HCML dan Medco Energi: Triliunan Mengalir, Kemanusiaan di Pesisir Sumenep Kian Mengering
Selain KEI, ada dua raksasa migas yang berdiri di perairan Sumenep. Mereka jarang bicara, tetapi setiap hari kita mendengar dengung produksinya dari jauh. Namanya HCML dan Medco Energi.
KOLOM, DIMADURA — Nanti kita bicara data. Sementara pembuka, mari kita lihat apa yang telah dilakukan HCML dan Medco Energi untuk masyarakat. Pernahkah kalian yang kebetulan baca kolom ini, baca berita, tentang aksi kemanusiaan yang dilakukan keduanya
Yah, yang kita rasakan mungkin hanya bahwa, dari balik anjungan, mereka mengangkat gas dalam jumlah yang sanggup membuat kementerian tersenyum, investor mengangguk puas, dan laporan negara tampak makmur, setidaknya di kertas yang dicetak rapi.
Namun ketika kita menjejak tanah Sumenep, wilayah yang menyaksikan mereka beroperasi selama bertahun-tahun, suasananya justru seperti rumah besar yang lampu tamunya menyala terang benderang, tetapi dapurnya gelap dan sepi.
Lampu terang itu adalah ekonomi nasional; dapurnya adalah Sumenep, yang dibiarkan hanya merasakan bau asap masakan tanpa pernah mencicipi hidangan.
Cuan Mengalir, Data Mengendap, Pertanyaan Menggenang
Sekarang, mari kita bicara data. HCML, dari catatan publik, pernah memproduksi sekitar 185 MMSCFD pada puncaknya. Itu berarti 67,5 miliar kaki kubik gas per tahun.
Jika dihitung dengan harga gas domestik konservatif, pendapatan kotor mereka bisa tembus Rp 6 triliun per tahun.
Medco Energi, meski lebih hemat bicara soal lifting lokal, tetap merupakan pemain besar dengan porsi operasi yang tidak kecil.
Namun apa yang kembali ke daratan, terutama ke masyarakat yang hidup dekat operasi mereka?
Hampir nihil kali, ya! Yang hadir hanya program-program yang terdengar seperti kalimat pembuka brosur: sedikit pelatihan UMKM, minim bantuan kebutuhan dasar, dan, mungkin hanya secuil penyuluhan.
Semua “sedikit”. Selalu sedikit. Seakan-akan kemanusiaan di daerah operasi hanya layak mendapat serpihan, bukan perhatian.
Di Mana Kemanusiaan dalam PPM & CSR?
PPM dan CSR bukan sekadar formalitas regulasi. Ia adalah cara perusahaan membuktikan bahwa manusia lebih penting daripada grafik produksi.
Tetapi yang terjadi, HCML dan Medco lebih terlihat seperti pengunjung pesta yang makan banyak, minum banyak, lalu pulang hanya meninggalkan kuitansi fotokopi untuk panitia lokal.
Sementara masyarakat nelayan, warga pesisir, anak-anak sekolah, dan para pekerja informasi, dibiarkan menjadi penonton yang menunggu janji yang tak pernah turun dari anjungan.
Penulis jadi penasaran akan satu hal:
Apakah sebegitu sulitnya 2 raksasa itu, misal, memberikan beasiswa berkelanjutan, pelatihan vokasi jangka panjang, pemberdayaan ekonomi berbasiskan komunitas, penguatan kapasitas jurnalis lokal, atau sebatas dukungan riset sosial lingkungan?
Tidak! Yang sulit justru kesadaran korporat untuk melihat masyarakat terdampak sebagai manusia yang layak diperjuangkan, bukan sekadar peta operasi.
Rumah Kami Sumenep Bukan “Zona Penyangga”
Ironisnya, produksi migas Sumenep dipakai sebagai bahan pidato dalam konferensi nasional, sebagai simbol ketahanan energi, sebagai cerita sukses industri ekstraktif.
Tetapi Sumenep sendiri seperti ruang belakang panggung. Penting, tetapi tidak dianggap perlu dirawat.
Media lokal nyaris tak terdengar dalam dokumen CSR mereka. Padahal media adalah penjaga suara masyarakat. Jika media lokal tidak diperkuat, siapa yang akan mengawas, merekam, dan mengkritisi dampak kegiatan industri?
Saran yang Seharusnya Sudah Menjadi Naluri
Jika HCML dan Medco ingin menjadi perusahaan yang pantas dihormati, bukan hanya ditakuti karena skala bisnisnya, maka ada langkah kemanusiaan yang seharusnya menjadi naluri, bukan sekadar strategi PR:
- Bangun program CSR berbasis kebutuhan nyata masyarakat, bukan “acara satu hari untuk foto bersama”.
- Fokus pada pendidikan, kesehatan, lingkungan, nelayan, dan keberlanjutan ekonomi lokal.
- Libatkan media lokal bukan hanya saat ingin mempublikasi keberhasilan, tetapi saat menyusun program untuk masyarakat.
- Buat PPM yang transparan, terukur, dan berdampak jangka panjang.
Tidak rumi sebenarnya. Penulis kira hal di atas tidak mahal jika dibanding dengan pendapatan mereka. Kerja mereka bukan amal. PPM dan CSR adalah tanggung jawab.
Gula-gula Migas
Di laut, dua raksasa itu megah.
Di darat, jejak sosial mereka hampir tak terlihat.
Gasnya besar, uangnya besar, struktur industrinya besar, tetapi hati kemanusiaannya masih kecil.
Karena itu, penulis jadi tergelitik untuk menulis catatan ini, dan, masyarakat Sumenep saya kira juga layak mengulang satu pertanyaan sederhana untuk HCML dan Medco Energi. Begini:
“Jika manfaatnya tak terasa, lalu untuk siapa semua kemegahan itu diciptakan?”
***
Penulis: Mazdon
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow






