Esai Sejarah: Tadjul Arifien R.
1. Pertahanan di Kamal
Kamal Madura sebagai pintu gerbang terdepan pulau Madura dan merupakan pertahanan utama di wilayah Madura, di selatannya yakni di Batuporron merupakan pangkalan Angkatan laut yang cukup strategis.
Karena tentara Belanda selalu gagal memasuki wilayah Madura, baik secara frontal maupun secara perundingan, mereka mencoba menerobos benteng pertahanan TKR di Pelabuhan Kamal.
Tanggal 5 Juli 1946, Komandan Batalyon Mayor Imran pergi ke Bangkalan, pimpinan di ambil alih Letnan Saleh (R. Moh. Saleh Prawiringkusuma), sedangkan Kapten Muninggar selaku Kepala Staf.
Pasukan Belanda mencoba menerjunkan tank amphibinya dikawal oleh delapan buah jagers (pesawat pemburu), akan mendarat di Kamal, sambil menembakkan meriamnya dari arah laut secara bertuntun.
Begitu tank-tank amphibi Belanda telah mendarat, tentara TKR yang bertahan di depan kantor kecamatan bergerak maju menyambutnya, sekalipun pasukan Belanda berbentengkan tank berlapis baja.
Waktu pertempuran sedang berlangsung Letnan Saleh memberi komando agar Kompi Suyuti dari Pedeng maju. Pertempuran tak bisa dihindari lagi, korban berjatuhan dari pihak pejuang membuat Letnan Ramli marah dan geram.
Beliau mengarahkan steeling (senapan mesin) ke arah tank Belanda, tembakan gencar diarahkan ke arah musuh yang berada dalam kendaraan lapis baja.
Begitu amunisinya habis langsung mencabut pedangnya dan melompat ke atas tank amphibi membabat serdadu Belanda yang ada di dalam.
Beliau mengamuk bagaikan banteng ketaton, seorang tentara Belanda menjadi korban amukannya. Dan dari arah lain seorang tentara Belanda menembak dengan bertubi-tubi, beberapa peluru menerjang tubuhnya dan Letnan Ramli tersungkur jatuh kebumi.
Gugurlah pahlawan asal Sumenep, sebelum kematian-nya masih sempat membantai tentara musuh.
Dengan gugurnya Letnan Ramli, Letnan Saleh memerintah Letnan Singosastro yang memegang trekbom, tapi sebelum sempat melakukan, dia terkena sasaran peluru hingga gugur.
Selanjutnya maka Letnan Saleh memerintah Letnan Abdullah di Pos lain yang juga memegang trekbom, kena tembak juga hingga gugur.
Ketika itu posisi Letnan Saleh hanya berjarak tiga meter dengan musuh, pahanya kena tembak peluru tapi tidak mati.
Peristiwa gugurnya Letnan Ramli dan kawan-kawannya, memberikan kesan kepada Belanda bahwa semangat perjuangan rakyat Madura tetap bergelora, dengan demikian pihak Belanda mengambil siasat lain.
Letnan Ramli gugur pada hari Jum’at tanggal 5 Juli 1946 pukul 07.30 WIB, sebagai kusuma bangsa, jasadnya dikuburkan di pemakaman keluarga Raja-raja Sumenep di Astatinggi.
Beberapa hari kemudian beberapa pesawat udara Belanda terbang di atas wilayah Kamal dan Socah, dengan demikian pertahanan serangan udara dari pihak TKR di tempatkan di desa Pedeng kecamatan Socah Bangkalan.
Kala pesawat Belanda menembak dari udara dan dibalas oleh tentara pejuang, dua pesawat Belanda kena tembak jatuh ke laut. Satu jatuh di selat Kamal, antara Socah dan Gresik, satunya lagi jatuh di Socah.
Satu jam kemudian pesawat Belanda kembali lagi untuk menembak pertahanan udara para pejuang, dan membawa korban di pihak TKR yang berpangkat Sersan.
Dengan gugurnya Letnan Ramli dan kawan-kawan, pertahanan di Kamal semakin lemah, korban anggota kelaskaran banyak yang gugur, untuk tidak mengorbankan rakyat sipil, maka mereka diungsikan ke Desa Gili Timur.
Sangat disayangkan, waktu Belanda mulai mendarat di Kamal, Komandan Batalyon VI Mayor Abd. Azis membubarkan Batalyonnya, dan dirinya “menyebrang” pada Belanda kemudian dijadikan anggota barisan Cakra dengan pangkat Letnan.
2. Belanda masuk wilayah Sumenep
Berhubung dengan gencarnya serangan tentara Belanda di pertahanan Kadur Pamekasan sehingga para pejuang mencari lokasi pertahanan lain untuk mengatur strategi.
Sebagian lagi menuju arah Sumenep untuk mempertahankannya, karena Sumenep merupakan pertahanan akhir di wilayah Madura. Sesampainya pasukan Gerilya di Gunung Topoar diguyur hujan lebat dan terpaksa bermalam di sana.
Setelah pertahanan Kadur ditinggalkan, maka para Pejuang mengadakan pertahanan di Desa Kertagenna batas Pamekasan – Sumenep.
Belanda terus mengejar pasukan pejuang, lalu pihak pasukan tentara Belanda membuat pertahanannya di Cen-lecen yang tidak seberapa jauh dari lokasi pertahanan para pejuang.
Untuk mencegah tentara Belanda doorstoot ke Sumenep, maka di daerah Guluk-guluk diberi satu regu MB (Mobile Brigade) pertahanan di bawah komando Ajun Inspektur Polisi R. Abd. Kadir dan barisan Sabilillah di bawah pimpinan K. Abdullah Sajjad.
Markas Resimen 35 Jokotole atau TKR yang semula ada di sekitar Batuampar menuju ke Karangtenga Kecamatan Rubaru Sumenep. Pada tanggal 8 Oktober 1947, pasukan Belanda di Cen-lecen mengadakan serangan ke pertahanan para pejuang di Guluk-guluk.
Di sana, pasukan Belanda diterima oleh para Pejuang, kemudian tentara Belanda terus menuju Ganding sambil memperbaiki jembatan yang telah dihancurkan.
Saat itu situasi masyarakat Madura kacau, karena pertahanan penghabisan (Sumenep) menghadapi ancaman serangan secara besar-besaran dari tentara Belanda.
Pada tanggal 11 November 1947 musuh terus mengadakan doorstoot ke Sumenep yang dilindungi oleh kurang lebih tujuh buah pesawat terbang.
Pertempuran berjalan dengan sengitnya karena serangan dari udara terus menerus dilakukan sepanjang hari meskipun dalam keadaan hujan. Sumenep telah diserang dari segala jurusan:
- Dari jalan Utara, Pasongsongan – Ambunten – Sumenep.
- Dari arah selatan yakni: Ganding – Sronggi – Sumenep.
- Dan dari atas dengan pesawat tempur udara.
Pasukan musuh melalui Ganding – Saronggi sementara terhambat karena jembatan kali Saroka di Nambakor telah dihancurkan. Yang paling kuat serangan musuh yaitu melalui Ganding – Lenteng, karena pasukannya merupakan hoofdanval dari mereka.
Hasil pembumihangusan agaknya terlambat dilakukan karena waktunya sangat kurang tepat sehingga pejuang yang diserahi tugas kebingungan, apalagi datangnya stootgroop dari musuh lebih cepat dari yang diperkirakan.
Pertahanan dari Sector III, yang ada di Kertagenna dalam keadaan bahaya, dengan masuknya tentara Belanda ke kota Sumenep, karena pertahanan para pejuang dikepung oleh Belanda. Maka pada tanggal 11 – 12 November 1947, Mayor RA.
Mangkuadiningrat sebagai Komandan Sector III memindahkan pertahanan dari Kertagenna menuju ke wilayah Sumenep, untuk membantu Sektor IV.
