dimadura
Beranda Tomang Sumenep Humas PB PGRI Serukan Tertib Aturan, Wanti-wanti Guru di Daerah Tidak Bayar Iuran Selama Masa Sengketa

Humas PB PGRI Serukan Tertib Aturan, Wanti-wanti Guru di Daerah Tidak Bayar Iuran Selama Masa Sengketa

Humas PB PGRI Pimpinan Dr. Teguh Sumarno, Ilham Wahyudi, S.Pd. M.Pd. (Foto: Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1NEWS NASIONAL, DIMADURA – Humas Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) pimpinan Dr. Drs. H. Teguh Sumarno, M.M., Ilham Wahyudi, S.Pd., M.Pd., menyerukan agar seluruh pengurus PGRI di daerah tertib terhadap aturan organisasi selama masa sengketa kepengurusan yang saat ini masih berlangsung.

Ia menegaskan, daerah atau pengurus PGRI di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak diperbolehkan melakukan pembayaran iuran ke pihak manapun sebelum ada kejelasan hukum terkait kepengurusan yang sah.

Menurut Ilham, hingga kini status kepemimpinan PGRI masih berada dalam proses hukum di dua lembaga peradilan, yaitu Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dualisme kepemimpinan ini terjadi antara PB PGRI pimpinan Dr. Teguh Sumarno dengan kubu Prof. Dr. Unifah Rosyidi.

Disampaikan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham) telah menerbitkan SK AHU No. 0001568.AHU.01.08.2023 tertanggal 13 November 2023 untuk Dr. Drs. H. Teguh Sumarno, M.M..

Namun setelah itu, Kemenkumham justru menerbitkan tiga SK AHU lain untuk kubu Prof. Dr. Unifah Rosyidi, masing-masing tertanggal 18 November 2023, 20 November 2023, dan 8 Maret 2024.

“Yang perlu digarisbawahi, sampai hari ini Kemenkumham belum pernah mencabut SK atas nama Dr. Teguh Sumarno, tetapi tiba-tiba saja muncul tiga SK baru untuk pihak lain. Ini yang menimbulkan kebingungan di lapangan,” tegas Ilham kepada media ini, Selasa (21/10/2025).

“Jadi saya luruskan kepada seluruh anggota PGRI. Sampai hari ini, status kepemimpinan di PB PGRI masih bersengketa di dua tempat, di PK Mahkamah Agung dan di PTUN. Karena itu, tidak boleh ada iuran atau setoran apapun selama masa sengketa,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, pembayaran iuran selama organisasi berstatus sengketa, dapat berpotensi menimbulkan masalah hukum baru, karena belum ada keputusan inkrah yang menetapkan siapa pihak yang sah secara legal memimpin PB PGRI.

“Mohon kepada kepala sekolah seluruh daerah, khususnya di Madura, agar jangan ada iuran. Pegang dulu uangnya, jangan disetor kepada pengurus cabang siapapun, baik kubu Pak Teguh maupun kubu Bu Unifah, sampai benar-benar ada putusan hukum final,” ucapnya.

Jika ada pihak-pihak di daerah yang tetap menarik iuran dan mengatasnamakan PGRI untuk kepentingan tertentu, sambung dia, maka tindakan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Ilham menyampaikan bahwa PB PGRI pimpinan Teguh Sumarno telah menyiapkan langkah tegas dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PGRI untuk melindungi para guru.

“Jika ada bukti transfer iuran yang ditarik oleh salah satu pihak, kami akan menugaskan pengacara untuk menuntut para pengurus tersebut. Ini pelanggaran aturan organisasi sekaligus pelanggaran hukum. Kami tidak ingin para guru menjadi korban para oknum yang mencari keuntungan pribadi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ilham mengingatkan bahwa seluruh aktivitas organisasi di bawah PGRI, termasuk penunjukan pengurus atau pemilihan rektor di perguruan tinggi milik PGRI, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama status kepemimpinan pusat masih disengketakan.

“Apapun yang dibentuk, baik penunjukan rektor, pengurus cabang, atau kegiatan keuangan di bawah PGRI, semuanya cacat hukum karena masih berada dalam proses sengketa,” jelasnya.

Sebagai penutup, Ilham menyerukan agar seluruh guru di Indonesia bersikap tertib aturan dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

Ia juga mengingatkan bahwa setiap tindakan penyalahgunaan nama organisasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok dapat dijerat hukum sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam Pasal 60 ayat (2) undang-undang tersebut disebutkan, “Setiap anggota atau pengurus organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan organisasi atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana.”

Selain itu, Pasal 82A ayat (1) juga menegaskan ancaman pidana bagi pihak yang memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi secara melawan hukum, dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.

“Mari kita tertib hukum, tunggu keputusan pengadilan yang sah. Jangan ada pungutan, jangan ada sumbangan apapun atas nama PGRI sampai sengketa selesai,” pungkas Ilham.***

Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.

Follow
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Konten Iklan