BudayaGharduSejarah

Tatakrama dan Sopan Santun Abdi Keraton Sumenep, Warisan Budaya yang Tetap Lestari

Avatar Of Dimadura
881
×

Tatakrama dan Sopan Santun Abdi Keraton Sumenep, Warisan Budaya yang Tetap Lestari

Sebarkan artikel ini
Cover Buku &Quot;Sumenep Dalam Bingkai Adat Keraton&Quot; (Dokumen Dimadura.id)
Cover Buku "Sumenep dalam Bingkai Adat Keraton" (Dokumen dimadura.id)

Logo Dimadura.idGARDU SEJARAH, DIMADURA – Artikel ini mengangkat tradisi tata krama dan sopan santun yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di Keraton Sumenep sejak zaman dahulu.

Dikutip dari buku “Sumenep dalam Bingkai Adat Keraton” oleh Tadjul Arifien R., Selasa (3/9/2024), paparan berikut menyajikan sejarah singkat tentang asal-usul dan pelaksanaan tata krama di lingkungan keraton, yang diwariskan turun-temurun dan masih dihormati hingga kini.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang Iklan Bisnis Dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

Dikisahkan bahwa Bindhârâ Saot adalah putra  Bindhârâ Abdullah atau Bindhârâ Bungso Batoampar  Sumenep, ang dijadikan suami oleh Raden Ayu  Rasmana ratu Tirtanegara pada tahun 1750 masehi  Namun sebelumnya Bindara Saot telah mempunyai istri  yang bernama Nyè Izzah, dan setelah menikah dengan  Ratu Tirtanegara maka Nyè Izzah diceraikannya. Sedang Nyè Izzah tersebut masih keturunan Pangeran Katandur  cucu Sunan Kudus yang merupakan salah satu dari  anggota Walisongo. Dalam pernikahan antara Bindara Saot dengan Nyè Izzah mempunyai dua orang putra laki-  laki yakni Bahauddin dan Asiruddin. Dan pernikahan dengan Ratu Tirtanegara tersebut tidak dikaruniai  keturunan sama sekali. Setelah Bindhârâ Saot  menduduki singgasana kadipaten kemudian diberi gelar  Tumenggung Tirtanegara.

Maka pada suatu ketika kedua putra Bindhârâ  Saot dipanggil ke keraton oleh ratu Tirtanegara. Setelah kedua putra tersebut sampai di keraton Sumenep, langsung masuk ke pendopo agung keraton yang  kebetulan saat itu ada sidang paripurna (pasèbhân), dan  keduanya duduk di lantai pendopo yang posisinya agak  jauh dari dampar atau singgasana tempat kedudukan  ayahandanya  yang  Tirtanegara  berdampingan dengan ratu Tirtanegara ibu tirinya. Yakni  Tumenggung  mereka berdua duduk di belakang para pejabat (gustè  Patè, tampa karsa karaton, ajheg, mantrè, dhemmang,  arès tor lora dhisa), dan bercampur dengan para sentana  keraton.

Tentang jabatan pejabat istana kala itu, kalau  saat sekarang diandaikan seperti: Gustè Patè yakni Wakil  Bupati, Tampa Karsa karaton: Sekretaris Daerah, Ajheg:  Kepala inas, Mantrè: Kepala UPT, hemmang: Wedana/Pembantu Bupati , Arès: Camat dan Lora  dhisa: Kepala Desa. Selain itu masih banyak nama jabatan lain seperti: Sardâdu, Opas Dinar, Opas Kentès,  dan lain sebagainya.

Maka mereka berdua dipangil seorang demi  seorang, yang datang menghadap lebih dahulu yakni  Bahauddin atau putra yang lebih tua, dia mendekati  tempat duduk atau singgasana keraton dengan ajhâlân  nèngkong atau berjalan jongkok, dan langsung  menyembah dan sungkem (menelungkupkan kedua  tangannya pada lutut ayahnya lalu mencium punggung  tangannya sendiri), kemudian bergeser pada ibu ratu  Tirtanegara dan melakukan hal yang sama, setelah itu  diperkenankan untuk duduk di lantai dekat singgasana  keraton. Setelah selesai maka Asiruddin atau putra yang  kedua maju mendekati singgasana melakukan hal yang  sama seperti kakandanya, tapi sang adik tersebut lebih dahulu menghaturkan sembah pada Ratu Tirtanegara  kemudian bergeser pada ayahnya, selanjutnya  dan diperkenankan juga duduk di lantai dekat singgasana  yang berdampingan dengan kakaknya.

