Asta, Sumenep–Taretan Dimadura, mari sejenak menelusuri jejak raja dan karomah ulama yang ada di Desa Bangkal.
Bangkal sendiri merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kota Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Asal Nama Desa Bangkal
Dalam sejarah lisan masyarakat sekitar, konon nama Desa Bangkal diambil dari kata “Bhungkal”, istilah dalam bahasa Madura yang bermakna “alat atau tempat untuk mengasah benda tajam”.
Namun demikian, Bhungkal di sini hendaknya dimaknai secara konotatif. Yakni, bahwa konon desa ini menjadi pusat masyarakat Sumenep mengasah ilmu, baik ilmu kegamaan maupun ilmu kanuragan.
Sebab–masih menurut sejarah lisan masyarakst sekitar–konon di desa ini terdapat banyak ulama yang, selain alim dalam ilmu agama Islam, mereka juga terkenal sakti mandraguna.
Seiring waktu, nama Bhungkal berubah menjadi Bungkol; kata dalam Bahasa Madura yang berarti bundar. Dikatakan Bungkol karena Desa Bangkal dikelilingi makam para wali dan raja.
Baca Juga:
- DPKS Sumenep Mokka’ Bhuka sareng Ca-kanca Pers, Ka’ḍinto Tojjhuwânnèpon
- Jurnalis Bintang Sembilan Sumenep Abhuka sareng Sahabat Abe Jatim
Orang Madura secara umum, atau masyarakat Sumenep secara khusus, menyebut makam para wali dengan sebutan bhuju’ atau asta.

Ada perbedaan makna dan fungsi antara Asta dan Bhuju’. Asta adalah tempat peristirahatan terakhir para ulama, yakni orang mulia atau yang dimuliakan. Sedangkan bhuju’ berarti makam orang yang dianggap memiliki nilai spiritual tinggi.
Asta dan Bhuju’ di Desa Bangkal
Setidaknya, ada 5 ulama terkenal yang dimakamkan di Desa Bangkal. Antara lain, Asta Katandur, Asta Siding Puri, Asta Paranggan, Asta Paddusan, dan Bhuju’ Sannek.
Asta Katandur
Asta Katandur merupakan peristirahatan Pangeran Katandur. Pangeran Katandur memiliki beberapa julukan lain, seperti Pangeran Satandur dan Pangeran Tatandur, yaitu makam atau pesarean Syeikh Ahmad Baidhawi, putra dari Panembahan Pakaos, salah satu cucu Sunan Kudus.

Syeikh Ahmad Baidawi berdakwah menggunakan metode bercocok tanam atau bertani kepada masyarakat, yang dalam bahasa jawa disebut “nandur”.
Oleh karena itu, beliau dikenal dengan nama Pangeran Katandur.
Pangeran ini, selain memiliki jasa di bidang pertanian, juga disebut sebagai pelopor lahirnya kesenian Karapan Sapi yang berawal dari cara membajak sawah dengan memanfaatkan tenaga sapi.
Selain itu, beliau jugalah yang mengajarkan kepada para petani di Madura cata membuat Paray; tempat pengeringan hasil tani yang terbuat dari bambu dan diletakkan di atas perapian dapur.
Asta Siding Puri
Asta Siding Puri merupakan peristirahatan terakhir Pangeran yang berparas tampan yang terkenal dengan nama Pangeran Wiroboyo. Beliau merupakan cucu dari Banyak Wedi (adik Jokotole).
Lebih jelas silsilahnya, Pangeran Wiroboyo adalah putra dari Aria Banyak Modang, putra dari Banyak Wedi.
Pangeran Wiroboyo menikah dengan salah satu cucu Jokotole yang bernama Raden Ayu Ratmina, anak dari ariya Wigananda.

