GARDU SEJARAH, DIMADURA – Artikel ini mengangkat tradisi tata krama dan sopan santun yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di Keraton Sumenep sejak zaman dahulu.
Dikutip dari buku “Sumenep dalam Bingkai Adat Keraton” oleh Tadjul Arifien R., Selasa (3/9/2024), paparan berikut menyajikan sejarah singkat tentang asal-usul dan pelaksanaan tata krama di lingkungan keraton, yang diwariskan turun-temurun dan masih dihormati hingga kini.
Dikisahkan bahwa Bindhârâ Saot adalah putra Bindhârâ Abdullah atau Bindhârâ Bungso Batoampar Sumenep, ang dijadikan suami oleh Raden Ayu Rasmana ratu Tirtanegara pada tahun 1750 masehi Namun sebelumnya Bindara Saot telah mempunyai istri yang bernama Nyè Izzah, dan setelah menikah dengan Ratu Tirtanegara maka Nyè Izzah diceraikannya. Sedang Nyè Izzah tersebut masih keturunan Pangeran Katandur cucu Sunan Kudus yang merupakan salah satu dari anggota Walisongo. Dalam pernikahan antara Bindara Saot dengan Nyè Izzah mempunyai dua orang putra laki- laki yakni Bahauddin dan Asiruddin. Dan pernikahan dengan Ratu Tirtanegara tersebut tidak dikaruniai keturunan sama sekali. Setelah Bindhârâ Saot menduduki singgasana kadipaten kemudian diberi gelar Tumenggung Tirtanegara.
Maka pada suatu ketika kedua putra Bindhârâ Saot dipanggil ke keraton oleh ratu Tirtanegara. Setelah kedua putra tersebut sampai di keraton Sumenep, langsung masuk ke pendopo agung keraton yang kebetulan saat itu ada sidang paripurna (pasèbhân), dan keduanya duduk di lantai pendopo yang posisinya agak jauh dari dampar atau singgasana tempat kedudukan ayahandanya yang Tirtanegara berdampingan dengan ratu Tirtanegara ibu tirinya. Yakni Tumenggung mereka berdua duduk di belakang para pejabat (gustè Patè, tampa karsa karaton, ajheg, mantrè, dhemmang, arès tor lora dhisa), dan bercampur dengan para sentana keraton.
Tentang jabatan pejabat istana kala itu, kalau saat sekarang diandaikan seperti: Gustè Patè yakni Wakil Bupati, Tampa Karsa karaton: Sekretaris Daerah, Ajheg: Kepala inas, Mantrè: Kepala UPT, hemmang: Wedana/Pembantu Bupati , Arès: Camat dan Lora dhisa: Kepala Desa. Selain itu masih banyak nama jabatan lain seperti: Sardâdu, Opas Dinar, Opas Kentès, dan lain sebagainya.
Maka mereka berdua dipangil seorang demi seorang, yang datang menghadap lebih dahulu yakni Bahauddin atau putra yang lebih tua, dia mendekati tempat duduk atau singgasana keraton dengan ajhâlân nèngkong atau berjalan jongkok, dan langsung menyembah dan sungkem (menelungkupkan kedua tangannya pada lutut ayahnya lalu mencium punggung tangannya sendiri), kemudian bergeser pada ibu ratu Tirtanegara dan melakukan hal yang sama, setelah itu diperkenankan untuk duduk di lantai dekat singgasana keraton. Setelah selesai maka Asiruddin atau putra yang kedua maju mendekati singgasana melakukan hal yang sama seperti kakandanya, tapi sang adik tersebut lebih dahulu menghaturkan sembah pada Ratu Tirtanegara kemudian bergeser pada ayahnya, selanjutnya dan diperkenankan juga duduk di lantai dekat singgasana yang berdampingan dengan kakaknya.
Kemudian Ratu Tirtanegara bertitah sebagai wasiat dan memerintahkan kepada Tampa Karsa karaton agar mencatatnya:
“Di kemudian hari bulan atau tahun, apabila ayah dari kedua anak ini pulang ke Rahmatullah yang aku perkenankan yang mengganti jadi raja di Sumenep yakni Asiruddin dan namanya diganti Raden Arya Atmajanegara, sedangkan kakaknya aku beri nama Raden Aryo Kusumanegara dan menjadi penasehat dari adiknya, selanjutnya kerjakanlah tugas kalian dan tempatilah kedudukan kalian (lakona akonè ban kenengnganna kennengngè)”.
Maka untuk selanjutnya kedua putra Bindara Saot tersebut diperkenankan untuk berdiam di keraton Setelah itu dua orang besaudara tersebut berada dalam kamar, maka sang kakak bertanya pada adiknya tentang sebabnya lebih dahulu menghaturkan sembah dan sungkem kepada ibu ratu atau ibu tirinya, maka sang adik menjawab:
“Aku menyembah dan sungkem lebih dahulu kepada ibu ratu, karena beliau sebagai kekasihnya ayahku dan beliau adalah orang lain dari kita dan bukan darah dagingnya sendiri, jadi bila beliau tidak suka padaku maka akan membawa akibat dikemudian hari, dan aku khawatir ayah akan kecewa karena aku dianggap kurang sopan terhadap ibunda ratu. Dan ayahku sendiri aku sembah serta sungkem sesudahnya maka beliau tidak akan marah padaku, dan bilamana beliau marah skalipun karena aku memberi penghormatan kepada ibu ratu terlebih dahulu tak menjadi masalah dan itupun tidak akan membawa dampak serta akibat di belakang hari, karena kasih sayang seorang ayah kepada anaknya tidak ada batasnya”.
Sesudah Asiruddin memberi jawabannya terhadap pertanyaan kakaknya, maka dirinya ganti bertanya apa sebabnya kakaknya sungkem terlebih dahullu kepada ayahnya, maka Bahauddin menjawab:
“Aku sungkem terlebih dahulu kepada ayahku, karena ayah wajib dihormati lebih dahulu daripada siapapun di dalam dunia ini, sekalipun seorang raja yang seribu kali lebih kuasa dari ibu ratu, maka di dalam batinku tetap orang tua yang sejati lebih berharga dan lebih tinggi derajatnya daripada siapapun, selain Tuhan Allah, karena aku dan kamu dan semua manusia yang hidup di dunia ini dijadikan dari setetes air, yakni campuran air (sperma) antara ayah dan ibunya, yang mana air tersebut menyatu dalam rahim ibuku dan jadilah aku itupun atas kuasa Allah SWT (Hidayah Allah SWT kemudian kedua air tersebut menjadi janin atau bayi yang dikandung oleh ibu selama sembilan bulan sepuluh hari, maka tiada raja, tiada orang hina dina, orang kaya, orang miskin, orang baik dan orang jahat, kesemuanya sama, maka sangat berdosa bila seorang anak tidak menghargai kedua orang tuanya terlebih dahulu, karena ayah, ibu, saudara, anak, adalah satu darah, sedang ibu tiri, istri adalah darah sambungan saja, dan apabila diantara mereka bercerai maka sambungan tersebut akan terputus, dengan demikian keliru bilamana apabila seorang anak lebih menghargai kepada darah sambungannya sekali lagi, ayah dan ibu tidak dapat diganti olch orang lain, jadi yang utama urutannye adalah bapak, ibu, guru dan raja (bhuppa’ bhábhu’ ghuru rato), dan apabila aku mendapat seorang istri yang tidak mau menghormat serta menghargai ayahku, ibuku dan saudaraku maka aku tidak akan mau beristri, lebih baik dalam hidup ini aku tinggal sendirian sampai matiku”.
Diceritakan, bahwa Raden Aryo Kusumanegara atau disebut tidak mau beristri seumur hidupnya, beliau hidup sendirian, dan lebih banyak beribadah hingga meninggal dunia, yang kemudian bergelar Raden Aryo Pacinan. Pekerjaannya yakni membuat alat perang, seperti keris tombak, lembing dan lain sebagainya dan terutama dalam pembuatan keris sampai sekarang masih digemari orang.
