BukuCongkopGharduSakethengSejarahTokohWawancara

Segera Terbit Tahun Ini! Berikut Kata Penyusun Buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep 2024

Avatar Of Dimadura
717
×

Segera Terbit Tahun Ini! Berikut Kata Penyusun Buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep 2024

Sebarkan artikel ini
Cover Buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep 2024

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1NEWS DIMADURA,  WAWANCARA TOKOH – Berikut ini adalah transkrip hasil wawancara jurnalis dimadura dengan Tadjul Arifien R. tentang penyusunan buku sejarah Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Buku ini merupakan pemantik bagi para sejarawan lain, baik dari kalangan akademisi, wisatawan luar negeri, peneliti sejarah, pakar arkeologi, dan ahli-ahli lain sebagainya di bidang sejarah, untuk bisa ditelisik lebih mendalam lagi.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Bisa dijelaskan buku itu tentang apa dan bagaimana?

Sesungguhnya di sumenep itu kaya dengan situs sejarah, dengan cagar budaya, hanya sampai detik ini tidak begitu banyak tersentuh oleh para arkeolog, hanya yang datang itu dari Balar, Balai Arkeologi Yogyakarta ke Kangean dan ke Sepudi dan sebagainya. Saya mempunyai keinginan untuk menulis banyaknya objek cagar budaya di Kabupaten Sumenep, sesuai dengan kemampuan pikiran saya tentang cagar budaya tersebut.

Setelah saya tulis, makanya akan saya kirim kepada balar-balar, baik-baik Balai Arkeologi Provinsi di Jawa Timur, di Jogjakarta dan pusat.

Tujuan saya untuk mengundang mereka datang ke Sumenep, agar ikut meneliti dengan adanya apa yang saya tulis. Benar atau tidaknya nanti beliau-beliau itu yang bisa mengatakan. Saya hanya menawarkan ini sebagai gambaran saja, sebagai kisi-kisi saja tentang adanya cagar budaya di Sumenep.

Sejauh ini, cagar budaya yang sudah terverifikasi atau memperoleh nomor terdaftar itu ada berapa?

Itu banyak sesungguhnya, ada hanya saya singkat dulu waktu saya menjadi Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sumenep, sejak tahun 2017 sampai tahun 2022, dua periode itu, sesungguhnya yang masuk cagar budaya, yang sudah terdaftar terus dapat keputusan dari Gubernur Jatim itu satu, dan yang lain itu keraton beserta kawasannya yang terdiri dari berbagai komponen.

Jadi ada Keraton, Masjid Jamik, Congkop Pangeran Lor Wetan, terus Benteng Kalimook, dan Kota Tua Kalianget itu lain lagi, itu di sana ada 37 komponen cagar budaya dijadikan satu sebagai Kota Tua Kalianget, terus Kawasan Kelenteng di Pabian, terus di Pulau Sepudi ada satu, namanya Panembahan Wirakrama. Itu semua sudah mendapatkan keputusan dari Bupati Sumenep. Jadi, cagar-cagar budaya itu sudah dilindungi undang-undang, jangan dirusak, bisa dihukum.

Total, ada berapa jumlah cagar budaya yang Anda sebutkan dalam buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep?

Jadi total ada 7 yang dapat keputusan bupati, tapi kalau komponennya sudah lebih 50, seperti yang ditulis di dalam buku saya itu, ya di “Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep”, insya Allah sebulan lagi terbit itu bukunya.

Di dalam buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep itu nanti ada semua, yang ada nomor-nomor keputusan bupatinya dan gugusan gubernurnya itu berarti sudah terkakreditasi.

Selain yang sudah berlabel numerik, yang sudah terakreditasi, ada berapa tambahan cagar budaya yang Anda masukkan dalam buku Ensiklopedia itu?

Ada sekitar 60-an lebih, 60 lebih dengan semua yang tertulis dalam buku saya itu ada 112 objek cagar budaya.

Apa misi Anda menghimpun dan membukukan sejumlah cagar budaya yang ada di Kabupaten Sumenep?

Tujuannya ya satu, adalah merangsang dan mengundang wisatawan, kemudian juga untuk mengundang para pakar dan ahli, juga para peneliti, para akademisi, agar datang ke Sumenep untuk ikut meneliti, temuan saya itu sebagai rangsangan ya kepada mereka-mereka, bahwasanya di Sumenep tidak kalah kepada daerah-daerah lain, banyak punya cagar budaya.

Apakah hanya karena unik, atau ada undang-undang yang menyebutkan terkait kriteria cagar budaya?

Masing-masing cagar budaya memiliki keunikan tersendiri. Termasuk yang saya suguhkan kepada Anda tadi, pemakaman dengan arsitektur 3 kepercayaan di dalamnya yang ada di Desa Pajurangan, Kecamatan Dungkek itu. Sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2010, memang ada kriterianya, jadi memang sudah unik di zamannya.

Makam Cucu Law Pia Ngo, putra Gwan yang ada di Dungkek itu jelas tampak unik di zamannya. Jadi itu di sana, seorang berkepercayaan confucius (konghucu) yang terus masuk agama nasrani atau kristen, kuburannya ada gambar salib. Jadi sudah dua agama yang menyatu di sana. Lalu karena beliaunya itu punya cucu kesayangan, kebetulan beragama Islam ikut ayahnya yang juga China, Gwan itu,

Cucunya itu dipondokkan, dan itu karena kesayangan, terus dikumpulkanlah menjadi makam dengan 3 ornamen kepercayaan. Jadi, dalam satu makam itu ada tiga kepercayaan, Kristen, Konghucu dan Islam. Aneh memang.

Terakhir, mengapa Anda tergugah menekuni sejarah yang ada di Kabupaten Sumenep pada khususnya, Madura dan Jawa Timur pada umumnya?

Ya, asyik saja. Ada kenikmatan tersendiri, dan itulah kerja dari seorang pemerhati sejarah. Seorang sejarawan itu tidak hanya harus punya dasar pengetahuan tentang sejarah, tapi juga mesti menguasai cabang ilmu sejarah, baik itu arkeologi, geneologi, antropologi, topomini dan lain sebagainya. Harus punya itu, karena seluruhnya adalah keterkaitan, baru dikatakan ahli.

Kalau hanya tahu sejarahnya, tapi tidak mengerti tentang ilmu-ilmu pendamping atau penunjangnya, itu namanya bukan ahli sejarah.

Contoh Cagar Budaya di Dungkek Sumenep

Berikut ini salah satu cagar budaya Sumenep yang terbilang unik. Dikutip dari isi buku Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep (Tajdul Arifien R., 2024)

ASTA TUMPANG

Makam Cucu Arsitek Masjid Jamik Sumenep, Law Pia Ngo (Foto: Tadjul Arifien R For Dimadura)
Makam cucu arsitek masjid jamik sumenep, law pia ngo (foto: tadjul arifien r for dimadura)

Nama : Asta Tumpang
Lokasi : Desa Dungkek, Kecamatan Dungkek
Status : Obyek Cagar Budaya

Bongpay yang berukuran normatif atas nama Law Lay No (perempuan) adalah salah satu keturunan dari Law Pia Ngo, orang China bermarga Law. Keberadaan bongpay tersebut memang masih berusia muda, sekalipun usia yang bersangkutan telah mencapai 58 tahun.

Tercatatnya dalam buku ini karena ada beberapa keanehan, yakni adanya bongpay bermodel perahu (pekerja keras dan perantau) adalah budaya Kong Hu Chu. Penghuninya beragama Nasrani, dan ditumpangi oleh makam cucunya yang bernama Moh. Gufron, santri Pondok Pesantren Nurul Islam Dungkek, putra dari Susanto (Gwan) yang juga berama Islam.

Fakta ini menggambarkan adanya akulturasi budaya antar agama, sebagaimana terjadi di desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep dengan adanya Masjid, Gereja dan Klenteng yang berdekatan. Hal ini menunjukkan bahwa di Sumenep sekalipun dikenal sebagai kota santri, memiliki tingkat toleransi yang tinggi.

Bagi masyarakat Sumenep, Law Pia Ngo merupakan tokoh fenomenal di abad 18 Masehi. Ia adalah artsitek pembangunan keraton serta masjid Jamik Sumenep. Oleh Sultan Abdurrahman, ia  diberi hadiah tanah perdikan yang paling dekat dengan lokasi keraton. Saat ini jalan di depannya diberi nama jalan Law Pia Ngo.

Situs sejarah ini belum diangkat menjadi Cagar Budaya. Pembahasan dalam buku ini sebagai dasar awal untuk kajian dan penelitian bagi semua pihak yang berkompeten.***

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *