GharduSejarah

Pusat Pemerintahan Sumenep Sempat Pindah ke Desa Lanjuk di Manding

Avatar of dimadura
618
×

Pusat Pemerintahan Sumenep Sempat Pindah ke Desa Lanjuk di Manding

Sebarkan artikel ini
Para pejuang Sumenep berbaris di area depan Asta Tinggi (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)
Para pejuang Sumenep berbaris di area depan Asta Tinggi (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)

cropped cropped dimadura logo2 1 150x150 1GARDU SEJARAH, DIMADURA – Serangan besar-besaran oleh tentara Belanda pada 11 November 1947 memaksa pusat pemerintahan Sumenep berpindah sementara ke Desa Lanjuk, Kecamatan Manding. Langkah ini diambil setelah pertempuran sengit yang menyebabkan pengungsian massal pejabat pemerintahan dan warga sipil.

Menurut sejarawan Tadjul Arifien R., perpindahan ini menjadi bukti ketangguhan rakyat Sumenep dalam menghadapi tekanan berat dari Belanda yang mencoba menguasai Madura.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

“Peristiwa ini menunjukkan keberanian rakyat dan pemimpin lokal yang tetap teguh meski dalam situasi genting,” ungkapnya kepada media ini, Minggu 10 November 2024.

Tragedi 11 November 1947, Awal Serangan dan Pertempuran di Sumenep

SIAGA: Para pejuang Sumenep berbaris di halaman depan Masjid Jamik (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)
SIAGA: Para pejuang Sumenep berbaris di halaman depan Masjid Jamik (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)

Serangan Belanda dimulai sejak pagi hari pada 11 November 1947. Para pejuang Batalyon IV yang dipimpin Mayor R. Abd. Madjid sudah bersiaga di berbagai titik strategis kota, khususnya di alun-alun Sumenep, untuk mempertahankan kota dari serangan darat.

“Kesiapsiagaan ini menunjukkan bagaimana Sumenep telah mempersiapkan diri menghadapi gempuran besar,” jelas Tadjul Arifien R.

Namun, serangan pertama justru datang dari udara. Pesawat Belanda mengintai dan melepaskan tembakan ke arah titik-titik strategis. Biasanya, hanya satu pesawat yang datang, tetapi kali ini lima pesawat menyerang dari berbagai arah.

Sersan Zakariya yang mencoba membalas tembakan dengan mitraliur kaliber 12,7 mm berhasil mengenai ekor pesawat musuh, tetapi kemudian gugur karena senjatanya macet.

“Perlawanan gigih dari para pejuang lokal menjadi kisah kepahlawanan yang patut dikenang,” kata Tadjul.

Mundurnya Pejuang dan Jatuhnya Sumenep ke Tangan Belanda

Serah terima antara Belanda dengan Pemerintah Madura (Ex Residen Madura Raden Adipati Aryo Cakraningrat) di Keraton Sumenep (Foto: Arsip Tadjul Arifien R)
Serah terima antara Belanda dengan Pemerintah Madura (Ex Residen Madura Raden Adipati Aryo Cakraningrat) di Keraton Sumenep (Foto: Arsip Tadjul Arifien R/Dokumen dimadura)

Serangan intens Belanda berlangsung selama tiga hari, hingga akhirnya Kota Sumenep jatuh ke tangan Belanda pada 12 November 1947. Upaya pertahanan yang dilakukan pejuang lokal dengan peralatan sederhana tak mampu mengimbangi kekuatan Belanda yang jauh lebih lengkap.

“Pertempuran ini menyisakan cerita kelam, namun juga menegaskan kegigihan rakyat Sumenep,” ujar Tadjul Arifien R.

Sebelum jatuhnya kota, Peleton RB. Hasbullah dari Kompi I R. Abd. Latief telah mencoba memperkuat pertahanan di Sarsore dan Kebunan, namun upaya ini berujung tragis.

Abd. Rauf dan Abd. Bahar gugur ketika trekbom yang mereka perbaiki meledak. Jenazah mereka dimakamkan di sekitar Masjid Sokambang, Kebunagung.

“Tragedi ini menjadi simbol pengorbanan yang luar biasa demi mempertahankan tanah kelahiran,” terang Tadjul lebih lanjut.

Setelah Sumenep dikuasai, para pejuang mundur ke Desa Batuan, di mana Mayor R. Abd. Madjid dan beberapa perwira lainnya berupaya menyusun strategi pertahanan berikutnya meski berada dalam keterbatasan.

“Di balik kepedihan, perjuangan terus berlanjut, menunjukkan semangat juang yang tak pernah padam,” kesannya.

Desa Kebunagung, Titik Pengungsian Utama

Potret Labang Mesem Zaman Dahulu (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)
Potret Labang Mesem Zaman Dahulu (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)

Menghadapi gempuran Belanda, warga dan para pejuang mengungsi ke Desa Kebunagung, yang menjadi titik persinggahan utama.

Kepala Desa Kebunagung, K. Abd. Azis, atau yang dikenal sebagai “Kalèbun Acik,” memainkan peran besar dalam menyediakan kebutuhan pangan dan logistik para pengungsi.

“Kalèbun Acik menjadi tokoh penting, seorang kepala desa yang berjasa besar dalam masa-masa sulit ini. Atas jasanya, Kalèbun Acik kemudian dianugerahi gelar Veteran oleh negara,” komentar sejarawan Tadjul, sebagaimana dikutip dalam bukunya Perjuangan Rakyat Sumenep 1945-1950.

Di tengah keterbatasan, Kalèbun Acik memastikan kebutuhan dasar pengungsi terpenuhi, sementara para pejuang melakukan perlawanan sporadis terhadap tentara Belanda yang semakin memperluas cengkeramannya.

“Kisah para pengungsi ini mengingatkan kita akan keteguhan rakyat Sumenep dalam menghadapi segala keterbatasan,” kesannya.

Pindahnya Pusat Pemerintahan ke Desa Lanjuk, Manding

Peta wilayah Desa Lanjuk Kecamatan Manding (Sc. Layar Google Map, 10 November 2024)
Peta wilayah Desa Lanjuk Kecamatan Manding (Sc. Layar Google Map, 10 November 2024)

Karena semakin gentingnya situasi, pusat pemerintahan Sumenep akhirnya dipindahkan ke Desa Lanjuk, Kecamatan Manding.

Bupati Raden Aryo Tumenggung Samadikun bersama pejabat pemerintahan berupaya menjalankan roda pemerintahan dari tempat pengungsian ini.

“Perpindahan pemerintahan ke Manding bukan hanya soal keamanan, tetapi juga bentuk perlawanan administratif terhadap penjajahan,” jelas Tadjul Arifien R.

Polisi juga mengungsi ke desa yang sama, sementara sebagian besar pejuang dan warga memilih bertahan atau bergerak ke wilayah lain. Setelah kota Sumenep jatuh, Belanda meminta agar para pegawai pemerintahan yang masih di pengungsian kembali ke kota untuk menjalankan tugas seperti biasa demi mencegah penderitaan rakyat.

Arahan ini disampaikan oleh RAA Cakraningrat dalam pertemuan di Pendopo Kabupaten pada 28 November 1947, yang juga dihadiri beberapa pejabat Madura dan perwakilan militer Belanda.

“Permintaan Belanda ini sebenarnya lebih merupakan strategi untuk melemahkan perlawanan,” ungkap Tadjul.

Semangat Perjuangan yang Tak Padam

Para pejuang Sumenep berbaris di area depan Asta Tinggi (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)
Para pejuang Sumenep berbaris di area depan Asta Tinggi (Foto: Tadjul Arifien R./Dokumen dimadura)

Walaupun Sumenep jatuh ke tangan Belanda, semangat juang para pejuang dan masyarakat tetap menyala. Mereka terus melakukan perlawanan dari kota maupun wilayah pengungsian.

Tadjul Arifien R. menegaskan, meski di bawah tekanan besar, semangat juang rakyat Sumenep tidak pernah pudar. Ini adalah kisah heroik yang menunjukkan ketangguhan rakyat Sumenep dalam mempertahankan tanah air.

“Dengan pengorbanan luar biasa, kisah kepahlawanan rakyat Sumenep hidup dalam ingatan dan sejarah, menjadi bukti kegigihan mereka melawan penjajahan,” pungkasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *