Lanjutan Seri Cerpen Octa Bagian 3 karya Sang Pemuja
Bagian 4: Antara Harapan dan Realitas
Pagi datang dengan cahaya yang menyilaukan melalui jendela hotel tempatku menginap. Aku menatap langit-langit kamar, masih terbayang perbincanganku dengan Octa semalam. Entah mengapa, kata-katanya terus menggaung di kepalaku, membuat pikiranku kacau.
Haruskah aku benar-benar mencoba menyelamatkannya? Atau, apakah aku hanya mempersulit diriku sendiri?
Aku bangkit dari ranjang, meraih ponsel di atas meja, dan melihat beberapa pesan dari sahabatku.
“Nanda, jangan terlalu terlibat. Aku sudah bilang, wanita-wanita seperti dia tidak akan membawamu ke tempat yang baik.”
Aku mendesah pelan, tahu betul bahwa nasihat itu masuk akal. Tapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk menyerah begitu saja. Rasa penasaran? Empati? Atau perasaan aneh yang lebih dari itu?
Aku menepis perasaan itu sejenak dan bergegas bersiap. Dalam hati, aku sudah memutuskan bahwa aku akan menemui Octa sekali lagi. Bukan untuk terjebak dalam ilusi yang sama, tapi untuk menuntaskan apa yang terasa belum selesai.
—
Malam itu, aku kembali ke klub. Kali ini, aku tiba lebih awal. Suasananya masih sepi, hanya beberapa orang yang duduk di meja dan menikmati minuman mereka. Aku melihat Octa duduk di meja yang sama seperti sebelumnya, tampak sedang berbicara dengan bartender. Dia tampak berbeda malam ini—lebih serius, lebih hening. Saat dia melihatku datang, senyuman tipis muncul di wajahnya.
“Kau datang lagi, Mas,” sapanya, namun kali ini tanpa nada menggoda seperti biasanya.
Aku duduk di sebelahnya, mengangguk kecil. “Aku merasa ada yang belum selesai.”
Octa mengangkat alisnya. “Selesai? Kau benar-benar berpikir ada yang bisa diselesaikan di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Tapi aku tidak bisa hanya pergi begitu saja.”
Octa terdiam sejenak, matanya menatap gelas di depannya, seolah mencari sesuatu yang tak bisa diucapkan. Setelah beberapa saat, dia berbicara, suaranya pelan. “Mas, kau terlalu baik untuk tempat seperti ini. Untuk orang seperti aku.”
Aku menatapnya, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. “Apa maksudmu? Kau bilang sendiri, kau terjebak di sini. Kau tak ingin keluar?”
Dia menatapku dengan sorot mata yang aneh—campuran antara keletihan dan harapan yang sudah lama hilang. “Mas, kau harus mengerti. Tidak semudah itu. Aku sudah mencoba, berkali-kali. Tapi dunia luar… mereka tidak mau menerima orang sepertiku. Aku hanyalah wanita malam di mata mereka, tidak lebih.”
“Kau lebih dari itu,” jawabku, sedikit lebih keras dari yang kumaksudkan. “Kau punya pilihan, Octa. Semua orang punya.”
Dia tertawa pelan, suara tawanya terdengar pahit. “Pilihan? Mungkin, Mas. Tapi pilihan itu selalu datang dengan harga. Dan aku sudah membayar harga yang terlalu mahal untuk hidup seperti ini.”
Aku mendesah, merasa frustrasi karena tidak tahu bagaimana membantunya. “Kalau begitu, biar aku yang membantumu membayar harga itu. Apa yang harus kulakukan agar kau bisa keluar dari sini?”
Octa menatapku lama, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya. “Mas, kenapa kau begitu peduli? Kau bahkan tidak mengenalku dengan baik. Aku hanyalah… bagian dari malam yang tak seharusnya kau ingat.”
Aku terdiam, mencoba mencerna pertanyaannya. Mengapa aku begitu peduli? Aku pun tak yakin. Namun setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu yang menahanku untuk tidak hanya membiarkannya pergi. Mungkin karena aku melihat diriku sendiri dalam kebingungannya—seseorang yang juga sedang mencari jalan keluar dari kehidupannya yang penuh dengan kekosongan.
“Aku tidak tahu,” jawabku akhirnya. “Tapi aku tahu satu hal—aku tidak bisa melihat seseorang yang menderita dan tidak melakukan apa pun.”
Dia tersenyum tipis, meski senyum itu tidak sampai ke matanya. “Mas, kau pria yang baik. Tapi kadang, menjadi baik tidak cukup.”
“Lalu apa yang cukup?” tanyaku, suaraku hampir putus asa.
Dia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Mungkin tidak ada yang cukup. Mungkin kita hanya harus menerima nasib kita masing-masing.”
Aku menatapnya, mencoba memahami logika di balik kata-katanya. Tapi aku tak bisa menerima itu. Bagaimana bisa seseorang seperti Octa—yang terlihat kuat dan mandiri di luar—bisa begitu pasrah pada nasibnya?
“Aku tidak percaya itu,” kataku tegas. “Kau bisa mengubah nasibmu, jika kau mau.”
Octa menatapku lama, lalu menghela napas. “Mas, mungkin kau benar. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk mencoba lagi. Dunia ini sudah cukup mengajarkan aku bahwa harapan adalah hal yang paling berbahaya.”
Kata-katanya menusuk dalam, dan aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin, dalam hidup ini, ada beberapa orang yang memang sudah terlalu lelah untuk berharap.
—
Malam semakin larut, dan percakapan kami terhenti sejenak ketika bartender datang membawa minuman baru. Aku memandang Octa, mencoba menemukan cara untuk memberinya sedikit harapan, meski aku tahu itu mungkin percuma.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku melihat nama sahabatku muncul di layar.
“Angkat saja,” kata Octa, tersenyum samar.
Aku mengangkat telepon itu, berjalan sedikit menjauh dari meja.
“Nanda, kau di mana?” suara sahabatku terdengar cemas.
“Aku… di tempat yang sama,” jawabku, sedikit enggan untuk menjelaskan lebih lanjut.
“Kau harus keluar dari sana. Sekarang,” ucapnya tegas. “Ini bukan tempat untukmu. Dan wanita itu… dia hanya akan menghancurkanmu.”
Aku menatap Octa dari kejauhan, melihat sosoknya yang begitu rapuh dalam keramaian klub. “Mungkin kau benar,” kataku pelan.
“Kau tahu aku benar. Jangan bermain-main dengan api, Nanda. Kau akan terbakar.”
Setelah percakapan singkat itu, aku kembali ke meja, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara lagi dengan Octa.
“Mungkin ini yang terakhir,” kataku pelan.
Dia mengangguk, seolah sudah tahu apa yang akan kukatakan.
“Kau akan pergi?” tanyanya dengan nada netral.
Aku mengangguk. “Ya. Mungkin aku tidak bisa membantumu. Tapi aku harap, suatu hari, kau bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini. Dan jika kau butuh aku… aku akan ada.”
Octa tersenyum tipis. “Mas, terima kasih. Kau pria yang baik. Jangan biarkan tempat ini merusakmu.”
Dengan itu, aku meninggalkan klub, meninggalkan Octa dan semua kebingungan yang menyelimuti pikiranku. Tapi aku tahu, meskipun aku pergi, perasaan ini tidak akan hilang begitu saja. Aku akan terus memikirkannya—tentang dia, tentang dunia yang begitu keras, dan tentang harapan yang mungkin tak pernah ada.
***