SASTRA DIMADURA – Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang pemuda bernama Budi. Ia terkenal sebagai anak yang rajin dan pintar. Namun, ada satu hal yang membuat Budi berbeda dari teman-temannya, yaitu kebiasaannya menulis di buku catatan kecil yang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi.
Buku catatan itu sudah lusuh, sampulnya mulai mengelupas, dan beberapa halaman dalamnya sudah kusut karena seringnya dibuka dan ditulis. Meskipun begitu, bagi Budi, buku catatan itu adalah benda paling berharga yang dimilikinya.
Semua bermula ketika Budi masih duduk di bangku sekolah dasar. Gurunya, Pak Joko, sering menekankan pentingnya mencatat hal-hal penting di buku.
“Menulis itu mengikat ilmu,” kata Pak Joko suatu hari. Sejak saat itu, Budi mulai rajin mencatat segala hal yang ia pelajari di sekolah. Bahkan, kebiasaan itu berlanjut hingga ia lulus sekolah dasar dan memasuki sekolah menengah pertama.
Suatu hari, Budi menemukan bahwa menulis bukan hanya sekadar mencatat pelajaran, tetapi juga bisa menjadi cara untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Ia mulai menulis cerita-cerita pendek, puisi, dan bahkan catatan harian. Buku catatan kecilnya itu menjadi saksi bisu perkembangan dirinya.
***
Di halaman pertama buku catatannya, Budi menulis tentang mimpi-mimpinya. “Suatu hari nanti, aku ingin menjadi seorang penulis terkenal,” tulisnya dengan semangat.
“
Setiap kali ia menulis cerita baru, ia merasa satu langkah lebih dekat dengan mimpinya, dan pada sore hari, ketika Budi sedang duduk di bawah pohon besar di depan rumahnya, ia melihat sekelompok anak bermain layang-layang.
“
Ia teringat masa kecilnya dan betapa ia sangat menikmati bermain layang-layang bersama teman-temannya. Ia segera membuka buku catatannya dan mulai menulis tentang kenangan itu.
“Layang-layang di langit biru, terbang tinggi bersama angin. Kami berlari di padang rumput, tertawa dan bersorak. Ah, betapa indahnya masa kecil,” tulis Budi dengan perasaan hangat.
Buku catatan itu juga menyimpan kisah cinta pertama Budi. Di bangku sekolah menengah pertama, Budi menyukai seorang gadis bernama Ayu. Siti adalah gadis yang manis, pintar, dan selalu ramah kepada siapa saja. Namun, Budi terlalu pemalu untuk mengungkapkan perasaannya.
Setiap kali ia melihat Ayu, jantungnya berdebar kencang. Ia mencurahkan perasaannya ke dalam tulisan. “Hari ini aku melihat Ayu lagi. Senyumnya selalu membuatku merasa bahagia. Tapi, aku tak pernah berani mengatakan apa yang kurasakan,” tulisnya di salah satu halaman buku catatannya.
BACA JUGA:
Pada saat itu, Budi mendengar kabar yang membuat hatinya hancur. Ayu akan pindah ke kota lain karena ayahnya mendapatkan pekerjaan baru.
Hari itu, Budi merasa dunianya runtuh. Ia menulis dengan hati yang berat, “Hari ini, Ayu berkata bahwa ia akan pindah. Aku merasa sangat sedih. Mungkin ini saatnya aku harus merelakannya.”
***
Setelah lulus sekolah menengah atas, Budi memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di kota. Ia membawa buku catatannya yang sudah penuh dengan tulisan-tulisan kenangan. Di kota, Budi menghadapi banyak tantangan baru. Ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dan belajar hidup mandiri.
Di waktu senggangnya, Budi tetap menulis. Ia menuliskan pengalaman-pengalamannya di kota, pertemuannya dengan orang-orang baru, dan perjuangannya mengejar mimpi menjadi penulis.
“
Kota ini penuh dengan kehidupan. Setiap sudutnya menawarkan cerita yang menunggu untuk dituliskan,
“ tulisnya suatu hari.
