Resensi Buku
Judul: Kampung yang Hilang: Melacak Toponimi di Sumenep Kota
Penulis: Tadjul Arifien R.
Penerbit: Indis
Tahun Terbit: 2025
Tebal: 144 halaman
ISBN: 9786235618838
Harga: Rp 65.000,-
SAKÈTHÈNG RESENSI – Di tengah arus modernisasi yang begitu deras, jejak sejarah sering kali terlupakan. Nama kampung, pasar, masjid, taman, hingga makam yang dulu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, perlahan-lahan menghilang dari ingatan.
Buku “Kampung yang Hilang” hadir sebagai upaya melacak kembali toponimi (asal-usul nama tempat) di Kota Sumenep, yang kaya akan warisan sejarah.
Tadjul Arifien R., melalui bukunya ini, hendak membawa menelusuri sejarah Kota Sumenep, mengungkap nama-nama kampung yang telah berubah atau bahkan hilang seiring perkembangan zaman.
Isi Buku
Buku ini berfokus pada pelacakan nama-nama tempat di Sumenep Kota, dengan rincian sebagai berikut:
- 111 nama kampung
- 19 nama pasar
- 38 nama masjid
- 15 nama taman
- 26 nama makam
Dalam proses penelitiannya, penulis menggunakan berbagai sumber, baik dari catatan sejarah, wawancara dengan warga setempat, hingga pengamatan langsung di lapangan. Ia menggambarkan bagaimana perkembangan kota telah mengubah lanskap budaya dan fisik Sumenep.
Salah satu contoh menarik yang diangkat dalam buku ini adalah tentang Taman Patemon, yang dahulu merupakan salah satu dari tujuh taman di sekitar Keraton Sumenep.
Dahulu, taman ini berfungsi sebagai pusat kehidupan masyarakat, sumber air, serta tempat berkumpul. Namun, seiring waktu, keberadaannya semakin tergerus oleh pembangunan.
Selain itu, penulis juga mengulas bagaimana sungai-sungai besar seperti Kali Marengan dulu menjadi jalur transportasi utama, di mana perahu-perahu pengangkut hasil bumi dapat berlabuh hingga ke depan Gedung Kapetoran (sekarang Gedung RRI Sumenep). Kini, banyak dari jejak tersebut yang hampir tak dikenali lagi.
Apresiasi Kadisbudporapar Sumenep
Mohamad Iksan, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Sumenep, menyampaikan apresiasinya.
Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa Sumenep bukanlah sekadar kota tua, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan yang telah melalui berbagai era pemerintahan sejak Dinasti Arya Wiraraja hingga masa kini.
Menurutnya, pelestarian nama tempat bersejarah sangat penting untuk menjaga identitas Sumenep sebagai Kota Keris.
Ia berharap buku ini dapat menjadi inspirasi, seperti halnya Asal Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, yang berhasil merekam jejak sejarah di tengah dinamika kota besar.
Jejak Sumenep yang Terlupakan
Bagi saya, buku ini bukan sekadar kumpulan catatan sejarah, tetapi juga sebuah upaya menghidupkan kembali jejak-jejak yang hampir terlupakan di Sumenep.
Ada banyak buku yang membahas sejarah Sumenep, tetapi hanya sedikit yang mampu merangkai topografi kota dalam narasi yang menghidupkan kenangan kolektif warganya.
Kampung yang Hilang karya Tadjul Arifien R. berhasil melakukannya dengan sangat apik. Ada upaya menghidupkan kembali jejak-jejak yang hampir terlupakan di Sumenep.
Buku ini tak ubahnya perjalanan menelusuri ingatan kota yang terus berubah, dari kampung-kampung yang lenyap, pasar yang berganti rupa, hingga taman dan makam yang kini hanya tersisa dalam ingatan.
Melalui riset mendalam dan wawancara dengan berbagai sumber, penulis merekonstruksi keberadaan kampung-kampung yang kini tak lagi terlihat di peta.
Dengan gaya bertutur yang mengalir, ia mengajak pembaca untuk memahami bagaimana dinamika sosial, ekonomi, dan budaya telah membentuk wajah kota dari masa ke masa.
Lebih dari sekadar nostalgia, buku ini juga menjadi refleksi bagi kita tentang pentingnya menjaga jejak sejarah sebagai bagian dari identitas kolektif.
Dalam setiap lembarnya, kita diajak untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga memahami bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu kota selalu membawa cerita yang patut didokumentasikan.
Pesan mendalam tergambar dalam berbagai fragmen sejarah yang disajikan: “Kota bukan hanya bangunan, tetapi juga ingatan yang hidup dalam benak warganya.”
Kalimat di atas menegaskan bahwa jejak sejarah tidak hanya terukir dalam prasasti atau peta, tetapi juga dalam kisah yang diceritakan dari generasi ke generasi. Perspektif ini mengingatkan kita pada pemikiran Pierre Nora tentang les lieux de mémoire, bahwa tempat-tempat sejarah bukan hanya soal fisik, tetapi juga makna yang disematkan padanya oleh manusia.
Selain menawarkan catatan sejarah, lewat buku ini Tadjul seperti hendak mengajak kita untuk lebih peka terhadap perubahan kota yang kita tinggali. Setiap perubahan, baik itu hilangnya kampung lama atau bergantinya fungsi suatu tempat, selalu membawa konsekuensi sosial yang harus dipahami secara mendalam.
Dengan gaya penulisan yang ringan namun kaya informasi, Kampung yang Hilang lebih dari sekadar buku sejarah. Ia adalah jendela untuk melihat Sumenep dari sudut pandang yang lebih luas, menghargai jejak masa lalu, dan merawatnya dalam ingatan kolektif.
Sebuah bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami Sumenep tidak hanya sebagai kota, tetapi sebagai ruang hidup yang terus berkembang.***