Pangeran Wiroboyo terkenal dengan nama Siding Puri karena beliau wafat di Desa Pore, Kecamatan Lenteng, saat berperang melawan tentara utusan Ratu Maskumambang dari Kerajaan Japananan, Mojokerto.
Baca Juga: Habib Ba’abud Bocorkan Rahasia Sukses Orang Madura!
Perang tersebut dipicu oleh hawa nafsu Ratu Maskumambang yang dimabuk cinta kepada Pangeran Wiroboyo atau Siding Puri. Sementara Pangeran Siding Puri menolaknya.
Meskipun sempat unggul, namun karena besarnya pasukan Ratu Maskumambang yang ditopang oleh prajurit dari kerajaan ayahnya di Majapahit, akhirnya Pangeran Siding Puri pun takluk dan meninggal di desa ini, Desa Pore, Lenteng, Sumenep.
Kepala Pangeran Siding Puri dipenggal dan dihaturkan kepada Ratu Maskumambang. Oleh sebab itulah, Pangeran Wiroboyo diberi gelar Pangeran Siding Puri, berasal dari bahasa Jawa, Sido ing Puri atau meninggal di Pore.
Wafat di Desa Pore Kecamatan Lenteng tapi jasadnya dikebumikan di Desa Bangkal. Pusat kerajaan Pangeran Wiroboyo ada di Desa Parsanga, tepatnya di sebelah barat kantor BLK Sumenep ke utara hingga area Taman Siding Puri.
Asta Parangghân

Asta Parangghân merupakan tempat peristirahan 4 ulama. Pertama adalah pesarean Kiai Ali Ridha, putra dari Kiai Khatib Parangghân.
Kiai Khatib Parangghân sendiri adalah putra dari Syeikh Ahmad Baidhawi. Dalam manuskrip Yayasan Sunan Kudus, nama Kiai Khatib Parangghân tercatat dengan nama Sayyid Abdul Aziz.
Kedua, adalah pesarean dari Kiai Khatib Parangghân sendiri, alias Sayyid Abdul Aziz. Ketiga, makam KH Abdullah, menantu Kiai Khatib Parangghân; dan yang keempat adalah makam Bhuju’ Karangèyan, belum diketahui pasti siapa nama aslinya. Nama tersebut hanyalah nama julukan.
Asta Paddhusân

Asta Paddhusân merupakan tempat peristirhatan terakhir cucu menantu Jokotole, yakni Raden Bindara Diwiryapada atau lebih dikenal dengan nama Sunan Paddhusân.
Beliau adalah Haji Utsman, salah satu putra raja Pandita atau Sayyid Ali Murtadla, saudara Sunan Ampel. Sunan Paddhusân adalah tokoh penyebar Islam di kawasan Kampung Paddhusân, Desa Bangkal.
Dinamakan Paddusan karena bagi siapa saja yang akan masuk Agama Islam, setelah membaca dua kalimat Syahadat, mereka akan didudus atau dimandikan di sana oleh Sunan Paddhusân. Sejak itu, tempat itu dikenal dengan paadhusân atau pemandian.
Bhuju’ Sannek

Terakhir adalah Bhuju’ Sannek. Lokasi Bhuju’ Sannek berada tepat di utara Pasar Bangkal, pas di gang sempit sebelah barat Swalayan Adirasa. Doeloe, Swalayan Adirasa adalah kantor atau balai Desa Bangkal.
Menurut penuturan masyarakat sekitar, Bhuju’ Sannèk–yang hingga saat ini belum diketahui siapa nama aslinya–merupakan warga pendatang yang sangat tekun menyiarkan agama Islam di Desa Bangkal.
Namun sayang, hingga tulisan ini tayang, redaksi Dimadura belum mendapatkan informasi yang valid tentang identitas dan silsilah dari Bhuju’ Sannèk.
Sampai di sini, barangkali ada koreksi dari Taretan Dimadura tentang artikel ini, redaksi akan menyambut baik komentar kalian.
Barangkali ada saran konten dari Pembaca Dimadura, dimanapun Anda berada, silakan kirim tulisan atau surat kalian via email: dimadura99@gmail.com. Mator sakalangkong.***