Pengurus PGRI di Daerah Pungut Iuran Guru Bisa Terancam Pidana, Kenapa?
NEWS NASIONAL, DIMADURA – Sengketa kepengurusan di tubuh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kini memasuki babak yang kian sensitif.
Dualisme kepengurusan tersebut membuat posisi pengurus di daerah harus sangat berhati-hati. Sebab, segala bentuk kebijakan, seperti pungutan iuran guru, berpotensi melanggar ketentuan pidana.
Hal itu disampaikan Humas PB PGRI pimpinan Dr. Drs. H. Teguh Sumarno, M.M., Ilham Wahyudi, S.Pd., M.Pd., dalam wawancara eksklusif dengan jurnalis dimadura.id, Selasa (21/10/2025).
Menurut Ilham, pengumpulan iuran kepada pihak yang belum jelas legalitasnya dapat berimplikasi hukum serius, karena menyangkut keabsahan lembaga penerima dana organisasi.
“Kami mengimbau semua pengurus daerah agar berhati-hati. Jangan ada iuran disetorkan dulu ke pihak manapun sampai status kepengurusan PB PGRI benar-benar sah secara hukum,” tegas Ilham.
Ia menjelaskan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham) sebelumnya telah menerbitkan SK AHU No. 0001568.AHU.01.08.2023 tertanggal 13 November 2023 untuk Dr. Drs. H. Teguh Sumarno, M.M.
Namun secara mengejutkan, Kemenkumham kembali mengeluarkan tiga SK AHU baru atas nama Prof. Dr. Unifah Rosyidi, masing-masing tertanggal 18 November 2023, 20 November 2023, dan 8 Maret 2024.
“Yang perlu digarisbawahi, sampai hari ini Kemenkumham belum pernah mencabut SK atas nama Dr. Teguh Sumarno, tetapi tiba-tiba muncul tiga SK baru untuk pihak lain. Ini yang menimbulkan kebingungan di lapangan,” ungkapnya.
Jadi, tegas dia, kedua-duanya masih bersengketa. Bahkan di PK sampai saat ini belum selesai dan belum ditentukan siapa yang berhak menjadi pimpinan PB PGRI. “Kalau di tingkat Kasasi, inkrahnya sudah. Inkrahnya ya dualisme,” tegasnya.
Atas dasar itu, maka menurutnya, jika pengurus daerah memungut atau menyalurkan iuran atas nama organisasi yang belum sah, maka bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum.
Ilham kemudian menyebut Pasal 263 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa setiap orang yang membuat atau menggunakan dokumen palsu dapat dipidana penjara hingga enam tahun.
Selain itu, Pasal 382 bis KUHP juga menegaskan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan perbuatan curang atas nama lembaga berbadan hukum.
Sebelum menutup keterangan, ia menegaskan, bahwa sikap tertib aturan dan menunggu kejelasan hukum adalah bentuk penghormatan terhadap asas organisasi serta perlindungan bagi seluruh anggota.
“Tidak ada maksud lain. Kami hanya tidak ingin ada guru atau pengurus daerah yang terseret masalah hukum hanya karena tidak memahami status organisasi,” tandasnya.***
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow







