dimadura
Beranda Pangkèng Kosa Kata Ghemmet atau Ghunḍhâs?

Ghemmet atau Ghunḍhâs?

“Ghemmet atau Ghunḍhâs?” | Kolom Bahasa, oleh: Mazdon

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1KOSAKATA, DIMADURA – Orang Madura punya cara unik untuk menilai perilaku manusia lewat kosakata. Dua kosakata Bahasa Madura yang kadang orang Madura sendiri kurang tepat menggunakannya adalah (antara) ghemmet ataukah ghunḍhâs.

Ghemmet dan ghunḍhâs sama berarti “habis” tak bersisa, tapi nuansa makna keduanya beda jauh. Seperti bedanya nasi tumpeng dengan nasi kucing. Sama-sama nasi, tapi tidak untuk momen yang sama.

Ghemmet adalah kata yang netral dan lebih dekat dengan hal-hal positif. Biasanya dipakai untuk hal-hal yang wajar dan lumrah habis.

Misalnya, “Obus la, jhâjhânna ghemmet!” (habis sudah, kuenya tak bersisa!). Kalimat ini biasanya diucapkan dengan nada puas, pertanda kue buatan istri enak, karena habis diserbu tamu.

Bisa juga untuk uang. Contoh, “Pèssèna ghemmet la èpamajâr SPP-na ana’na.” (Uangnya sudah habis, buat bayar SPP-nya anak kita).

Tidak ada nada sesal di situ, justru terselip di dalamnya, rasa puas. Okara atau kalimat tersebut seperti memuat rasa bangga yang tersembunyi: habis, tapi untuk sesuatu yang benar.

Beda halnya dengan ghunḍhâs. Satu jalan beda tujuan. Kata ini lebih menunjuk rasa getir. Biasanya dipakai untuk sesuatu yang habis bukan karena kebutuhan, tapi karena kesalahan.

Uang yang ghunḍhâs biasanya menguap di tempat-tempat yang lebih gelap daripada dompet kita sendiri. Contohnya nih, “Ghunḍhâs pon pèssèna, Nom! Èkamaèn samalem bhentèng.” (Habis dah uangnya, Paman! Dibuat main semalaman).

Conto laèn, “Soro ta’ ghunḍhâs gâjina, mon lakona, bilâ la toron gâjiyân, ngalèlèng nyarè sondhel ka man-ḍimman.” (Suruh nggak habis gajinya, kalau kerjaannya, bila dah turun gajian, keliling cari cewek kemana-mana).

Kalimat tersebut mungkin diucapkan sambil tertawa, tapi tawa itu seperti sedang menambal perih. Sebab, ghunḍhâs bukan berarti hanya habis, ia habis yang bikin dadak sesak setelahnya.

Saya orang Madura. Saya suka bahasa Madura yang, tentu punya khas dan karakter kosakata lebih mendalam daripada bahasa ibu, Indonesia.

Sebut saja obus, ghemmet, ghunḍhâs, tapi pertimbangkan untuk menyebut keadaan apa. Sebab, salah pakai kata bisa berdampak fatal pada makna.

Lebih jauh, setidaknya dua kata ghemmet dan ghunḍhâs bisa kita jadikan sebagai alat ukur moral.

Orang bisa maklum kalau harta tetangganya ghemmet karena anaknya wisuda. Tapi kalau gunḍhâs karena kalah judi, bukankah itu akan jadi bahan sindiran sebulan penuh di warung kopi. Bahkan mungkin dijadikan bahan ceramah di masjid, tentu tanpa menyebut nama.

Dalam konteks linguistik, ghemmet dan ghunḍhâs memperlihatkan bagaimana bahasa mampu menangkap nilai budaya. Ada sistem moral yang bekerja lewat pilihan kata.

Coba tarik kesimpulan, bukankah bahasa adalah alat komunikasi, juga alat pengingat, bahwa tidak semua “habis” itu sama. Ada habis yang berpahala, ada habis yang berdosa. 😀

Kalau kita bikin analogi humorisnya, ghemmet itu seperti bensin mobil keluarga yang habis karena perjalanan mudik, melelahkan, tapi membahagiakan.

Sedangkan ghunḍhâs, mungkin seperti bensin mobil teman yang habis di tengah jalan karena keliling cari warung karaoke yang buka sampai subuh. Sama-sama habis, tapi jika beda niatnya, beda pula akibatnya.

Di sinilah letak keunikan bahasa Madura. Orang Madura yang cerdas tak butuh istilah panjang untuk menilai perilaku manusia. Cukup dua kata: ghemmet untuk yang benar, ghunḍhâs untuk yang keliru.

Maka, kalau suatu hari dompet kita kosong, sebelum mengeluh, coba tanyakan pada diri kita sendiri: Ini ghemmet atau ghunḍhâs?”

Sebab, kadang yang membedakan pahala dan penyesalan hanyalah satu huruf dan, niat di dalamnya. ***

 

Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.

Follow
Komentar
Bagikan:

Konten Iklan