Pada suatu hari, Budi menghadiri sebuah seminar menulis yang diadakan di kampusnya. Pembicara pada seminar itu adalah seorang penulis terkenal bernama Pak Bambang. Setelah seminar selesai, Budi memberanikan diri untuk mendekati Pak Bambang dan menunjukkan buku catatannya.
Pak Bambang membaca beberapa halaman dengan seksama. “Kamu punya bakat, Budi. Tulisanmu sangat menyentuh dan penuh dengan perasaan,” kata Pak Bambang. “Teruslah menulis, dan jangan pernah berhenti bermimpi.”
Kata-kata Pak Bambang itu membuatnya Budi memperbarui semangatnya. Ia merasa bahwa mimpinya bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dengan bimbingan dari Pak Bambang, Budi mulai mengirimkan tulisannya ke berbagai media. Beberapa bulan kemudian, salah satu cerpennya dimuat di sebuah majalah terkenal. Budi sangat bahagia dan segera menulis tentang pengalamannya itu di buku catatannya.
“Hari ini adalah hari yang tak akan pernah kulupakan. Cerpenku dimuat di majalah! Aku merasa sangat bangga dan bersyukur,” tulisnya dengan hati yang penuh kebahagiaan.
***
Setelah beberapa tahun tinggal di kota dan meraih beberapa kesuksesan, Budi memutuskan untuk pulang ke desanya. Ia merasa rindu dengan suasana desa dan keluarganya. Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa cemas. Apakah ia akan bisa tetap menulis dengan baik di desa yang terpencil?
Di desa, Budi menemukan bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja. Ia menulis tentang kehidupan sehari-hari di desa, tentang orang-orang yang ia temui, dan tentang kenangan masa kecilnya. Buku catatannya yang baru kembali penuh dengan tulisan-tulisan yang mengalir dari hatinya.
Suatu hari, Budi menemukan bahwa buku catatannya sudah penuh. Ia merasa sedikit sedih, tetapi juga bangga karena ia telah mengisi setiap halaman dengan cerita hidupnya. Ia membeli buku catatan baru dan menuliskan sesuatu di halaman pertama.
“Buku catatan ini adalah awal dari petualangan baru. Aku akan terus menulis dan mengejar mimpiku. Semoga setiap halaman yang kutuliskan bisa membawa kebahagiaan dan inspirasi.”
***
Waktu terus berlalu, dan Budi tumbuh menjadi penulis yang dikenal banyak orang. Ia telah menulis beberapa buku yang sukses dan memberikan banyak inspirasi bagi pembacanya. Namun, satu hal yang tidak pernah berubah adalah kebiasaannya menulis di buku catatan.
Buku catatan Budi bukan hanya menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya, tetapi juga menjadi warisan berharga bagi generasi selanjutnya. Anak-anak di desanya sering datang untuk mendengarkan cerita-cerita Budi, dan mereka merasa terinspirasi untuk menulis juga.
Suatu hari, Budi memberikan salah satu buku catatannya kepada seorang anak kecil yang sangat gemar menulis. “Teruslah menulis, dan jangan pernah berhenti bermimpi,” kata Budi sambil tersenyum.
Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (UNISMA). Aktif di beberapa Organisasi Mahasiswa salah satunya Himpunan Mahasiswa Jurusan (English Student Association), LPM Fenomena (FKIP), Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Malang Raya, PMII Rayon Al-Kindi, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Keguruan, dan Kabiro Malang Koran Metro 7 Online. Beberapa karyanya telah di muat di media Online dan Cetak di antaranya Majalah Sidogiri Edisi 179, Warta Universitas Surabaya Edisi 335, 338, dan 339 (2023), Koran Harian Bhirawa (2022), Nolesa “Berimbang dan Mencerdaskan”(2022), Negeri Kertas “Jurnal Sastra dan Seni Budaya”(2022), Gerakan “Sadar Membaca” Rumah Baca.Id (2022), Rumah Literasi Sumenep (2022), Tiras Times (2022), Riau Sastra (2023), Terminal Mojok (2023), Ngewiyak (2023),Koran Suara Merdeka (2023), Jawa Pos Radar Banyuawangi (2023), Jawa Pos Radar Bogor (2024), Dunia Santri (2024). Penulis bisa dihubungi melalui email muhammaddzunnurain63@gmail.com
Respon (1)