KolomKosa KataOkaraPangkèng

Moros

Avatar Of Dimadura
515
×

Moros

Sebarkan artikel ini

Makna Denotatif dan Konotatif Salah-satu Kosakata Lucu Bahasa Madura

Moros, Makna Denotatif Dan Konotatif | Filosofi Kosakata Lucu Bahasa Madura (Gambar Ilustrasi: Mazdon/Doc. Dimadura)
Moros, Makna Denotatif dan Konotatif | Filosofi Kosakata Lucu Bahasa Madura (Gambar Ilustrasi: Mazdon/Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1KOSAKATA, DIMADURA – Pernahkah Anda merasa mendadak ingin berak, tergesa-gesa menahan isi perut yang memberontak akibat salah makan sambal atau jajan sembarangan di pinggir jalan? Dalam bahasa Madura, gejala sakral ini dikenal dengan satu kata yang menghentak kesadaran: moros.

Kata ini bukan sekadar onomatope dari suara usus yang memberontak atau dentuman kentut yang memberitahu dunia akan datangnya badai perut.

Moros adalah pengalaman eksistensial, semacam refleksi akan batas-batas tubuh manusia yang tak kuasa menolak takdir biologis. Sebuah kata yang lahir dari kenyataan paling telanjang:

bahwa kita, betapapun sombongnya, masih bisa dilumpuhkan oleh sebungkus nasi jagung plus sayur asam basi.

Serumpun dengannya adalah cer-cer — yakni beser atau wasir, sering kencing karena terlalu banyak minum saat udara dingin menusuk.

Di balik bunyi-bunyian lucu itu, ada fragmen kejujuran tubuh yang tak bisa dimanipulasi. Tubuh punya cara sendiri untuk mengumumkan bahwa ia punya agenda harian yang tak bisa dinegosiasi dengan Google Calendar.

Berikut bagian yang telah diedit agar sesuai dengan makna konotatif moros sebagai sesuatu yang terlalu lancar, keseringan, atau boros secara natural dan tidak disengaja.

Namun moros dalam hal interaksi sosial tidak berhenti di urusan perut. Dalam pergaulan masyarakat Madura, moros sering digunakan sebagai metafora bagi kebiasaan yang terlalu lancar, terlalu sering, atau terlalu boros tanpa niat sadar melainkan karena tabiat.

Misalnya, seseorang yang terlalu sering bicara, terlalu gampang membelanjakan uang, atau terlalu cepat menyetujui sesuatu tanpa pikir panjang, bisa digelari “se moros”—yakni orang yang terlalu mudah “mengeluarkan” apa saja, entah itu isi perut, isi dompet, atau isi pikiran.

Dalam makna yang lebih dalam, moros adalah semacam tanda bahwa seseorang tidak punya ‘katup penahan’ dalam hidup. Ia mengalami segala sesuatu tanpa jeda, tanpa kendali.

Maka tak heran jika dalam pergaulan sehari-hari, ungkapan seperti “Mon ta’ dhuliyân, kabhuru ḍâtengnga rowa sè moros!” (Kalau nggak cepat, keburu datang itu si Moros!) muncul sebagai ejekan bercampur simpati—karena kita tahu, moros adalah sesuatu yang tidak disengaja tapi tetap bisa merepotkan.

Di era sekarang, moros bisa menggambarkan masyarakat yang terlalu mudah bereaksi, terlalu cepat berkomentar, terlalu gampang menyebar kabar tanpa verifikasi.

Kita hidup di tengah budaya moros digital—di mana informasi dan emosi sama-sama keluar deras, tanpa disaring, tanpa dipertimbangkan.

Lebih jauh lagi, moros menjadi metafora dari mereka yang “berlama-lama” dalam hidup. Mereka yang terlalu lama merenung tapi tak juga bertindak; para pengambil keputusan yang tak kunjung tegas, para pemimpin yang hobi rapat tapi nihil aksi. Dalam dunia yang menuntut efisiensi, orang-orang seperti ini membuat kita semua ingin berteriak: “Stop moros!”

Ada pula kebiasaan buruk lainnya yang bersahabat dengan moros: seperti hobi membuka HP di kamar mandi sampai berjam-jam, mengubah kloset menjadi kantor pribadi. Mereka ini para manusia moros digital, yang seakan menjadikan jamban sebagai tempat kontemplasi politik, bisnis, bahkan spiritual.

Dalam tafsir lain yang lebih getir, moros bisa dibaca sebagai bentuk ‘kecemasan modern’: terlalu banyak dikonsumsi, terlalu sedikit dicerna. Akibatnya, segala sesuatu cepat-cepat ingin dibuang—dari makanan cepat saji hingga informasi di media sosial. Kita hidup dalam dunia yang moros: tergesa mengeluarkan, tak sempat merenungkan.

Bahasa memang punya cara menggoda untuk menunjukkan tabiat manusia. Moros dan cer-cer adalah semacam alarm filosofis, bahwa tubuh dan jiwa bisa sama-sama mengalami diare jika tidak hati-hati memilih asupan—baik yang masuk lewat mulut, maupun yang masuk lewat pikiran.

Jadi, lain kali ketika Anda tergopoh menuju WC karena perut mulas tak tertahankan, ingatlah: Anda sedang menjadi manusia seutuhnya. Anda sedang moros—dan di situlah letak kemuliaannya.

Kalau Anda tidak sedang moros saat membaca tulisan ini, selamat. Tapi kalau iya, jangan lupa cebok.

Kalau masih moros juga setelah membaca ini, mungkin bukan perut Anda yang bermasalah—tapi sistem kendali sosial kita yang sedang longgar.***

Bi-Ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas, Dan Anak Layar (Ilustrasi/Doc. Dimadura)
Bubungan

“Sènga’ ekèco’ bi-ibi bâ’na, yâ!” Awas diculik bi-ibi kamu, ya! “Jhâ’ lem-malem, mon la para’ adân maghrib, dhuli molè, manna èyerrep bi-ibi.” Jangan larut malam, kalau sudah hampir azan maghrib,…

Gambar Ilustrasi Badenggung, Yang Dilambangkan Dengan Tokoh Bagong, Anak Semar, Dalam Dunia Pewayangan (Doc. Dimadura)
Kosa Kata

KOSAKATA, DIMADURA – “O… Badenggung reh!” Demikian istilah serupa mantra yang dulu sering penulis dengar dari mulut-mulut warga kampung Desa Bangkal, Sumenep, Madura, terutama di era 1990-an. Kalimat itu bukan…

20 Saloka Ban Parebasan Madura 05
Pangkèng

PANGKÈNG, SASTRA DIMADURA – Melanjutkan seri sebelumnya, kali ini kita hadirkan kumpulan Saloka ban Parebasan Madura Part #05, yang berasal dari catatan Kartosoedirdjo (1919). Saloka ban Parebasan Madura yang dalam…