Kosa KataPangkèng

Mo’-Ngomo’ Bahasa Madura

Avatar Of Dimadura
457
×

Mo’-Ngomo’ Bahasa Madura

Sebarkan artikel ini

Antara Dorongan Fisiologis dan Struktur Linguistik

Mo’-Ngomo’: Ekspresi Bahasa Madura Tentang Kebelet Yang Tak Tertahankan (Ilustrasi Istimewa/Doc. Dimadura)
Mo’-Ngomo’: Ekspresi Bahasa Madura tentang Kebelet yang Tak Tertahankan (Ilustrasi Istimewa/Doc. Dimadura)

Oleh: M. Thofu KhairullahPengamat Bahasa dan Pecinta Toilet Umum yang Bersih


Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1PANGKÈNG, KOSAKATA – Pernahkah paramaos merasa sangat terdesak ingin buang air besar, sebegitu mendesaknya sampai rasanya seperti ada “sesuatu” yang sudah di ambang pintu keluar, mengetuk-ngetuk, meminta izin untuk bebas? Bila ya, maka paramaos, tanpa sadar, sedang mengalami situasi yang dalam bahasa Madura disebut dengan indah dan getir sebagai: mo’-ngomo’.

Kata ini, walau terdengar seperti plesetan jenaka atau bahkan sumpah serapah, justru adalah salah satu contoh keunikan morfologis dalam bahasa daerah yang jarang disorot dalam buku-buku linguistik populer.

Padahal, kalau kita mau jujur (atau dalam bahasa Madura: jhur-jhujhurân), kata seperti mo’-ngomo’ mengandung struktur kebahasaan yang padat makna dan sarat dengan nuansa budaya lokal.

Antara Feses dan Fonologi: Apa Itu Mo’-Ngomo’?

Secara situasional, mo’-ngomo’ menggambarkan keadaan tubuh yang sedang mengalami tekanan hebat dari dalam, dimana feses sudah tidak tahan berada di dalam, dan sudah menyembul di pintu anus.

Dalam bahasa Indonesia, mungkin kita akan menyebutnya sebagai kebelet berak parah, BAB darurat, atau kalau pakai istilah anak kos: tolong, toilet mana, ini genting!

Namun yang menarik bukan hanya artinya, tapi struktur kata ini sendiri. Mo’-ngomo’ bukanlah gabungan dari “mo’” dan “ngomo’” secara semantis, dan juga bukan onomatope seperti “bluk!” atau “duar!”.

Ia adalah produk dari sistem morfologi khas bahasa Madura, dimana pengulangan suku kata terakhir dari kata kerja bisa membentuk makna baru yang lebih spesifik; baik secara intensitas, suasana, maupun keadaan.

Bandingkan dengan bahasa Indonesia yang lebih “formal dan sopan santun”, dimana pengulangan lebih umum terjadi pada kata benda atau aktivitas santai seperti jalan-jalan, makan-makan, atau kuda-kudaan.

Dalam bahasa Madura, kita punya mo’-ngomo’, sebagai bentuk pengulangan dari bagian akhir kata kerja yang mengandung penekanan makna, urgensi, bahkan kejujuran batin.

Mo’-Ngomo’ dalam Kajian Linguistik

Dari kacamata linguistik, mo’-ngomo’ layak dijadikan contoh hidup untuk menjelaskan bagaimana pengulangan akhir suku kata pada verba dalam bahasa Madura membentuk aspek semantis tambahan.

Ini bukan hanya perihal repetisi suara, tapi juga semacam ekspansi makna dan nuansa, terutama dalam hal keadaan tubuh yang mendesak dan nyaris tak bisa ditawar.

Sebagai catatan, fenomena seperti ini jarang (untuk tidak mengatakan tak ada) dalam bahasa Indonesia. Bahasa nasional kita cenderung menghindari bentuk-bentuk ekspresif ekstrem dalam ranah kata kerja.

Di sinilah terlihat bahwa bahasa Madura lebih ekspresif, lebih jujur, dan barangkali, lebih manusiawi.

Dalam konteks lain, bahasa Indonesia akan memilih eufemisme seperti “mau ke belakang”, “ke kamar kecil”, atau “ada panggilan alam”.  Tapi bahasa Madura? Langsung to the point: mo’-ngomo’. Tak ada tabir. Tak ada basa-basi. Realistis. Urgensi diletakkan pada tempatnya.

Mo’-ngomo’: Bahasa, Budaya, dan Perut

Sebagai penutup (dan semoga belum mo’-ngomo’ saat membacanya), saya ingin menyampaikan bahwa bahasa daerah seperti Madura menyimpan kekayaan bukan hanya dalam kosakata, tapi juga dalam cara kerja bahasa itu sendiri.

Pengulangan seperti pada mo’-ngomo’ bukan bentuk iseng-iseng, tapi justru memperlihatkan struktur morfologis yang hidup, adaptif, dan berpijak pada pengalaman manusia yang paling dasar: rasa mules.

Jadi, lain kali jika Anda berada di Madura dan mendengar seseorang berteriak “Aduh, mo’-ngomo’!”, tolong, jangan tertawa dulu. Hargailah. Itu adalah bentuk paling jujur dari komunikasi, antara tubuh dan bahasa, antara perut dan kata.

Maka segeralah arahkan ia ke toilet, sebab ia sedang berhadapan langsung dengan panggilan alam yang sangat genting! ***


Khairullah Tofu | Wartawan Media Masalembo | Tanggul Jebol Ketuk Pintu Rumah Sakit Bhc Sumenep (Foto: Doc. Dimadura)

M. Thofu Khairullah | Pengamat Bahasa dan Pecinta Toilet Umum yang Bersih