BubunganBudayaCongkopFakta UnikGharduSejarahSitusSumenepTomang

Unik! Makam Cucu Arsitek Masjid Jamik Sumenep Ini Memuat 3 Simbol Kepercayaan: Kong Hu Chu, Kristen, dan Islam

Avatar of dimadura
656
×

Unik! Makam Cucu Arsitek Masjid Jamik Sumenep Ini Memuat 3 Simbol Kepercayaan: Kong Hu Chu, Kristen, dan Islam

Sebarkan artikel ini
Makam Cucu Arsitek Masjid Jamik Sumenep, Law Pia Ngo (Foto: Tadjul Arifien R for dimadura)
Makam Cucu Arsitek Masjid Jamik Sumenep, Law Pia Ngo (Foto: Tadjul Arifien R for dimadura)

cropped cropped dimadura logo2 1 150x150 1GARDU SEJARAH, DIMADURA – Di antara jejeran makam di Asta Tumpang, Desa Dungkek, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, terdapat makam yang menarik perhatian publik.

Makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan biasa, tetapi memuat simbol-simbol dari tiga kepercayaan yang berbeda: Kong Hu Chu, Kristen, dan Islam.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

Keunikan ini memperlihatkan warisan budaya di ujung timur Pulau Madura yang menampilkan toleransi kuat antaragama yang telah lama hidup dalam masyarakat Sumenep.

Kompleks makam ini merupakan tempat peristirahatan dari keturunan Law Pia Ngo, seorang tokoh Tionghoa yang memiliki peran penting dalam sejarah pembangunan Sumenep.

Law Pia Ngo, yang hidup pada abad ke-18 Masehi, adalah arsitek di balik berdirinya Keraton dan Masjid Jamik Sumenep. Atas jasanya, Sultan Abdurrahman menganugerahkan tanah perdikan yang terletak dekat dengan keraton.

Sebagai penghormatan, jalan yang berada tepat di antara Taman Bunga hingga Toko Pulau Mas Kota Sumenep, diberi nama Jalan Law Pia Ngo.

“Sekarang diberi nama Jalan Gajah Mada. Entah siapa yang mengubah, tentunya orang tersebut tidak tahu tentang sejarah Kota Sumenep masa lalu,” ungkap Sejarawan Sumenep, Tadjul Arifien R. kepada wartawan dimadura, Rabu 6 November 2024.

Lebih lanjut ia memberikan penjelasan mengenai keunikan makam cucu Law Pia Ngo. “Bongpay yang berukuran normatif atas nama Law Lay No (perempuan) adalah salah satu keturunan dari Law Pia Ngo, orang China bermarga Law,” tegasnya.

Bongpay atau nisan sebagaimana dalam foto tersebut, kata dia, merupakan makam Law Lay No, seorang perempuan keturunan Law Pia Ngo yang lahir pada 1932 dan wafat pada 1990.

Meskipun makam ini tampak sederhana, keberadaannya memuat elemen-elemen simbolis yang mencerminkan keragaman budaya. Bongpay tersebut dibuat dengan model perahu, yang dalam tradisi Kong Hu Chu melambangkan seorang pekerja keras dan perantau.

Model perahu ini umum dalam budaya Tionghoa sebagai simbol penghormatan bagi jiwa yang tangguh dan gigih dalam menjalani hidup. “Keberadaan bongpay tersebut memang masih berusia muda, sekalipun usia yang bersangkutan telah mencapai 58 tahun,” jelas Tadjul Arifien R.

Selain ornamen perahu, makam ini juga menyimpan simbol agama Nasrani. Di batu nisannya, tertera tulisan “Telah Pulang ke Rumah Bapa,” lengkap dengan simbol salib yang menjadi tanda pengakuan agama Nasrani dari Law Lay No.

Namun, keunikan makam ini tidak berhenti di situ, karena di dalam kompleks makam tersebut juga terdapat makam cucunya, Moh. Gufron, seorang santri Pondok Pesantren Nurul Islam Dungkek. Gufron, yang merupakan putra dari Susanto (atau dikenal sebagai Gwan), beragama Islam.

Fakta bahwa makam ini memuat simbol-simbol Kong Hu Chu, Kristen, dan Islam, menurut Tadjul, adalah wujud nyata akulturasi budaya yang berkembang di masyarakat Sumenep. “Fakta ini menggambarkan adanya akulturasi budaya antar agama, sebagaimana terjadi di desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep, dengan adanya Masjid, Gereja, dan Klenteng yang berdekatan,” jelasnya.

Ia menambahkan, bahwa keberadaan makam ini menjadi bukti hidup bagaimana masyarakat Sumenep yang mayoritas Muslim mampu hidup berdampingan dengan kelompok agama lain dalam suasana yang penuh toleransi.

Keberadaan makam ini menjadi pengingat akan sejarah panjang Sumenep sebagai kota yang multikultural. Meskipun Sumenep dikenal sebagai kota santri, toleransi terhadap perbedaan agama dan budaya tetap terjaga dengan baik.

Dalam kasus makam Law Lay No dan cucunya ini, terlihat bagaimana warisan budaya Tionghoa, Nasrani, dan Islam berpadu dalam satu tempat peristirahatan yang sama.

Menurut Tadjul Arifien, tokoh Law Pia Ngo memiliki peran besar dalam sejarah arsitektur Sumenep. Sebagai arsitek Masjid Jamik Sumenep dan Keraton Sumenep, kontribusi Law Pia Ngo menjadikan dirinya tokoh yang dihormati.

Oleh karena itu, keturunannya masih mendapat tempat dalam sejarah kota ini, termasuk dengan keberadaan makam yang unik tersebut. Namun, Tadjul menambahkan bahwa meski makam ini memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, situs ini belum diangkat secara resmi menjadi Cagar Budaya.

“Situs sejarah ini belum diangkat menjadi Cagar Budaya. Pembahasan dalam buku ini (Ensiklopedia Cagar Budaya Sumenep, red.) sebagai dasar awal untuk kajian dan penelitian bagi semua pihak yang berkompeten,” .

Ia berharap bahwa keberadaan makam ini dapat mendorong penelitian lebih lanjut serta pengakuan resmi dari pemerintah sebagai bagian dari upaya pelestarian sejarah lokal.

Asta Tumpang bukan hanya sekadar tempat peristirahatan, tetapi juga simbol harmoni dalam perbedaan. Toleransi yang tercermin dari simbol-simbol lintas kepercayaan dalam kompleks makam ini menjadi pelajaran berharga tentang kerukunan dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Toleransi yang hidup di Sumenep ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain, bahwa perbedaan kepercayaan dapat menjadi kekayaan budaya, bukan pemisah.

Seiring dengan semakin berkembangnya kajian tentang warisan sejarah lokal di Sumenep, diharapkan situs seperti makam Law Lay No dan cucunya ini bisa mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak.

Toleransi antaragama dan akulturasi budaya yang dihadirkan oleh situs ini tidak hanya penting bagi masyarakat Sumenep, tetapi juga memberikan pesan universal tentang pentingnya saling menghargai dalam perbedaan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *