Puisi Umar Faruq Sumandar: Gus Miek, dan Nubuat Cinta Yusuf
Gâghuridhân, DIMADURA – Di bawah ini adalah 2 puisi karya Umar Faruq Sumandar yang—bagi redaksi—mereka seolah hendak mengajak paramaos menelusup ke ruang-ruang batin terdalam dengan napas spiritual dan nyala keberpihakan yang tak biasa.
Dalam puisi Gus Miek, ia coba menghidupkan sosok mistikus jalan sunyi dengan simbol-simbol gelap: bir hitam, peci hitam, mobil hitam—seolah hendak berkata bahwa, cahaya justru bisa dilacak di lorong-lorong paling remang, di dada yang menjelma samudra, di perut yang menelan kebendaan dunia.
Sementara itu, Nubuat Cinta Yusuf adalah elegi tentang kehilangan, kesetiaan, dan cinta yang diuji waktu.
Dari mimpi yang ditinggalkan hingga surga yang ditiupkan angin di tengah penderitaan, Faruq merajut kisah kenabian sebagai metafora perjalanan batin manusia modern—di mana pertanyaan lebih jujur daripada peta, dan cinta lebih terang dari penglihatan Yakub yang renta.
Gus Miek
“siapa yang ingin bertemu denganku, baca Fatihah!”
bir hitam
dunia malam
bila dada
adalah samudera
maka perut
adalah laut_
sanggup menampung
lalu menyirnakan
segala kebendaaan seketika
tasmak hitam
zaman edan
tiada lain, bencana
aib dan dosa
membuat pecinta
menangisi manusia dan dunia_
biarlah linang air mata
tak terbaca
rasa iba malih tawa
peci hitam
kumis hitam
mobil hitam
kutuntun kalian dalam remang
jangan sampai hilang Tuhan
10 Mei, 2025
Nubuat Cinta Yusuf
Kutinggalkan nujum mimpi dan segala
Yang melekat padanya
Sebelas bintang, bulan dan matahari
Dunia dan bujuk rayu bunga
Kumasuki hutan, padang pasir
Hingga jeruji kebebasan
Tempat kesetiaan diuji
Dan cinta dipertaruhkan
Mungkin nanti aku akan tersesat
Hilang ditelan labirin pertanyaan
O…!
Jiwa dan iman yang terpukau
Pada angin surga yang berhembus liar
Di bulir-bulir gandum
Di gudang persediaan pangan
Di luka jemari lentik teriris pisau
Di jubah sobek dalam sidang
Di dahan-dahan kaktus
Di ranting kering musim paceklik
Di mahkota raja
Di buah hidangan istana
Di perut rakyat yang kelaparan
Telah kulukis wajahmu
Di antara suara dan kata-kata
Musik dan tanda pada urat daun gugur
Kelak sebagai sungai Nil
Yang akan menuntun langkahku
Ke muara samuderamu
Ketika tak ada peta dapat dibaca
Oleh Yakub yang telah renta lagi buta
Umar Faruq Sumandar | Lahir di Sumenep, Madura. Menulis puisi dan prosa. Kini aktif di Lesbumi PCNU Sumenep, dan Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alama (FNKSDA) Sumenep.
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow







