Pesantren Vs Trans7 Jadi Pengalihan Isu Paling Epik 4 Bom Politik
KOLOM, DIMADURA – Dalam seminggu yang penuh gejolak di bulan Oktober 2025, terlihat jelas sebuah anomali dalam cara media massa bekerja di Indonesia.
Data kronologis menunjukkan adanya 4 “bom” politik dan ekonomi yang meledak hampir bersamaan, namun perhatian publik dan dominasi headline justru ditarik oleh sebuah “kembang api” receh berbalut sentimen agama.
Ini bukan sekadar blunder redaksi; ini adalah pola yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan, mengarah pada satu kesimpulan: adanya operasi pengalihan isu yang terstruktur.
Pada tanggal 6 Oktober, kabar seharusnya mengguncang negeri: Presiden mengumumkan penyerahan aset rampasan dari mega-korupsi PT Timah, sebuah kasus yang menelan kerugian negara hingga ratusan triliun.
Seharusnya, pengungkapan korupsi skala kolosal ini mendominasi setiap lini masa, memicu debat nasional tentang tata kelola SDA dan penegakan hukum.
Namun, hanya berselang delapan hari, fokus mulai digeser. Pada 13 Oktober, sebuah tayangan di Trans7 tiba-tiba memantik amarah publik setelah dianggap menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo dan ulama.
Hanya dalam 48 jam, isu sensitif ini menjadi ‘bola api’ di media, berhasil memancing reaksi emosional, mempolarisasi warganet, dan memaksa media mainstream untuk menempatkannya sebagai headline utama.
Ironisnya, di saat publik sibuk mengutuk media dan membela kehormatan pesantren—sebuah isu moral yang substansialnya tidak merugikan kas negara—dua isu vital lainnya muncul.
Pada 14 Oktober, KPK mengumumkan perkembangan kasus PT Antam, menyeret nama Arie Ariotedjo, ayah dari seorang menteri aktif, yang menunjukkan korupsi telah menembus lingkaran kekuasaan tertinggi.
Keesokan harinya, 15 Oktober, kabar mengenai dana reses anggota DPR yang tetap fantastis, Rp702 juta per anggota, ditambah sinyal kenaikan PPN 12% yang mencekik rakyat, seharusnya memicu kemarahan massa secara fundamental.
Namun apa yang terjadi? Keempat bom politik dan ekonomi yang seharusnya menghancurkan kredibilitas elit politik dan bisnis (Korupsi Timah, Korupsi Antam yang menyentuh menteri, dan kemewahan DPR di tengah kenaikan pajak) lenyap dari spotlight.
Yang meledak di media, yang ditonton jutaan rakyat, dan yang memicu perdebatan sengit di media sosial, hanyalah drama “Kyai vs Trans7” dan narasi tentang “pesantren feodal.”
Pola ini menunjukkan kegagalan tragis media sebagai anjing penjaga kekuasaan (watchdog).
Media bukan lagi alat kontrol sosial, melainkan telah bertransformasi menjadi filter yang secara efektif mengarahkan pandangan publik ke ‘asap’ drama moral, sementara ‘maling negara’ dan pengambil kebijakan yang merugikan rakyat secara triliunan leluasa bergerak di balik layar.
Isu agama, dalam konteks ini, berperan sebagai ‘peluit pengalih perhatian’ yang sangat efektif, berhasil menampar wajah ulama untuk mengalihkan pandangan publik dari para pembobol uang negara.
Ini bukan nasib buruk, melainkan indikasi kuat bahwa ada kepentingan elit yang terancam dan secara cerdik menggunakan isu polarisasi untuk menenangkan situasi politik yang memanas akibat pengungkapan korupsi besar. ***
Amin Bashiri | Editor Media Radar Madura online JPRM
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow







