Puisi Puisi Fendi Kachonk *)
SASTRA, DIMADURA – Tiga puisi Fendi Kachonk ini mengajak kita menyelam ke kedalaman batin manusia—dari riak laut yang penuh rahasia, panggung teater yang getir, hingga luka yang menyisakan amsal. Setiap larik menjadi pintu masuk ke ruang sunyi yang menuntut pembaca untuk merenung lebih jauh.
Ibarat menapaki lorong dengan tiga cahaya berbeda: laut yang menenangkan sekaligus mengguncang, panggung yang menyingkap kelucuan dan kegamangan, serta luka yang menjelma doa. Ketiganya menghadirkan refleksi yang tak bisa dihindari.
Dalam Singgasana Air, Teater Rakyat, dan Amsal Luka, Fendi Kachonk meracik imaji yang tajam dan penuh lapisan makna. Ia menghadirkan laut sebagai kitab kehidupan, panggung sebagai cermin sosial, dan luka sebagai bahasa kesunyian. Sebuah perjalanan puisi yang patut disimak perlahan.
SINGGASANA AIR
Seperti ikan, aku berenang dalam bahteramu
berkunjung, menyelam pada terumbu karang
memahami dalam dirimu tidak melulu tenang
juga gelombang menghempas buih ke pantai
menemani semua kecemasan karang-karang.
Seperti kapal, aku berkendara di rumah birumu
belajar isyarat bintang dan mengerti arah angin
menikmati nyanyian pasang, serta irama surut
saat pesta pertalian musim semi dan kemarau
yang rebah bersama senja di rumpunan bakau.
Seperti Nuh, berlayar dalam rumahmu sampai
pada suatu masa meminang kemilaunya senja
yang lepas di barat menuju perhelatan petang;
aku tetap menikmati semuanya di pelataranmu
menghirup udara segar, pun mendengar debur.
Seperti lagu, yang tak henti kuingin dengarkan;
desau suaramu, serupa peta bagi para pelayar
yang ingin sampai pada kamarmu yang hening
yang sunyi, pun yang hiruk pikuk, di jantungmu
ada laut yang larut, seperti sekelumit langit itu.
TEATER RAKYAT
1/
Di panggung-panggung pertunjukkan
malam itu warna-warni, cahaya lampu
memantul dari setiap sisi, menyoroti
2/
Dan gelap ditafsir jadi hitam dan putih
sesekali ketakutan-ketakutan dibuatkan
di mata penonton yang dikemas cemas
3/
Semenjak terdengar lirih suara-suara
apakah ada dialog yang lepas, di bibir?
sebuah teks telah dibuat menjadi dunia
4/
Amat kecil sekali, sebatas ruang, sebatas
melihat aktor yang lupa bawa kepalanya
pun penonton alpa cara bertepuk tangan.
(membaca sebagian kecil tentang tonel)
AMSAL LUKA
1/
Mestinya tak ada tangisan
sebab sedu sedan milik hujan;
kakimu terus menjadi kompas
Mestinya tidak ada lagi lagu
sebab rima gema milik gerimis
tangis tak ada yang menentu
Sesaat kamu berpikir berapa sakit
di sekujur tubuh, hitam akan menua:
peta berbaring dan meminta langit
2/
Kamu pun bertanya pada kenyataan
betapa seramnya sebuah tikaman
berapa perih seluruh irisan sunyi
Tapi, kamu percaya tuhan masih ada
untuk sekadar berbagi cerita malam;
menunjuk bintang tuk mengirimmu
Kepada goa yang berisi kekosongan;
kamu tak rela berbagi kepada siapapun
pun pada bayang sendiri enggan berbagi.
*) Fendi Kachonk | Lahir dan tinggal di Desa Moncek, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Aktif berkegiatan di dunia sastra lewat Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) dan Forum Belajar Sastra (FBS); dua komunitas yang ia dirikan sendiri. Karya-karyanya berupa esai dan puisi terbit di berbagai media lokal, nasional, hingga antologi bersama seperti Sandal Kumal (2011), Indonesia Titik 13 (2012), Istana Air (2014), Hujan Kampoeng Jerami (2014), Memo Untuk Presiden (2014), Titik Temu (2014), dan Benale Sastra DKJT (2016). Ia juga menulis beberapa buku tunggal, di antaranya Lembah Kupu-kupu (2014), Tanah Silam (2015), dan Surat dari Timur (2016).
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow







