NEWS DIMADURA, SUMENEP -Kasus pernikahan dini di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, fenomena tersebut masih menjadi perhatian serius karena faktor-faktor yang mendorong pernikahan di bawah umur tetap mengintai.
Data Pengadilan Agama (PA) Sumenep mencatat, sepanjang 2024 terdapat 212 pengajuan dispensasi pernikahan.
Angka ini menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 269 perkara, serta lebih rendah dari tahun 2022 yang mencatat 313 kasus.
Pada awal 2025, tercatat 23 pengajuan dispensasi pernikahan dini pada Januari dan 16 pada Februari. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, jumlah ini terbilang masih cukup tinggi.
Menurut Humas PA Sumenep, Hirmawan Susilo, salah satu faktor utama pernikahan dini di daerah ini adalah budaya perjodohan sejak usia muda.
Tren itu bisa saja terus menurun, tetapi tidak menutup kemungkinan kembali meningkat hingga akhir tahun.
Ia menjelaskan, dalam banyak kasus, pasangan yang telah dijodohkan sejak kecil akhirnya melangsungkan akad nikah satu atau dua tahun setelah bertunangan.
“Selain karena dijodohkan, pergaulan yang sudah terlalu dekat juga menjadi alasan. Ada tekanan dari keluarga agar segera menikah,” ujarnya, Selasa (4/3).
Selain faktor budaya, keinginan sendiri dari para remaja juga menjadi pemicu. Dalam beberapa kasus, anak-anak yang bersikeras ingin menikah bahkan rela meninggalkan bangku sekolah.
Menurut Hirmawan, selama beberapa tahun terakhir, mayoritas pasangan yang mengajukan dispensasi pernikahan dini berusia 17-18 tahun. Kasus pernikahan pada usia 16 tahun memang terjadi, namun jumlahnya relatif sedikit.
“Kami menemukan ada pasangan yang ngotot menikah hingga orang tua tidak punya pilihan lain. Bahkan, ada yang sampai putus sekolah demi menikah,” kata Hirmawan.
Sebagai catatan, batas minimal usia pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.***