GARDU, BUDAYA DIMADURAID – Setiap cap layangan aduan di Madura memiliki filosofi arti masing-masing. Cap atau Gambar pada layangan aduan di Madura disebut dengan istilah ‘ḍâḍâ‘.
Dalam unggahan sebelumnya, DimaduraID telah menghadirkan artikel untuk paramaos dengan judul: Macam-macam Cap Layangan Aduan di Madura, Apa Arti Ḍâḍâ Songot?
Pada kesempatan ini, penulis hendak mengulas lebih mendalam soal filosofi ḍâḍâ songot (gambar kumis, baca: Bahasa Madura) berdasarkan karakter dan sejarah orang Madura.
Arti Ḍâḍâ dan Songot
Untuk dapat menangkap filosofi atau makna dari istilah ‘ḍâḍâ songot’ sebagai cap khas layangan aduan di Madura, kita mesti mengetahui arti ḍâḍâ dan songot secara literer terlebih dahulu.
Ya, benar. Jika istilah ḍâḍâ songot ini kita terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka ḍâḍâ songot berarti cap kumis. Tetapi coba kita runut satu per satu arti dari masing-masing kata yang membentuk frasa dua kata tersebut!
Secara denotatif, kosakata “ḍâḍâ” dalam Bahasa Madura berarti dada dalam Bahasa Indonesia. Jadi, terjemah Cap Kumis terkesan sesuai dengan rasa istilah (sense of language) ‘ḍâḍâ songot’.
Sebab, kata ḍâḍâ dalam bahasa Indonesia berarti dada, bukan cap. Sementara arti songot adalah kumis. Nah, jika mengacu pada kisah sejarah Pak Sakera, songot lebih pas dimaknai sebagai lambang keberanian dan keangkuhan seorang lelaki sejati.
Songot Pak Sakera
Masyarakat Madura tentu kenal siapa itu Pak Sakera. Ia adalah tokoh pejuang kelahiran tanah Bangkalan, Madura, yang sangat anti terhadap penjajahan.
Ia terkenal sang penumpas ketidak-adilan yang gagah nan sakti mandraguna. Kepiawaiannya dalam menggunakan celurit mampu menggagalkan rencana jahat Belanda yang menyasar dirinya.
Andai saja ibunya tak dijadikan sandera kala itu, tentu pria sejati dengan khas kumis (songot) melintir itu tak kan jatuh dalam tahanan penjajah.
Kaitannya dengan ḍâḍâ songot atau lambang kumis layangan aduan di Madura, boleh jadi karena wajah berkumis Pak Sakera masih melekat dalam hati masyarakat Madura.
Untuk mengenangnya, maka diletakkanlah lambang kumis Pak Sakera sebagai salah satu macam lambang pada aduan layangan di Madura.
Filosofi Ḍâḍâ Songot
Merujuk tutur penjelasan di atas, maka kopè’an addhuwân ḍâḍâ songot menurut penulis lebih tepat kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ‘layangan aduan lambang kumis’.
Terjemah ‘lambang kumis’ untuk istilah ḍâḍâ songot penulis kira lebih mengena dari sudut rasa bahasa (sense of language) ketimbang cap kumis atau dada kumis.
Sekian, jika di antara paramaos memiliki pendapat yang berbeda, tentu saya akan sangat bahagia atas saran, kritik dan/atau masukan kalian. Sekian, mator sakalangkong! ***