EsaiOkaraPangkèngSastra

Merenungi Hidup dari Kue Lebaran: 5 Puisi Pendek Soemarda Paranggana

Avatar Of Dimadura
595
×

Merenungi Hidup dari Kue Lebaran: 5 Puisi Pendek Soemarda Paranggana

Sebarkan artikel ini

Filosofi dalam Setoples Kue

Gambar Ilustrasi Puisi Kue Lebaran

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1SASTRA, DIMADURA – Siapa sangka, di balik kesederhanaan kue Lebaran, tersimpan pelajaran hidup yang begitu dalam? Kue-kue yang kita lihat di meja tamu itu adalah pelengkap harmoni di hari raya, sekaligus merupakan metafora yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan—dari ilusi kebahagiaan, ketimpangan sosial, kepalsuan, kejujuran, hingga ketahanan dalam menghadapi tekanan.

Lima puisi pendek karya Soemarda Paranggana berikut coba menghadirkan makna yang tersembunyi dalam tiap gigitan kue yang biasa kita santap saat momen lebaran.

Dari nastar hingga kue semprit, masing-masing menawarkan refleksi atas nasib, hierarki sosial, kepalsuan, kejujuran, dan ketahanan.

1. Nastar dan Takdir

Nastar di meja, nasib di tangan,
manis di luar, getir di dalam.
Kau gigit ia, ia menggigit balik,
seperti janji yang tak sempat pulang.

2. Kastengel Kapitalis

Keju di atas, tepung di bawah,
kastengel tahu: hierarki itu nyata.
Makin mahal, makin berkelas,
tapi di perut, semua jadi sama.

3. Putri Salju dan Revolusi

Dingin, manis, berpura-pura,
putri salju menunggu pecahnya fajar.
Berserak di toples kaca,
menanti tangan proletar.

4. Lidah Kucing yang Malu

Panjang, tipis, kecut di sudut,
di antara kue-kue kokoh,
ia menyelip malu-malu.
Tapi bukankah lidah adalah takdir?

5. Kue Semprit dan Kesabaran

Tekanan melahirkan keindahan,
kue semprit tahu betul itu.
Sebelum ia matang sempurna,
ia lebih dulu melewati tekan dan sabar.

Membaca 5 puisi pendek di atas, sepintas kita dibuat sadar, bahwa kue Lebaran ternyata bukan hanya sekadar kudapan; ia adalah cermin kecil yang memantulkan realitas kehidupan. Dalam bentuknya yang mungil, tersimpan filosofi yang lebih besar dari sekadar rasa manis atau gurih.

Dengan memahami maknanya, kita akan bisa lebih menikmati setiap rasa kue sekaligus rasa perjalanan hidup yang penuh warna, seperti sajian di meja Lebaran. Dari rasa kue itu, mari kita sejenak bertamasya ke sejumlah rute dalam garis-garis kue ini.

Parafrasa Puisi 1: Nastar dan Takdir

Puisi pertama menggambarkan nastar sebagai simbol kehidupan yang penuh ilusi. Di luar, ia tampak manis dan menggiurkan, tetapi di dalamnya, ada kejutan rasa asam nanas yang mengingatkan pada kenyataan pahit yang tak selalu bisa dihindari.

Hidup, seperti nastar, sering kali menawarkan kebahagiaan yang tampak, namun menyimpan kenyataan yang berbeda ketika dijalani. Janji-janji yang tak sempat pulang dalam bait terakhir menjadi metafora bagi ekspektasi yang tak selalu berbuah nyata.

Kastengel Kapitalis: Hierarki yang Terus Bertahan

Kastengel memang berupa kue keju; tetapi sekaligus ia merupakan simbol kapitalisme dalam dunia kuliner. Keju yang berada di atas melambangkan kaum elite yang menikmati keistimewaan, sementara tepung di bawah adalah rakyat yang menopang keberlangsungan sistem.

Namun, pesan kritis dalam puisi ini terletak pada baris terakhir: “di perut, semua jadi sama.” Hierarki sosial yang kita bangun dengan begitu kompleks akhirnya luruh dalam kenyataan bahwa semua manusia akan menghadapi kesetaraan yang paling absolut—kematian.

Putri Salju dan Revolusi: Kepalsuan dalam Keheningan

Putri Salju adalah kue yang manis dan tampak elegan, tetapi di balik putihnya gula halus, ia menyembunyikan kritik tajam terhadap kemunafikan sosial. Ia berdiam dalam toples kaca, tampak sempurna namun tak berdaya.

Keadaan ini mencerminkan masyarakat yang terjebak dalam keanggunan palsu, di mana segalanya tampak baik-baik saja, padahal ada banyak ketimpangan yang menunggu untuk diledakkan oleh tangan-tangan proletar.

Lidah Kucing yang Malu: Kejujuran dalam Kesederhanaan

Di antara kue-kue besar dengan kehadiran yang kuat, lidah kucing tampak kecil dan sederhana. Namun, di balik kelembutannya, ia menyimpan makna mendalam tentang kejujuran dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Lidah, dalam banyak budaya, dianggap sebagai simbol kebenaran. Maka, kue ini seolah ingin menyampaikan bahwa meskipun tampak rapuh, kejujuran tetap memiliki tempatnya sendiri dalam kehidupan.

Kue Semprit dan Kesabaran: Keindahan dari Tekanan

Tidak seperti kue lain yang dibentuk dengan cetakan biasa, kue semprit lahir dari tekanan. Proses ini adalah metafora dari hidup yang sering kali menuntut kita untuk bertahan dalam tekanan demi mencapai keindahan.

Sama seperti manusia yang diuji oleh berbagai kesulitan sebelum akhirnya mencapai kematangan dan kebijaksanaan, kue semprit mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari ketahanan dan kesabaran.

Semoga menginspirasi.

Salam literasi!

Bupati Sumenep Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo, Sh., Mh., Bersama Wabup Kh. Imam Hasyim, Forkopimda Dan Para Petani Di Tengah Sawah Desa Poreh, Kecamatan Lenteng, Dalam Kegiatan Gerakan Tanam Padi Serentak, Kamis (08/05/2025).
Sumenep

NEWS SUMENEP, DIMADURA – Pemerintah Kabupaten Sumenep terus memperkuat sektor pertanian sebagai langkah strategis dalam menghadapi krisis pangan. Bupati Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo, SH., MH., memimpin langsung tanam padi…