BudayaGardu

Filosofi Pèrèt Kanḍung, Sebuah Tradisi Upacara Adat di Madura

Avatar Of Dimadura
4921
×

Filosofi Pèrèt Kanḍung, Sebuah Tradisi Upacara Adat di Madura

Sebarkan artikel ini
Prosesi Pemandian Upacara Pèrèt Kanḍung Di Desa Totosan Sumenep Madura, Mila &Amp; Yudi (Foto/Sc Youtube Jajak Sekitar)
Prosesi Pemandian Upacara Pèrèt Kanḍung di Desa Totosan Sumenep Madura, Mila & Yudi (Foto/Sc Youtube Jajak Sekitar)

Img 20230304 014921 202 E1680177139947Ghârḍu, Budaya–Berikut ini filosofi tahapan upacara pèrèt kanḍung di Madura, diantaranya ada tulisan carakan pada kulit nyèor ghâḍḍhing.

 

Pemahatan aksara carakan pada kulit nyèor ghâḍḍhing dalam tradisi pèrèt kanḍung merupakan salah satu tahapan persiapan sebelum upacara selamatan 7 bulan kehamilan pasutri di Madura.

 

Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini masih lestari di 4 kabupaten yang ada di Madura, baik di Sumenep, Pamekasan, Sampang, maupun di Bangkalan.

 

Arti Istilah Pèrèt Kanḍung

 

Di beberapa daerah, upacara selamatan 7 bulan kehamilan ini memiliki sebutan nama atau istilah yang berbeda. Ada yang menyebut pèrèt kanḍung, ada pula yang mengistilahkannya dengan sebutan pèlèt kanḍung atau pèlèt bhetteng.

 

Sebenarnya, kosakata pèrèt dengan pèlèt tidaklah beda, sama berarti pijat stau memijat. Hanya saja, aksen atau dialek penyebutan kosakata tersebut tidak sama antara satu dengan daerah lainnya.

 

Istilah pèrèt kadung berarti pijatan halus dan pelan untuk kandungan seorang ibu yang hamil. Demikian arti kata pèlèt dalam Bahasa Madura juga berarti pijatan lembut nan khusus untuk bagian tubuh tertentu pada tubuh seseorang.

 

Jadi, pèlèt dalam Bahasa Madura tidak sama dengan maksud kosakata pèlèt dalam Bahasa Jawa, yang lebih cenderung ke makna sihir atau jampi-jampi.

 

Demikian penjelasan singkat tentang persamaan dan perbedaan istilah untuk tradisi selamatan 7 bulan kehamilan atau pèrèt kanḍung di Madura.

 

Nah, sebelum pelaksanaan upacara pèrèt kanḍung, ada sebuah tradisi perayaan kehamilan lain yang kita kenal dengan upacara nanḍâi.

 

Upacara Nanḍâi

 

Jika pelaksanaan upacara pèrèt kanḍung dilakukan pada 7 bulan usia kehamilan, maka waktu perayaan upacara nanḍâi adalah saat kandungan mencapai umur 30 hari atau 1 bulan.

 

Nandâi berarti menandai usia kehamilan berdasarkan bulan dalam kalender hijriah atau masehi. Tujuannya adalah untuk memberi kesaksian bah­wa seorang ibu telah mulai mengandung.

 

Selama rentang masa kehamilan, mulai dari bulan pertama hingga bulan kesembilan, seorang ibu akan menandai usia janinnya dengan meletakkan sebutir manjhilân (bigilan atau biji nangka) di atas wadah berupa lèpèk atau lèpèr (piring mini).

 

Sebagaimana arti kata nanḍâi (menandai), seiring terus bertambahnya jumlah manjhilân di lèlèpèr, si pasutri pun akan selalu terkesan dan berdebar-debar menunggu kehadiran si buah hati, yakni hingga usia kehamilan mencapai 9 bulan 10 hari.

 

Upacara Pèrèt Kanḍung

 

Sebenarnya, upacara pèrèt kanḍung atau pèlèt kanḍung merupakan upacara sisipan dari tradisi Nanḍâi, yakni ketika usia jabang bayi masuk 7 bulan kehamilan.

 

Upacara ini biasanya berlangsung cukup meriah karena seluruh kerabat baik dari pihak suami maupun si istri turut merayakannya.

 

Tak hanya itu, para tetangga desa terdekat pun juga diundang datang agar turut menyaksikan upacara tujuh bulanan ini.

 

Anggap saja nama si pasutri Mohammad Abdul Aziz dan Siti Wardaniah. Sejak saat itu, mereka berdua bakal menjadi pusat perhatian sanak-saudaranya karena sebentar lagi bakal dikaruniai buah hati alias momongan.

 

Upacara pèrèt kanḍung ini bertujuan agar si ibu bersama calon buah hatinya senantiasa sehat dan selamat hingga waktu kelahiran.

 

Untuk itu, menjelang hari perayaan pèrèt kanḍung, mereka berdua bersama keluarga besar biasanya harus mempersiapkan sejumlah hidangan dan peralatan sebagai berikut.

 

Hidangan Upacara

 

Ada beberapa perlengkapan yang mesti dipersiapkan oleh si pasutri atau keluarga besarnya sebelum tiba hari perayaan.

 

Selain makanan dan minuman untuk para undangan, pihak keluarga juga harus menyediakan sajian berupa hidangan rasol, berisi jhâjhân ghenna’ atau kue 7-9 macam.

 

Selain itu, ada pula kue procot atau ketan kuning dengan balutan daun pisang bentuk kerucut. Kemudian juga jhubâdhâ (makanan khas Prenduan), tettel, jhinḍhul, la’ang (legen) dan lemmeng (semacam penganan dari ketan yang dibakar bersama bumbu).

 

Perlengkapan Upacara dan Filosofinya

 

Selanjutnya, tidak lupa keluarga si Abdul Aziz dan Siti Wardaniah juga mesti mempersiapkan perlengkapan upacara mandi pèrèt kanḍung, antara lain sebagai berikut:

 

1. Dua cengkèr nyèor ghâḍḍhing

 

Cèngker nyèor ghâḍḍhing maksudnya kelapa gading yang masih muda, bertuliskan aksara carakan lengkap dari a hingga nga, abjad latin, huruf arab, dan lafadz shalawat kepada Nabi Muhammad.

 

Berikut juga nama si ibu dan si ayah ditulis secara terpisah di masing-masing 2 kelapa gading muda seperti foto di bawah ini.

Tulisan Carakan Dan Arab Pada Nyèor Ghâḍḍhing Atau Kelapa Gading Untuk Upacara Pèrèt Kanḍung Di Madura (Foto/Mazdon)
Tulisan carakan dan arab pada nyèor ghâḍḍhing atau kelapa gading untuk upacara pèrèt kanḍung di madura (foto: mazdon/arsip @dimadura)

Tulisan-tulisan tersebut dimaksudkan sebagai pengharapan agar kelak anak yang dilahirkan mahir dalam ilmu agama dan ilmu tèngka (kahlak), terutama juga pengetahuan yang berkaitan dengan budaya daerah setempat.

 

Berbeda dengan daerah Tapal Kuda dan Jawa dengan penduduk mayoritas Madura, peret kandung di Madura jarang yang menuliskan ukiran Arjuna dan Sembodro pada nyèor ghâddhing untuk upacara pemandian.