan kiri 6 cm. Blangkon ini dipengaruhi tradisi Pasundan karena banyak tokoh Sumenep memiliki hubungan sejarah dengan daerah tersebut.
2. Blângkon Tongkosan
Dipakai oleh pejabat dan kerabat keraton, blangkon ini memiliki ekor kanan dan kiri sepanjang 6 cm.
3. Blângkon Ghântong Rè’-kèrè’
Digunakan sehari-hari, terutama dengan busana sorjan billabanten. Ekor blangkon ini lebih panjang, sekitar 12 cm, dan memiliki sedikit kemiripan dengan odheng Ponorogo.
Budaya Lokal sebagai Simbol Kepemimpinan
Tadjul mengingatkan bahwa perdebatan tentang blangkon dan odheng seharusnya bukan untuk mempertegas perbedaan, tetapi untuk memahami kekayaan budaya Sumenep.
“Blangkon dan odheng adalah bagian dari identitas kita. Keduanya mencerminkan nilai lokal yang harus dijaga,” katanya.
Ia juga mengkritik pemahaman budaya yang dangkal dari para calon pemimpin. Menurutnya, simbol budaya seperti blangkon tidak bisa dianggap hanya sebagai aksesori, tetapi mencerminkan tanggung jawab dan amanah pemakainya.
“Kalau tidak paham maknanya, bagaimana bisa memimpin dengan bijak?” ujarnya.
Harapan untuk Generasi Muda
Sebagai penutup, Tadjul berpesan kepada generasi muda untuk belajar lebih dalam tentang warisan budaya Sumenep. Ia berharap mereka dapat menjaga tradisi ini agar tidak hilang di tengah modernisasi.
“Budaya kita adalah jati diri. Jangan hanya dilihat dari luarnya, tapi pahami nilai di baliknya,” tegasnya.
Dalam tanggapan yang disampaikan lewat media ini, Tadjul memberikan perspektif penting bahwa blangkon bukan hanya cerita masa lalu, tetapi simbol tanggung jawab yang relevan untuk masa depan.
“Perdebatan ini menjadi pengingat akan pentingnya memahami budaya lokal sebelum mengklaimnya,” pungkas Tadjul Arifien R.***