GHÂRḌU, BUDAYA – Madura, sebuah pulau di Indonesia, terkenal dengan tradisi layangan aduan yang begitu memukau. Layangan aduan bukan hanya sekadar permainan, melainkan juga bagian dari budaya dan kebanggaan masyarakat Madura.
Kebanggaan masyarakat Madura terhadap layangan aduan terletak di cap dada layangan itu sendiri.
Setiap cap atau dada layangan bagi masyarakat Madura memiliki makna dan keunikan tersendiri, mencerminkan keragaman dan khas kreativitas dalam tradisi ini.
Di Madura, khususnya di kalangan masyarakat Sumenep, cap layangan disebut dengan istilah Ḍâḍâ, baca: ḍâḍâna kopè’an atau ḍâḍâna lajângan.
BACA JUGA: Filosofi Pèrèt Kanḍung, Sebuah Tradisi Upacara Adat di Madura
Seperti apa saja macam-macam cap atau ḍâḍâ tersebut? Mari kita telusuri beragam cap layangan aduan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Madura.
1. Ḍâḍâ Pèlor
Layangan aduan ḍâḍâ pèlor atau cap peluru memiliki arti filosofis bahwa sifat layangan tersebut melesat cepat seperti saat peluru dihempaskan dari dalam senapan.
Artinya, si pemilik hendak mengenalkan kemampuannya kepada musuh dalam hal mengedalikan layangan. Seandainya boleh dikatakan, maka mungkin akan begini:
Ini lho aku, Sang Pengendali layangan aduan nomor satu di Madura! Awas! Hati-hati layanganmu tumbang kena sikat Sang Peluru!
Ya’ Sè Pèlor, Kè’! Ambâ’ yâ.. bân tè-ngatè bâ’na alabân Sè Pèlor rèh.. Mènta togel, togel bâ’na, Cong!
Dekimian kira-kira gambaran sederhana tentang arti cap layangan aduan ḍâḍâ pèlor.
2. Ḍâḍâ Wajik
“
Ya’ Sè Bâjhik, Cong! Maḍḍhâ pakiri sè dhika, Cah! Mon terro èpanèrbâghâ so bulâ! Pola dhika terro taowa bârâmma kamampowanna tang kopè’an sè arèya!
”
“Ini Si Wajik, Boy! Ayo cepat arahkan ke sini layanganmu. Barangkali kau mau tahu seperti apa kehebatan Si Wajik ini!”
Ya, layangan aduan cap wajik, atau yang dalam Bahasa Madura mereka sebut kopè’an ḍâḍâ bâjhik ini punya arti bahwa, si pemilik punya niat akan menjadikan musuhnya seperti kondisi proses pembuatan wajik alias èghâluy (diaduk).
Diaduk maksudnya, bahwa seperti pun si lawan mengeluarkan jurus jitunya dalam mengadu layangan, ia pasti mampu menjadikannya seperti wajik; dipanaskan, diaduk, dipotong-potong untuk kemudian ia santap seumpama camilan. Hhe..
3. Ḍâḍâ Palang
BACA JUGA: Macemma Ranḍhâ
“
Mon maksa, iyâ palang bâ’na marèna. Maḍḍhâ majhu, ètelko’a dhika so bulâ!
”
Coba kau berani melawan layangan cap palang ini, kan ku-smackdown layanganmu!
4. Ḍâḍâ Roket
Layangan aduan ‘Cap Roket’ boleh jadi mengandung arti bahwa, dalam hal terbang menghadapi si lawan, layangan tersebut bisa menandingi cepat lari roket; lesat, mampu menyibak angkasa!
5. Ḍâḍâ Apache
Mengutip Wikipedia, salah satu arti Apache adalah gambar orang dari suku yang kuat dan punya strategi handal. Adapula yang menyebut bahwa Apache berasal dari Bahasa Quechan yang berarti orang-orang yang berperang.
Jadi, pemakaian gambar Apache pada layangan aduan di Madura bisa diartikan sebagai karakter si pemilik layangan, bahwa saat mulai menaikkan layangannya, berarti ia sudah siap untuk berperang menggunakan kekuatan senar gelasan berikut strategi yang ia kuasai.
6. Ḍâḍâ Topèng
BACA JUGA: Wisata Pantai Matahari, Spot Mancing Baru di Sumenep
Sekilas cap layangan aduan di atas seperti sketsa potong gambar wajah manusia. Ada nuansa filosofis tersendiri saat kita ingin menaksir apa maksud cap layangan tersebut.
Anggap saja, jika gambar tersebut adalah topeng, maka bolehlah kita artikan bahwa karakter si pemilik layangan ini adalah tukang adu layangan yang lihat dalam bergerak.
Bagaimana kesan kita saat menonton pertunjukab topeng? Ya, demikianlah kira-kira keahlian si dia dalam menggerakkan layangan di atas angin.
7. Ḍâḍâ Kalowang
Jika boleh penulis sebutkan, kalowang atau kelelawar adalah makhluk dengan gigi taring yang tajam.
Artinya, layangan aduan dengan ḍâḍâ kalowang sebenarnya ingin menggambarkan kelihaian si pemilik layangan dalam hal mengadu kekuatan tali, benang ataulah senar yang menerbangkannya.
Saat melihat layangan ḍâḍâ kalowang terbang, bisa jadi mental pihak lawan akan ciut sebelum bertanding.
8. Ḍâḍâ Songot
Songot adalah Bahasa Madura yang berarti kumis. Nah, bagi orang Madura, kumis adalah simbol khas seorang pria sejati nan pemberani.
Layaknya tokoh terkenal asal Madura yang keberaniannya hingga kini jadi legenda: Pak Sakera! Ya, begitulah kira-kira maksud si pemilik layangan aduan dengan gambar cap songot, Tarètan! Haha..
Yap! Itulah beberapa macam cap layangan aduan atau ḍâḍâ kopè’an addhuwân yang ada di Madura. Setiap cap memiliki cerita dan nilai budaya yang mendalam, mencerminkan kekayaan warisan budaya Indonesia.
BACA JUGA: Inilah 4 Mahluk Gaib Penjaga Situs Keramat di Pulau Gili Labak
Sebenarnya masih banyak cap, gambar, atau ḍâḍâ kopè’an yang biasa dijadikan penanda pada sebuah layangan aduan di Madura. Seperti ḍâḍâ tèmon, ḍâḍâ paddhu, ḍâḍâ alèp (alif), dll semacamnya.
Cap Sebagai Tanda dan Penanda
Selain arti filosofis, gambar atau cap pada layangan aduan di Madura juga sering dijadikan tanda sekaligus penanda, bahwa layangan aduan tersebut adalah milik—sebut saja: Sè Lap Alap.
Ya, ḍâḍâ atau cap layangan tersebut merupakan karakter layangan sang tuan: “Sè Lap Alap“. Ketika layangan itu putus alias kalah, maka orang yang mengejar dan menangkapnya langsung akan mengenal siapa pemilik layangan tersebut.
Cukup sekian, semoga artikel ini memberikan wawasan yang berharga tentang tradisi layangan aduan di Madura dan menginspirasi kita untuk lebih menghargai dan memahami kekayaan budaya lokal.
Teruslah rayakan dan jaga tradisi ini agar dapat terus dilestarikan dan diteruskan ke generasi selanjutnya. ***