BUDAYA, DIMADURA – Mungkin paramaos dimadura belum banyak yang tahu, bahwa ternyata pencetus tradisi Lebaran Ketupat adalah seorang wali di antara 9 wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Dialah Sunan Kalijaga, pemilik nama daging Raden Said atau Raden Sahid yang menyandang gelar Syekh Malaya, lahir pada tahun 1450 Masehi. Murid Sunan Bonang ini adalah putra seorang adipati di Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur.
Sunan Kalijaga merupakan salah seorang walisongo yang menyebarkan sekaligus mengenalkan sejumlah ajaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, melalui media seni dan tradisi.
Sejarah Lebaran Ketupat
Alkisah kala itu, mayoritas penduduk di Jawa masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menyiasati keadaan tersebut, Sunan Kalijaga coba melakukan pendekatan dakwah dengan memanfaatkan media ketupat.
Untuk bisa memanfaatkan media ketupat dalam dakwahnya, Sunan Kalijaga terlebih dahulu memperkenalkan konsep ‘puasa full setahun’ hanya dengan melaksanakan puasa sebanyak enam hari di bulan Syawal plus satu bulan penuh di bulan Ramadan.
Sebagai penutup, maka diperkenalkanlah tradisi Lebaran Ketupat yang, menurut orang Madura, disebut dengan Tellasan Topa’.
Istilah lebaran ketupat sendiri menyimpan makna filosofis-religius dan penuh dengan nuansa penghayatan sufistik. Mari kita urai makna filosofis istilah Lebaran Ketupat berdasarkan ajaran Sunan Kalijaga.
Filosofi Ketupat
Dalam filosofi Jawa, ketupat atau kupat merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan, sementara laku papat memiliki arti empat tindakan.
Wujud implementasi dari ngaku lepat tersebut termanifestasi dalam bentuk tradisi sungkeman yang berarti saling mengakui kesalahan selama setahun hidup bermasyarakat.
Tradisi sungkeman atau saling bersalaman ini mengajarkan pentingnya rasa hormat kepada orang tua, sikap rendah hati serta ikhlas untuk saling memaafkan antar sesama.
Filosofi Lebaran
Dalam ajaran Sunan Kalijaga, Lebaran merupakan lanjutan dari penjelasan ngaku lepat, yakni laku papat.
Dalam hal ini, Sunan Kalijaga menguraikan laku papat tersebut dengan 4 istilah, yakni Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.
1. Lebaran
Kata Lebaran dalam bahasa Madura adalah lebbhârân, berasal dari kata lebbhâr; rampung, selesai, atau terlaksana secara sempurna.
Secara tersirat, kata lebaran dapat dimaknai dengan: usai, atau berakhirlah waktu bulan puasa Ramadan, dan bersiaplah para diri untuk menyongsong hari kemenangan Idulfitri (kembali ke fitrah).
2. Luberan
Bermakna melebur atau melimpah, seumpama air yang tumpah karena wadah sudah terisi penuh.
Pesan moral dalam istilah Luberan ini adalah agar umat Muslim suka berbagi kepada orang yang tidak mampu, seperti rela membayar zakat fitrah karena sejatinya harta itu merupakan hak orang miskin. Kita bayarkan zakat fitrah agar harta kita juga ikut menjadi suci.
3. Leburan
Istilah Leburan atau melebur berarti habis menyatu. Artinya, momen lebaran adalah kesempatan bagi umat Islam untuk meleburkan dosa dengan cara saling bermaafan sehingga mereka benar-benar kembali ke fitrah, kembali suci.
4. Laburan
Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur sendiri merupakan zat pewarna yang berwarna putih dan bisa digunakan untuk menjernihkan benda cair.
Artinya, hati seorang Muslim harus bisa kembali jernih, putih, seumpama warna dan sifat kapur. Kita lahir dalam keadaan suci dan bersih, maka setelah berpuasa sebulan Ramadan penuh plus 6 hari di bulan Syawal, kita pun harus bisa kembali putih, bersih dan suci dari hal-hal duniawi.
Filosofi Anyaman Ketupat
Lebaran Ketupat sendiri tidak bisa dilepaskan dari sajian ketupat yang terbuat dari anyaman janur atau daun kelapa berisi beras.
Pada dasarnya, bentuk anyaman ketupat sangatlah beragam, tetapi dalam hal ini, Sunan Kalijaga lebih memilih anyaman ketupat yang menyerupai bujur sangkar atau persegi empat. Mengapa?
1. Bentuk persegi empat
Sebab, anyaman ketupat persegi empat lebih pas untuk melambangkan makna laku papat yang dalam bahasa Jawa berarti empat tindakan.
Empat tindakan tersebut antara lain, menahan diri dari ucapan buruk, ajakan hawa nafsu, baik nafsu ammarah maupun nafsu lawwamah, dan segala perbuatan yang dapat merugikan diri manusia.
2. Orong ketupat yang rapat
Sifat anyaman orong ketupat yang rapat juga dapat dimaknai sebagai ngaku lepat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Kata rapat juga bisa disebut dengan kata erat. Maka tradisi silaturahmi dan saling bermaafan pada momen Lebaran Ketupat dengan sendirinya juga sangat berkaitan dengan istilah ngaku lepat, yakni dengan melakukannya sebanyak mungkin, sesempat mungkin setiap bertemu dengan sesama Muslim.
3. Isian ketupat
Beras yang menjadi isian ketupat kerap dimaknai sebagai lambang nafsu. Sementara janur sebagai orong atau bungkus ketupat dapat diartikan dengan jati ning nur yang berarti hati nurani.
Filosofi di atas sekaligus menjadi landasan pengharapan agar manusia mampu mengendalikan nafsu duniawi dengan hati nurani yang bersih dan kuat.
Filosofi Kupat Lepet
Kupat lepet atau topa’ leppet kata orang Madura adalah salah satu model ketupat dimana bungkusnya sama terbuat dari janur. Bedanya, ketupat isi beras biasa, sementara topa’ leppet seringkali identik dengan isian beras ketan.
Ada pertanyaan, mengapa ketupat yang banyak disajikan pada saat Lebaran Ketupat menggunakan bungkus dari bahan janur?
Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata Janur sejatinya berasal dari bahasa Arab, yakni Ja’a Nur, yang artinya: telah datang cahaya.
Sementara bentuk fisik ketupat dengan bangun persegi empat itu kerap kali diibaratkan dengan hati manusia.
Saat orang sudah mengakui kesalahannya, maka hatinya seperti ketupat saat dibelah; isinya yang putih bersih berarti hati tanpa iri dan dengki. Ya, bukankah hati kita sudah terbungkus cahaya (ja’a nur)?
Sementara Lepet berarti silep kang rapet, mangga dipun silep ingkang rapet. Artinya, mari kita kubur atau tutup rapat hati ini dari pengaruh sifat-sifat duniawi yang jelek dan buruk.
Dengan makna lain, setelah ngaku lepat (meminta maaf), kita diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sudah dimaafkan, sehinggapun persaudaraan akan menjadi kian erat seumpama sifat lengket pada ketan dalam ketupat lepet.***
Respon (1)