Setelah beberapa waktu kedua putra Bindhârâ Saot berada di lingkup keraton Sumenep, kemudian mereka mohon diri untuk pulang mengunjungi ibunya di Lèmbung. Sesampainya di rumah ibunya, keduanya bercerita apa yang terjadi pada dirinya selama ini di keraton Sumenep, terutama tentang adanya peristiwa sungkem sehingga ibu ratu dan memilih sang adik untuk menggantikan ayahnya menjadi raja Sumenep kelak. Kemudian mereka bertanya kepada ibunya siapa yang diantara mereka yang benar menurut pendapat ibunya. Namun ibunya tidak menjawab apa-apa hanya memandang kedua putranya sambil tersenyum, hanya roman mukanya tampak sumringah menyimpulkan rasa bahagia. Karena sang ibu tidak menjawab maka Bahauddin bertanya kepada ibunya, apakah maksud serta tujuan adanya pcraturan menyembah.
Dan Nyè Izzah tersenyum, kemudian berkata dengan lemah lembut:
“Anakku berdua, sembah itu adalah adat kebiasaan manusia sejak zaman dahulu kala, siapa yang membuat aturan aku dan orang saat ini tidak mengetahui, tapi adanya sembah itu peraturan yang dibuat oleh manusia, dilakukan oleh anak terhadap ayah dan ibunya atau terhadap keluarganya yang termasuk golongan tua, dan leh pihak bawahan terhadap atasannya. Ketahuilah bahwa orang di zaman dahulu kala pada umumnya amat sederhana sekalipun tidak tahu tulis menulis, namun semua langkah-langkahnya dijadikan kata parsemmon (sindiran) atau gambaran bagi kehidupan manusia. Tata caranya menghaturkan sembah bagi manusia, tangan kanan dijadikan satu dengan tangan kiri atau dirangkapkan kemudian dari bawah sekitar pusar lalu diangkat ke atas menuju hidung Tangan kanan itu digambarkan sebagai ‘panengngen” yaitu “rasa batin” tangan kiri itu digambarkan sebagai “pangiwơ sedangkan yaitu “rasa lahir”, hidung yakni jalannya nafas (nyawa) keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Dikiaskan bahwa bilamana orang menyembah seolah berkata dalam batinnya “rasa lahirku dan rasa batinku, kutujukan kepadamu, dan aku mengormat kepada dirimu”.
Kemudian dilanjutkan lagi oleh Nyè Izzah:
“Begitulah maksud sembah menurut adat istiadat sejak zaman dahulu kala. Dan kadang kala keberadaan sembah untuk manusia tersebut, tidak mutlak harus dilakukan, bisa saja dianti dengan kata-kata “iya” “saya” atau ‘sahaya” asalkan keberadaan wujud lahir dan wujud batinnya orang tersebut sama dengan apa yang dimaksud itu sembah, hal yang demikian itu harus betul-betul dihayati dalam batinnya Beda lagi jika dibandingkan dengan perintah Allah SWT, Tuhan menciptakan alam dunia ini dengan seisinya. Tidak ada seorangpun tahu akan maksud ang sebenarnya. anya diperkirakan oleh manusia bahwa Tuhan menciptakan alam dan seisinya hanya untuk dikenal oleh alam serta mahlukNya, jadi hanya untuk memperkenalkan diriNya saja. Seumpama Tuhan tidak menciptakan alam dengan isinya, pasti Tuhan tidak terkenal atau dikenal. Dan keberadaan alam ini hanya merupakan saksi saja bahwa Tuhan iu betul-betul ada dengan segala esempurnaan-nya yang tidak ada taranya. Di dalam hakekatnya Tuhan menciptakan alam atau tidak, pasti tidak akan berubah keberadaan Tuhan tersebut. Dengan menciptakan atau tidak menciptakan alam dunia maka diri uhan tidak akan berubah keberadaannya. Tidak bertambah besar atau tidak berkurang besarnya. Tuhan sama sekali tidak butuh kepada dunia, akan tetapi sebaliknya, dunialah yang selamanya butuh kepada Tuhan. Tuhan tidak pamrih terhadap dunia. Demikianlah kata-kataku kepada kalian dan silahkan kalian renungkan dengan hati yang suci dan fikiran yang jernih”.