Kemudian Ratu Tirtanegara bertitah sebagai  wasiat dan memerintahkan kepada Tampa Karsa karaton  agar mencatatnya:

“Di kemudian hari bulan atau tahun, apabila ayah  dari kedua anak ini pulang ke Rahmatullah yang  aku perkenankan yang mengganti jadi raja di  Sumenep yakni Asiruddin dan namanya diganti Raden Arya Atmajanegara, sedangkan kakaknya  aku beri nama Raden Aryo Kusumanegara dan  menjadi penasehat dari adiknya, selanjutnya  kerjakanlah tugas kalian dan tempatilah  kedudukan kalian (lakona akonè ban  kenengnganna kennengngè)”.

Maka untuk selanjutnya kedua putra Bindara  Saot tersebut diperkenankan untuk berdiam di keraton  Setelah itu dua orang besaudara tersebut berada dalam  kamar, maka sang kakak bertanya pada adiknya tentang  sebabnya lebih dahulu menghaturkan sembah dan  sungkem kepada ibu ratu atau ibu tirinya, maka sang  adik menjawab:

“Aku menyembah dan sungkem lebih  dahulu kepada ibu ratu, karena beliau sebagai  kekasihnya ayahku dan beliau adalah orang lain dari kita  dan bukan darah dagingnya sendiri, jadi bila beliau tidak  suka padaku maka akan membawa akibat dikemudian  hari, dan aku khawatir ayah akan kecewa karena aku  dianggap kurang sopan terhadap ibunda ratu. Dan  ayahku sendiri aku sembah serta sungkem sesudahnya  maka beliau tidak akan marah padaku, dan bilamana  beliau marah skalipun karena aku memberi  penghormatan kepada ibu ratu terlebih dahulu tak  menjadi masalah dan itupun tidak akan membawa  dampak serta akibat di belakang hari, karena kasih  sayang seorang ayah kepada anaknya tidak ada  batasnya”. 

Sesudah Asiruddin memberi jawabannya terhadap  pertanyaan kakaknya, maka dirinya ganti bertanya apa  sebabnya kakaknya sungkem terlebih dahullu kepada  ayahnya, maka Bahauddin menjawab:

“Aku sungkem terlebih dahulu kepada ayahku, karena ayah wajib dihormati lebih dahulu daripada siapapun di dalam  dunia ini, sekalipun seorang raja yang seribu kali lebih  kuasa dari ibu ratu, maka di dalam batinku tetap orang  tua yang sejati lebih berharga dan lebih tinggi derajatnya  daripada siapapun, selain Tuhan Allah, karena aku dan  kamu dan semua manusia yang hidup di dunia ini  dijadikan dari setetes air, yakni campuran air (sperma)  antara ayah dan ibunya, yang mana air tersebut menyatu  dalam rahim ibuku dan jadilah aku itupun atas kuasa  Allah SWT (Hidayah Allah SWT kemudian kedua air  tersebut menjadi janin atau bayi yang dikandung oleh  ibu selama sembilan bulan sepuluh hari, maka tiada  raja, tiada orang hina dina, orang kaya, orang miskin,  orang baik dan orang jahat, kesemuanya sama, maka  sangat berdosa bila seorang anak tidak menghargai  kedua orang tuanya terlebih dahulu, karena ayah, ibu,  saudara, anak, adalah satu darah, sedang ibu tiri, istri adalah darah sambungan saja, dan apabila diantara  mereka bercerai maka sambungan tersebut akan  terputus, dengan demikian keliru bilamana apabila  seorang anak lebih menghargai kepada darah  sambungannya sekali lagi, ayah dan ibu tidak dapat  diganti olch orang lain, jadi yang utama urutannye  adalah bapak, ibu, guru dan raja (bhuppa’ bhábhu’ ghuru  rato), dan apabila aku mendapat seorang istri yang tidak  mau menghormat serta menghargai ayahku, ibuku dan  saudaraku maka aku tidak akan mau beristri, lebih baik  dalam hidup ini aku tinggal sendirian sampai matiku”.

Diceritakan, bahwa Raden Aryo Kusumanegara atau disebut tidak mau beristri seumur hidupnya, beliau  hidup sendirian, dan lebih banyak beribadah hingga  meninggal dunia, yang kemudian bergelar Raden Aryo  Pacinan. Pekerjaannya yakni membuat alat perang, seperti keris tombak, lembing dan lain sebagainya dan  terutama dalam pembuatan keris sampai sekarang  masih digemari orang.

Setelah beberapa waktu kedua putra Bindhârâ  Saot berada di lingkup keraton Sumenep, kemudian  mereka mohon diri untuk pulang mengunjungi ibunya di  Lèmbung. Sesampainya di rumah ibunya, keduanya  bercerita apa yang terjadi pada dirinya selama ini di keraton Sumenep, terutama tentang adanya peristiwa  sungkem sehingga ibu ratu dan memilih sang adik untuk  menggantikan ayahnya menjadi raja Sumenep kelak. Kemudian mereka bertanya kepada ibunya siapa yang diantara mereka yang benar menurut pendapat ibunya. Namun ibunya tidak menjawab apa-apa  hanya memandang kedua putranya sambil tersenyum, hanya roman mukanya tampak sumringah menyimpulkan rasa  bahagia. Karena sang ibu tidak menjawab maka  Bahauddin bertanya kepada ibunya, apakah maksud serta tujuan adanya pcraturan menyembah.

Dan Nyè Izzah tersenyum, kemudian berkata  dengan lemah lembut:

“Anakku berdua, sembah itu adalah adat  kebiasaan manusia sejak zaman dahulu kala,  siapa yang membuat aturan aku dan orang saat  ini tidak mengetahui, tapi adanya sembah itu  peraturan yang dibuat oleh manusia, dilakukan  oleh anak terhadap ayah dan ibunya atau  terhadap keluarganya yang termasuk golongan  tua, dan leh pihak bawahan terhadap  atasannya. Ketahuilah bahwa orang di zaman  dahulu kala pada umumnya amat sederhana  sekalipun tidak tahu tulis menulis, namun  semua langkah-langkahnya dijadikan  kata  parsemmon (sindiran) atau gambaran bagi  kehidupan  manusia. Tata caranya  menghaturkan sembah bagi manusia, tangan  kanan dijadikan satu dengan tangan kiri atau  dirangkapkan kemudian dari bawah sekitar  pusar lalu diangkat ke atas menuju hidung  Tangan kanan itu digambarkan sebagai  ‘panengngen” yaitu “rasa batin”  tangan kiri itu digambarkan sebagai “pangiwơ  sedangkan  yaitu “rasa lahir”, hidung yakni jalannya nafas  (nyawa) keluar masuk ke dalam tubuh manusia.  Dikiaskan bahwa bilamana orang menyembah seolah berkata dalam batinnya “rasa lahirku dan  rasa batinku, kutujukan kepadamu, dan aku  mengormat kepada dirimu”.

Kemudian dilanjutkan lagi oleh Nyè Izzah:

“Begitulah maksud sembah menurut adat  istiadat sejak zaman dahulu kala. Dan kadang  kala keberadaan sembah untuk manusia  tersebut, tidak mutlak harus dilakukan, bisa  saja dianti dengan kata-kata “iya” “saya” atau  ‘sahaya” asalkan keberadaan wujud lahir dan  wujud batinnya orang tersebut sama dengan apa  yang dimaksud itu sembah, hal yang demikian  itu harus betul-betul dihayati dalam batinnya  Beda lagi jika dibandingkan dengan perintah  Allah SWT, Tuhan menciptakan alam dunia ini  dengan seisinya. Tidak ada seorangpun tahu  akan maksud ang sebenarnya. anya  diperkirakan oleh manusia bahwa Tuhan  menciptakan alam dan seisinya hanya untuk  dikenal oleh alam serta mahlukNya, jadi hanya  untuk memperkenalkan diriNya saja. Seumpama  Tuhan tidak menciptakan alam dengan isinya,  pasti Tuhan tidak terkenal atau dikenal. Dan  keberadaan alam ini hanya merupakan saksi  saja bahwa Tuhan iu betul-betul ada dengan  segala esempurnaan-nya yang tidak ada  taranya. Di dalam hakekatnya Tuhan  menciptakan alam atau tidak, pasti tidak akan  berubah keberadaan Tuhan tersebut. Dengan  menciptakan atau tidak menciptakan alam dunia  maka diri uhan tidak akan berubah  keberadaannya. Tidak bertambah besar atau  tidak berkurang besarnya. Tuhan sama sekali  tidak butuh kepada dunia, akan tetapi  sebaliknya, dunialah yang selamanya butuh  kepada Tuhan. Tuhan tidak pamrih terhadap  dunia. Demikianlah kata-kataku kepada kalian  dan silahkan kalian renungkan dengan hati  yang suci dan fikiran yang jernih”.

Dan sesuai dengan adat istiadat, melakukan  sembah pada yang lebih tua, bukan saja dalam hal  penghormatan dikala bertemu saja, tapi juga dalam  berkomunikasi selalu dilakukannya, seperti bila sedang  bertamu pada keluarga yang lebih tua, dan bila disuguhi  minuman atau makanan lalu disuruh minum, maka si  tamu menyembah dulu dengan mengangkat kedua  tangan yang dirangkapkan ke hidung sambil berkata  “pangapora” atau “nyabis parèng” atau mohon ijin dulu  kalau sudah dijawab iya’ maka diminumlah atau  dimakannya. Setiap mau berkata-kata atau menjawab  pertanyaan harus nyembah dulu, begitulah adat tradisi  keraton Songennep tempo doeloe.

Pada kisah cerita tersebut diatas keberadaan  wejangan Nyè Izzah ada beberapa kesimpulan yang perlu  diperhatikan, yakni antara lain:

‣ Sembhâ atau sembah

Tata caranya menghaturkan sembah bagi  manusia, tangan kanan dijadikan satu dengan  tangan kiri atau dirangkapkan kemudian dari  bawah sekitar pusar lalu diangkat ke atas  menuju hidung. Tangan kanan itu digambarkan  sebagai “panengngen” yaitu “rasa batin”  sedangkan tangan kiri itu digambarkan sebagai  pangiwo” yaitu rasa lahir”, hidung yakni  jalannya nafas (nyawa) keluar masuk ke dalam  tubuh manusia.

‣ Bhâktè atau Bakti

Mencium tangan orang yang dimaksud, dengan  tata cara: mendekatinya kepada yang dimaksud  sedang duduk maka mendekati dengan berjalan  jongkok lalu duduk di hadapannya, kemudian  menyembah seperti poin (a), lalu  melepaskannya dan mengambil tangannya yang  dimaksud dicium punggung tangannya, lalu  dilepas kemudian melakukan sembah seperti  point (a) lagi, kemudian mundur.

‣ Ajhálân nèngkong atau berjalan jongkok

Berjalan jongkok atau ajhâlân nèngkong yaitu  berjalan dengan berjongkok. Kedua tangan  ditopang di atas lutut seolah mengendalikan  lutut yang tidak boleh melampau ketinggian  pusar. Sesekali tangan kanan dijatuhkan ke  lantai eakan mempertahankan posisi jalan  jongkoknya, sampai pada tempat orang yang  dituju, bila jaraknya agak jauh maka sekitar 5  meter berhenti dengan posisi jongkok sempurna  kemudian  menghaturkan  sembah,  lalu  melanjutkannya lagi hingga sampai pada orang  yang dituju  Nyongkem atau Sungkem.

Tata caranya, yang dituju biasanya duduk di  amben atau kursi, ang bersangkutan memulai  berjalan jongkok sckitar sepuluh meter  sebelumnya, lalu mendekat emudian  menyembah sepeti point (a), kemudian kedua  tangannya diletakkan menelungkup pada kedua  lutut yang dimasuk, lalu mencium punggung tangannya sendiri, yang dituju mengusap kepalanya serta mendoakannya, kemudian tangan ditarik lalu menyembah lagi lalu lagi, lalu berjalan jongkok mundur dan setelah sampai pada awal berangkat tadi lalu berdiri dibarengi dengan menghaturkan sembah.

Pada dasarnya itu adalah aturan sembah bakti  dan sungkem versi adat istiadat keraton sejak zaman  dahulu, jadi bukan ajaran agama. Namun kadang kala cara seperti itu dilakukan kepada guru, ulama dan orang yang dihormati.

Meskipun tradisi sembah ini bukan bagian dari ajaran agama, tetapi cara seperti ini juga dilakukan kepada guru, ulama, dan orang-orang yang dihormati di kalangan masyarakat keraton Sumenep sejak zaman dahulu.

Adat istiadat ini mencerminkan betapa dalamnya nilai-nilai penghormatan dan kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat keraton Sumenep, yang tetap relevan dan dihormati hingga saat ini.

Referensi:

1)  Tadjul Arifien R., Sumenep dalam Bingkai Adat Keraton (Sumenep: UNIBA Madura Press, 2023), hlm. 15-24.
2) Zainalfattah, Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura (Jakarta: C. Werdisastra, 1951); Babad Songennep (1914).

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *