CongkopGarduSejarahTokoh

MENENGOK JEJAK SULTAN ABDURRAHMAN

Avatar Of Dimadura
570
×

MENENGOK JEJAK SULTAN ABDURRAHMAN

Sebarkan artikel ini

Pelurusan Sejarah oleh Tadjul Arifien R – Sejarawan Madura

Cover Buku Surat-Surat Pemerintahan Belanda Atas Upaya Penganugerahan Gelar Sultan Abdurrahman Karya Tadjul Arifien R (Doc. Dimadura)
Cover Buku Surat-Surat Pemerintahan Belanda atas Upaya Penganugerahan Gelar Sultan Abdurrahman karya Tadjul Arifien R (Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1TOKOH, DIMADURA – Sejarah pemerintahan di Sumenep mencerminkan dinamika politik yang terjadi di Madura sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-20.

Bermula dari pemerintahan Raja, berlanjut ke kepemimpinan Adipati, hingga akhirnya dikuasai oleh Regent atau Bupati di bawah kendali kolonial Belanda.

Salah satu sosok yang muncul dalam era ini adalah Sultan Abdurrahman, yang namanya diabadikan dalam sejarah Madura sebagai bagian dari struktur pemerintahan kolonial.

DINAMIKA KEKUASAAN DI SUMENEP

Potret Halaman Pendopo Keraton Sumenep (Foto: Tadjul Arifien R/Doc. Dimadura)
Potret halaman pendopo keraton sumenep (foto: tadjul arifien r/doc. Dimadura)

Sejak tahun 1255, Sumenep dipimpin oleh raja, hingga berakhir pada masa Narayya Kulupkuda.

Selanjutnya, dari tahun 1269 hingga 1672, kekuasaan berada di tangan para adipati, dimulai dari Arya Wiraraja hingga Pangeran Yudonegoro.

Namun, sejak pemerintahan Pangeran Wirosari hingga Dinasti Bindara Saot, yakni tahun 1672 hingga 1928, jabatan tertinggi di Sumenep berubah menjadi regent atau bupati, yang berfungsi sebagai aparatur kolonial Belanda untuk mengelola pajak rakyat.

Belanda mewajibkan pajak yang cukup besar dari rakyat, yang dibebankan pada Regent/Bupati Sumenep, diantaranya:

  • Pajak Contingent sebesar 24.320 gulden per tahun.
  • Pajak bumi mencakup komoditas seperti:
  1. 80 koyan (80X30 pikul) Kacang hijau (arta’)

  2. 70 takar (700X25 liter) Minyak kelapa

  3. 1000 ekor ikan Bangbangan (Kakap merah/kering)

  4. 30 pikul Dendeng Sapi

  5. 20 pikul benang Kapas halus

  6. 30 pikul Gula siwalan
    kacang hijau.

Sistem ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme Belanda memanfaatkan struktur pemerintahan lokal untuk kepentingan mereka.

JABATAN SULTAN SEBAGAI ANUGERAH KOLONIAL

Labâng Mèsem Keraton Sumenep, Simbol Sejarah Pemerintahan Di Ujung Timur Pulau Madura (Foto: Tadjul Arifien R./Doc. Dimadura)
Labâng mèsem keraton sumenep, simbol sejarah pemerintahan di ujung timur pulau madura (foto: tadjul arifien r. /doc. Dimadura)

Dalam sistem kolonial, jabatan sultan di Madura bukanlah hasil dari legitimasi politik lokal atau tradisi kerajaan, melainkan sebuah anugerah dari pemerintah kolonial Belanda.

Para regent yang berjasa dalam membantu Belanda melawan penguasa pribumi akan diberikan gelar kehormatan yang berjenjang, dimulai dari:

  • Tumenggung, naik pada
  • Pangeran, lalu naik pada
  • Panembahan, hingga mencapai tingkatan tertinggi, yaitu:
  • Sultan.

Beberapa tokoh yang dianugerahi gelar sultan oleh Belanda di Madura antara lain:

  • Sultan Cakraadiningrat I (Bangkalan, 1780-1815)
  • Sultan Cakraadiningrat II (Bangkalan, 1815-1847)
  • Sultan Abdurrahman (Sumenep, 1811-1854)

Salah satu bukti sejarah penganugerahan ini adalah salinan surat dari Gubernur Jenderal Goterk Alexander Giyarrad Philip Baron van Capellen, tertanggal 2 Desember 1825 (21 Rabi’ul Awal 1271).

Surat tersebut menetapkan Panembahan Natakusuma II sebagai Sultan Pakunataningrat, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Abdurrahman.

Gelar ini diberikan atas jasanya dalam membantu Belanda menghadapi perlawanan Raja Bone di Sulawesi.

SUMENEP DALAM BAYANG-BAYANG KOLONIALISME

Sultan Abdurrahman Sumenep (Sumber Foto: Tadjul Arifien R)
Sultan abdurrahman sumenep (sumber foto: tadjul arifien r)

Sejak Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Madura secara resmi berada dalam kekuasaan Belanda.

Dengan demikian, sistem kerajaan atau keadipatian di wilayah ini secara de facto telah lenyap, berganti menjadi struktur pemerintahan kolonial yang berbasis pada regent atau bupati.

Para pemimpin lokal yang sebelumnya memiliki kedaulatan penuh, kini hanya berfungsi sebagai pegawai kolonial yang bertugas mengelola sumber daya lokal untuk kepentingan penjajah.

Jejak Sultan Abdurrahman dalam sejarah Sumenep menjadi bukti bagaimana kolonialisme tidak hanya menaklukkan secara militer, tetapi juga membentuk ulang sistem pemerintahan dan memberikan legitimasi baru melalui gelar-gelar yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Dalam konteks ini, peran para pemimpin lokal tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas sejarah penjajahan dan adaptasi terhadap realitas politik yang terus berubah.

MENUJU KEMERDEKAAN

Potret Pendopo Keraton Sumenep (Sumber Foto: Tadjul Arifien R)
Potret pendopo keraton sumenep (sumber foto: tadjul arifien r)

Pada dasarnya dimasa penjajahan Kolonial Belanda, di Madura (Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep) sudah tidak ada lagi Raja/Adipati yg ada hanyalah Regent/Bupati sebagai karyawan Belanda.

Karena sejak perjanjian Giyanti tgl 13 Pebruari 1755, Mataram dibagi 3 menjadi:

  • Surakarta Hadiningrat (Susuhunan Pakubuwono III)
  • Yogyakarta Hadiningrat (Sultan Hamengkubowono I)
  • Madura (Bangkalan, Pamekasan & Sumenep) termasuk pantai utara pulau Jawa, di bawah kekuasaan Kolonial Belanda.

Dengan demikian keberadaan Keraton, Tangsi (Kodim), Masjid Jamik, Alun-alun, Pasar Anom (lama) dan Stasiun, dlsb. sejak berakhirnya pemerintahan Dinasti Bindara Saot tahun 1928, dikuasai oleh Belanda dan ditempati oleh Raden Aryo Samadikun Prawotohadiningrat selaku Regent/Bupati yang diangkat oleh Belanda.

Setelah kemerdekaan semua kekayaan tersebut dikuasai oleh Negara, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Beda dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yang keraton serta kekayaannya tetap dikuasai oleh keturunannya.

Karena di sana, pemerintahannya berdaulat penuh bukan sebagai pegawai penarik pajak rakyat untuk kepentingan penjajah Belanda.***


Sumber Referensi:

  • Prasasti Mula Malurung
  • Kuntowijoyo, 2017, Perubahan sosial dalam masyarakat agraris Madura
  • Samsul Maarif, 2015, The History Madura
  • Drs Abdurahman, 1971, Sejarah Madura Selayang Pandang
  • Drs R Muhammad Syamsudin, MSi, 2019, History of Madura
  • Prof Dr Huub de Jonge, 1989, Sumenep Abad ke 19
  • Prof Mien A Rifai PhD, 1993, Dalam lintasan Sejarah Madura
  • Kartosoedirdjo, 1919, Tjarèta Naghârâ Songennep
  • Zainal Fattah, 1951, Sejarah TPDK Madura
  • Zainollah Ahmad, 2018, Babad Modern Sumenep
  • Moeljono Sastronurjatmo, 1981, Babad Madura
  • Werdisastra, 1914, Babad Songennep, dll dsb.
Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, (Foto: Ari/Doc. Dimadura).
Sumenep

NEWS SUMENEP, DIMADURA –Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura Jawa Timur, rutin memperingati Bulan Bung Karno setiap bulan Juni sebagai bentuk penghormatan terhadap Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Soekarno. ‎ ‎Kegiatan…