Dan sesuai dengan adat istiadat, melakukan sembah pada yang lebih tua, bukan saja dalam hal penghormatan dikala bertemu saja, tapi juga dalam berkomunikasi selalu dilakukannya, seperti bila sedang bertamu pada keluarga yang lebih tua, dan bila disuguhi minuman atau makanan lalu disuruh minum, maka si tamu menyembah dulu dengan mengangkat kedua tangan yang dirangkapkan ke hidung sambil berkata “pangapora” atau “nyabis parèng” atau mohon ijin dulu kalau sudah dijawab iya’ maka diminumlah atau dimakannya. Setiap mau berkata-kata atau menjawab pertanyaan harus nyembah dulu, begitulah adat tradisi keraton Songennep tempo doeloe.
Pada kisah cerita tersebut diatas keberadaan wejangan Nyè Izzah ada beberapa kesimpulan yang perlu diperhatikan, yakni antara lain:
‣ Sembhâ atau sembah
Tata caranya menghaturkan sembah bagi manusia, tangan kanan dijadikan satu dengan tangan kiri atau dirangkapkan kemudian dari bawah sekitar pusar lalu diangkat ke atas menuju hidung. Tangan kanan itu digambarkan sebagai “panengngen” yaitu “rasa batin” sedangkan tangan kiri itu digambarkan sebagai pangiwo” yaitu rasa lahir”, hidung yakni jalannya nafas (nyawa) keluar masuk ke dalam tubuh manusia.
‣ Bhâktè atau Bakti
Mencium tangan orang yang dimaksud, dengan tata cara: mendekatinya kepada yang dimaksud sedang duduk maka mendekati dengan berjalan jongkok lalu duduk di hadapannya, kemudian menyembah seperti poin (a), lalu melepaskannya dan mengambil tangannya yang dimaksud dicium punggung tangannya, lalu dilepas kemudian melakukan sembah seperti point (a) lagi, kemudian mundur.
‣ Ajhálân nèngkong atau berjalan jongkok
Berjalan jongkok atau ajhâlân nèngkong yaitu berjalan dengan berjongkok. Kedua tangan ditopang di atas lutut seolah mengendalikan lutut yang tidak boleh melampau ketinggian pusar. Sesekali tangan kanan dijatuhkan ke lantai eakan mempertahankan posisi jalan jongkoknya, sampai pada tempat orang yang dituju, bila jaraknya agak jauh maka sekitar 5 meter berhenti dengan posisi jongkok sempurna kemudian menghaturkan sembah, lalu melanjutkannya lagi hingga sampai pada orang yang dituju Nyongkem atau Sungkem.
Tata caranya, yang dituju biasanya duduk di amben atau kursi, ang bersangkutan memulai berjalan jongkok sckitar sepuluh meter sebelumnya, lalu mendekat emudian menyembah sepeti point (a), kemudian kedua tangannya diletakkan menelungkup pada kedua lutut yang dimasuk, lalu mencium punggung tangannya sendiri, yang dituju mengusap kepalanya serta mendoakannya, kemudian tangan ditarik lalu menyembah lagi lalu lagi, lalu berjalan jongkok mundur dan setelah sampai pada awal berangkat tadi lalu berdiri dibarengi dengan menghaturkan sembah.
Pada dasarnya itu adalah aturan sembah bakti dan sungkem versi adat istiadat keraton sejak zaman dahulu, jadi bukan ajaran agama. Namun kadang kala cara seperti itu dilakukan kepada guru, ulama dan orang yang dihormati.
Meskipun tradisi sembah ini bukan bagian dari ajaran agama, tetapi cara seperti ini juga dilakukan kepada guru, ulama, dan orang-orang yang dihormati di kalangan masyarakat keraton Sumenep sejak zaman dahulu.
Adat istiadat ini mencerminkan betapa dalamnya nilai-nilai penghormatan dan kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat keraton Sumenep, yang tetap relevan dan dihormati hingga saat ini.
Referensi:
1) Tadjul Arifien R., Sumenep dalam Bingkai Adat Keraton (Sumenep: UNIBA Madura Press, 2023), hlm. 15-24.
2) Zainalfattah, Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura (Jakarta: C. Werdisastra, 1951); Babad Songennep (1914).
Respon (2)