Yang strateginya direncanakan sebagai berikut:
Bagian utara yang dipimpin oleh Kapten Mudhar Amin menyerang musuh yang ada di Cen-lecen, sesudahnya terus ke jurusan Sumenep dan berkumpul di daerah Rubaru
Bagian selatan dipimpin oleh Letnan Slamet Kamaludin menyerang pertahanan musuh dari arah Prenduan selanjutnya terus menuju Sumenep kemudian berkumpul di Rubaru.
Sisanya, Staf dari Sektor III yang dipimpin oleh Mayor RA Mangkuadiningrat, sendiri melaui jalan tengah terus menuju Rubaru.
Di waktu sektor Pamekasan menuju Sumenep, kala itu pusat pertahanannya ada di Desa Karangtenga, waktu melakukan perjalanan melewati jalur Pakong, Batuampar, Payudan Daleman dan terus ke timur selalu dikejar-kejar oleh pasukan Belanda.
Sampai di Desa Gaddu masuk kecamatan Ganding, terjadi tembak menembak dengan tentara Belanda yang tahu-tahu sudah berada di depannya.
Pertempuran yang cukup menegangkan bulu roma, apalagi tentara Belanda dibantu oleh barisan Cakra, sehingga pasukan TKR cerai-berai akibat serangan yang bertubi-tubi. Banyak pejuang yang menyelamatkan diri masing-masing, termasuk Abd. Muhni, Sama’udin dan Bunayya.
Sehingga Prajurit Imran (dari Damala Pajagalan Sumenep) menjadi korban tembakan peluru tentara Belanda, jenasahnya tidak tertolong karena waktu itu Kompi IV sudah cerai-berai akibat serangan yang mendadak.
Prajurit Imran gugur sebagai kusuma bangsa yang darah harumnya membasahi Bumi Pertiwi.
Gambaran pertahanan di wilayah Sumenep, banyak lokasi strategis yang ditanami ranjau, tapi tidak sedikit juga yang gagal karena pejuang kurang pengalaman cara memasangnya, bahkan sering merenggut jiwanya.
Seperti yang akan di pasang di desa Gaddu, oleh pasukan Resimen 35, di kala ranjau akan dipendam oleh Prajurit Alwan dari Karangduak Sumenep, langsung meledak dan merenggut jiwanya.
Padahal Prajurit Alwan sebelumnya sudah terbiasa membuat granat yang hasilnya hingga mencapai delapan peti.
Pada tanggal 13 November 1947 datang penyelidik dari Sumenep melaporkan, bahwa pada waktu musuh mengadakan serangan di sana kurang kuat pertahanannya dan daerah yang strategis sudah dikuasai musuh.
Dan para pejuang mundur sampai kampung Lubulu Rubaru kemudian terus ke Tenonan Manding dan akhirnya ke Bangkal Kecamatan Kota Sumenep.
Dari Bangkal para pejuang pulang ke rumahnya masing-masing, karena Sumenep telah diduduki Belanda.
Jalur yang di lewati pejuang dari Pamekasan memuju Sumenep yakni:
TKR lewat jalur utara: Pamekasan, Kadur, Pakong, Jaddur, Batuampar, Payudan daleman, Nangger, Ganding, Lenteng, Rubaru, Manding, Tenonan, Bangkal terus ke Kota Sumenep
MB lewat jalur tengah: Pamekasan, Bandungan, Cen-lecen, Bakeong, Dungdang, Guluk-guluk, Ganding, Lenteng, Kebunagung, Karangtengnga, Manding, Lanjuk
Setelah pertempuran berjalan hingga tiga setengah bulan melawan tentara Belanda dengan kekuatan yang ada, maka Sumenep dapat dikuasai.
Secara perhitungan bila para pejuang melanjutkan perlawanan secara frontal maupun secara gerilya akan sia-sia belaka. Karena disamping persenjataan yang sangat kurang memadai juga tidak memungkinkan menghadapi pasukan Belanda secara frontal.
Bila diadakan perang gerilya seperti di Jawa tidak mungkin bisa dilakukan, karena keberadaan geografis pulau Madura tidak memungkinkan, selain tidak mempunyai hutan yang berarti juga keberadaan desa-desanya tidak bisa dijadikan basis karena kurangnya persediaan makanan. (*)
4AqH6px8UNDTUn2w8LUY