PangkèngSastra

Menelisik Humor Lintas Bahasa: Tebak-Tebakan Indonesia dalam Terjemahan Bahasa Madura

Avatar Of Dimadura
470
×

Menelisik Humor Lintas Bahasa: Tebak-Tebakan Indonesia dalam Terjemahan Bahasa Madura

Sebarkan artikel ini
Gambar Cover Artikel &Quot;Menelisik Humor Lintas Bahasa: Tebak-Tebakan Indonesia Dalam Terjemahan Bahasa Madura&Quot; (Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1SASTRA, DIMADURA – Ternyata, tidak semua tebak-tebakan dalam Bahasa Indonesia bisa dialihbahasakan secara tepat dan terukur. Hal ini karena bahasa tidak hanya soal komunikasi, tapi juga warisan budaya—termasuk dalam bentuk paling ringan sekalipun: tebak-tebakan.

Nah, bagaimana jika humor dalam Bahasa Indonesia ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Madura? Apakah masih lucu? Masih masuk akal?

Artikel ini hendak mengupas secara linguistik dan budaya, bagaimana proses penerjemahan tebak-tebakan Indonesia ke Madura menyimpan tantangan menarik: mulai dari ketidaksesuaian makna, hilangnya unsur idiomatik, hingga perlunya adaptasi kontekstual.

1. Terjemahan Langsung: Makna Tak Tergoyahkan

Beberapa tebak-tebakan bisa diterjemahkan secara langsung karena unsur makna dan bentuk tetap relevan.

Contoh:

“Masih kecil hitam, tetapi kalau sudah besar menjadi putih, apakah itu?

Jawaban: Rambut”

Nè’-kènè’ celleng, manabi ampon rajâ aobâ dhâddhi potè, tebbhâk ponapa?

Jâwâb: Rambhut—bhâsa èngghi-bhunten ḍâri obu’

Struktur logis dan transformasi visual (“hitam” jadi “putih”) dipahami dalam kedua bahasa, sehingga maknanya tetap utuh.

2. Ketidaksesuaian Idiomatik: Makna Tak Bisa Dipaksa

Idioms adalah tantangan klasik dalam penerjemahan, karena tidak semua ungkapan memiliki padanan yang sama di setiap bahasa.

Contoh:

Binatang yang selalu menjadi korban atas dosa yang telah dilakukan oleh orang, hewan apakah aku?

Jawaban: Kambing hitam

Istilah “kambing hitam” tak memiliki idiom padan dalam Bahasa Madura. Terjemahan literal seperti embi’ celleng kehilangan makna simbolis dan tidak lagi dapat berfungsi sebagai jawaban logis atas teka-teki.

Sebagai catatan tambahan, bahwa definisi idioms tidak sama dengan istilah. Idioms lebih pada ungkapan tetap yang maknanya tidak bisa ditebak dari arti kata-kata penyusunnya secara harfiah. Ciri: bersifat kiasan atau metaforis.

Contoh: buah bibir → artinya: sering dibicarakan orang, bukan “buah dari mulut”. Kambing hitam → artinya: orang yang disalahkan, bukan kambing berwarna hitam secara harfiah.

Sementara istilah adalah kata atau gabungan kata yang digunakan untuk menyatakan makna khusus dalam bidang tertentu. Ciri: bersifat lugas, teknis, dan maknanya bisa dijelaskan. Seperti: fotosintesis → istilah dalam biologi, atau Inflasi → istilah dalam ekonomi.

3. Ketidaksesuaian Budaya: Ketika Nama Tak Bisa Dikenali

Teka-teki berbasis nama tempat, seperti “Gajahmungkur”, sulit ditransfer maknanya karena tidak ada keterhubungan dalam memori budaya Madura.

Contoh:

“Gajah apa yang banyak airnya hingga berlimpah-limpah?
Jawaban: Gajahmungkur”

“Ghâjhâ ponapa sè bânnya’ aèngnga, taker aghâlibhirân ka man-ḍimman?

Jâwâb: Ghâjhâmongkor”

Gajahmungkur” adalah nama bendungan di Jawa Tengah. Meskipun bisa diterjemahkan secara fonetik ke dalam aksara Madura, tidak ada rujukan kontekstual dalam budaya Madura untuk mengenali Ghâjhâmongkor sebagai bendungan.

Jika dipaksakan, maka hal ini dapat membuat teka-teki menjadi tidak bermakna dalam bahasa sasaran.

4. Permainan Bunyi: Batas Bahasa dalam Humor Palindromik

Beberapa tebak-tebakan bergantung pada permainan bunyi seperti palindrom, yang tidak selalu bisa dialihbahasakan.

Sebagaimana diketahui, palindrom adalah kata, frasa, angka, atau susunan karakter yang dibaca sama dari depan maupun belakang.

Contoh:

“Hewan apa yang kalau disebut secara bolak-balik tetap sama?
Jawaban: Katak atau Kodok”

Dalam Bahasa Madura, “katak” atau “kodok” tidak memiliki bentuk palindromik atau efek bunyi serupa. Maka unsur kelucuannya hilang dalam terjemahan.

Kata’ (katak dalam Bahasa Madura) tidak mengandung struktur palindrom seperti “katak” dalam Bahasa Indonesia. Kata kata’ berakhiran dengan glotal stop (‘) sehingga tidak dapat dimainkan secara bolak-balik.

5. Adaptasi Budaya: Kunci Keberhasilan dalam Humor Lintas Bahasa

Tebak-tebakan yang menjawab dengan benda atau konsep umum seperti “gayung”, bisa diterjemahkan dengan baik karena ada padanan lokal yang akrab.

Contoh:

“Aku adalah benda yang selalu membuang-buang air, siapakah aku?
Jawaban: Gayung”

“Bhâdhân kaulâ panèka lako wang-mowang notta’ aèng. Paserâ bhâdhân kaulâ?
Jâwâb: Canthèng”

“Canthèng” sebagai padanan “gayung” merupakan hasil adaptasi budaya yang berhasil, karena memiliki kesamaan fungsi dan bentuk dalam kehidupan sehari-hari.

6. Contoh-Contoh Terjemahan yang Dapat Dipertahankan

Berikut ini adalah sejumlah contoh tebak-tebakan yang berhasil diterjemahkan ke dalam Bahasa Madura tanpa kehilangan makna atau kejenakaan:

a. Rambut

Tebakan: Masih kecil hitam, tetapi kalau sudah besar menjadi putih, apakah itu?

Jawaban: Rambut

Terjemahan: Nè’-kènè’ celleng, manabi ampon rajâ aobâ dhâddhi potè, tebbhâk ponapa?

Jâwâb: Rambhut (bhâsa andhâp tèngghi kaangguy oca’: obu’)

b. Gayung

Tebakan: Aku adalah benda yang selalu membuang-buang air, siapakah aku?

Jawaban: Gayung

Terjemahan: Bhâdhân kaulâ panèka lako wang-mowang notta’ aèng.
Paserâ bhâdhân kaulâ?

Jâwâb: Canthèng

c. Karet

Tebakan: Aku adalah sebuah benda yang jika ditarik akan bertambah panjang dan jika dilepas akan bertambah pendek.

Jawaban: Karet

Terjemahan: Bhâdhân kaulâ bhârâng sè manabi ètajhâ’ tambâ lanjhâng, manabi èyocol dhâddhi kènè’ kèrcet.

Jâwâb: Karèt

Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang mempertahankan fungsi, bentuk, dan referensi visual, humor masih dapat dialihkan secara efektif ke dalam Bahasa Madura.

Walhasil, tebak-tebakan ternyata memang bukan sekadar permainan kata; ia adalah refleksi budaya dan cara berpikir. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti Madura, bukan hanya kata yang dipindahkan, tetapi seluruh cara pandang harus ikut dibawa.

Maka keberhasilan terjemahan terletak pada kepekaan terhadap makna, budaya, dan logika lokal—serta sedikit rasa humor.***