Pantun Madura tidak hanya sekadar rangkaian kata-kata indah, tetapi juga mengandung filsafat hidup yang mendalam.
Setiap bait pantun Madura membawa pesan-pesan moral dan kebijaksanaan yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam tradisi masyarakat Madura, pantun sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan nasihat dan petuah dengan cara yang santun dan penuh makna.
Filsafat dalam pantun Madura dapat dikaitkan dengan beberapa konsep dasar filsafat yang umum. Misalnya, banyak pantun Madura yang mencerminkan konsep stoikisme yang mengajarkan pentingnya ketenangan jiwa dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan.
Stoikisme, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf Yunani seperti Zeno dan Epictetus, menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari pengendalian diri dan sikap menerima apa yang tidak dapat diubah.
Contoh 1:
Ghâludhuk jhâng ranyèngan, ojhân ta’ ojhân
Arti: Hanya angin bertiup kencang, hujan tak kan turun
Maksud: Pantun ini mengajarkan kita untuk tidak hanya berbicara tanpa tindakan. Dalam kehidupan, banyak orang yang pandai berbicara namun sedikit yang benar-benar bertindak. Pantun ini mengingatkan kita bahwa tindakan lebih berharga daripada kata-kata kosong.
Dalam konteks stoikisme, pantun ini mengingatkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang tindakan yang bijak.
Marcus Aurelius dalam bukunya Meditations menyatakan bahwa “kebijaksanaan adalah mengetahui hal-hal yang berada dalam kendali kita dan hal-hal yang tidak.”
Dengan kata lain, berbicara tanpa tindakan adalah bentuk kebijaksanaan yang hampa.
Contoh 2:
Mon amèmpè jhâ’ ghi-tèngghi, mon ghâgghâr mè’ lajhu mèrcat
Arti: Kalau ngimpi jangan ketinggian, awas jatuh kau kualat
Maksud: Pantun ini menyiratkan pentingnya realistis dalam merencanakan hidup. Impian yang terlalu tinggi tanpa disertai perencanaan yang matang bisa berujung pada kekecewaan.
Ini sejalan dengan ajaran Aristoteles tentang “kebajikan tengah” atau “golden mean”, di mana kebahagiaan ditemukan dalam keseimbangan, tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menyatakan bahwa kebajikan adalah titik tengah antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian adalah titik tengah antara pengecut dan nekat.
Pantun ini mengajarkan kita untuk menetapkan impian yang realistis dan dapat dicapai melalui usaha yang seimbang.
Pantun-pantun Madura lainnya juga menggambarkan kebijaksanaan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti kehati-hatian, kerendahan hati, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.
Merenungkan makna contoh pantun ini, kita dapat belajar banyak tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih bijak dan bermakna.
Contoh 3:
Bânnya’ caca, bânnya’ sala
Arti: Banyak bicara, banyak salah
Maksud: Terlalu banyak berbicara bisa menimbulkan banyak masalah, bahwa manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Ingat kata-kata bijak, “diam berharga, bicara tidak sia-sia”.
Pantun ini mencerminkan filosofi tentang kebijaksanaan dalam berbicara. Dalam konteks ini, kita dapat mengaitkannya dengan ajaran Lao Tzu dalam Tao Te Ching yang menyatakan bahwa “mereka yang tahu, tidak bicara; mereka yang bicara, tidak tahu.”
Kebijaksanaan sejati sering kali tercermin dalam sikap diam dan pengendalian diri.
Dalam tradisi masyarakat Madura, pantun juga digunakan sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan etika kepada generasi muda.
Melalui pantun, anak-anak diajarkan tentang pentingnya sopan santun, hormat kepada orang tua, dan pentingnya menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Referensi:
- Aurelius, Marcus. Meditations. Translated by Gregory Hays. Modern Library, 2002.
- Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W. D. Ross. Batoche Books, 1999.
- Lao Tzu. Tao Te Ching. Translated by Stephen Mitchell. Harper Perennial, 1988.
Respon (2)