Cerpen: Sang Pemuja
Api yang Membakar
Dua minggu telah berlalu sejak pertemuanku yang terakhir dengan Octa. Waktu yang kupikir akan membantuku melupakan dirinya justru membawaku ke dalam perasaan yang semakin dalam, semakin sulit kubendung.
Siang dan malam, bayangannya menghantui pikiranku, seperti api yang terus menyala, membakar pelan-pelan kesadaranku. Aku tahu, ini bukan perasaan yang sehat. Namun, semakin aku berusaha melupakan, semakin kuat perasaan itu menghantamku.
Di tengah kesibukan pekerjaanku, pesan-pesan dari sahabatku terus berdatangan, menasehatiku agar segera menjauh dari semua ini. Aku tahu dia benar. Tapi aku merasa ada yang belum selesai—pertemuan singkat dengan Octa, dengan segala kerumitan hidupnya, seolah meninggalkan tanda tanya besar dalam hidupku.
Satu malam di bulan Oktober, ketika udara mulai dingin dan hujan deras mengguyur jalanan kota, aku duduk di apartemenku, menatap kosong ke arah jendela. Ponsel di meja bergetar, menyala dengan nama Octa di layarnya. Pesan yang tak pernah kuduga.
“Mas, bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”
Aku terdiam sejenak, jantungku berdegup kencang. Aku tahu, ini mungkin bukan langkah yang bijak. Namun, keinginan untuk melihatnya lagi—untuk mendapatkan jawaban—terlalu kuat untuk diabaikan. Aku mengetik balasan singkat.
“Di mana?”
Tak lama, balasan datang. “Tempat yang sama, pukul 9.”
—
Hujan belum berhenti saat aku tiba di klub. Suasana malam itu tidak seramai biasanya. Aku masuk dan langsung mencarinya di tempat biasa, tapi kali ini Octa tak terlihat. Jantungku berdegup semakin cepat, entah karena rasa gugup atau firasat buruk yang tak dapat kuabaikan. Aku berjalan menuju meja bar dan bertanya pada bartender.
“Octa ada di sini?”
Bartender itu menatapku sebentar, lalu menggeleng pelan. “Dia di lantai atas, kamar 207.”
Aku mengerutkan kening, sedikit heran. Sejak kapan Octa memiliki kamar di sini? Tapi tanpa banyak berpikir lagi, aku berjalan menuju tangga, naik ke lantai atas dengan langkah yang semakin cepat. Ketika tiba di depan pintu kamar 207, aku mengetuk pelan.
“Octa?”
Tak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Pintu itu tiba-tiba terbuka sedikit, dan aku mendorongnya perlahan. Di dalam, Octa duduk di tepi ranjang, memandangi lantai dengan tatapan kosong. Ketika dia mendengar suaraku, dia mengangkat kepala, menatapku dengan mata yang tak lagi secerah biasanya.
“Mas Nanda…” ucapnya pelan, suaranya terdengar serak.
Aku menutup pintu di belakangku dan mendekatinya. “Apa yang terjadi? Kau terlihat… berbeda.”
Dia tidak menjawab segera, hanya menatapku sejenak sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam. “Aku butuh bantuanmu, Mas.”
Kata-katanya seperti petir yang menyambar di tengah hujan. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan dari pertemuan ini, tapi permintaan ini… membuatku kaget sekaligus curiga.
“Octa, apa yang kau inginkan dariku?”
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Mas. Aku… aku berhutang besar. Dan mereka tidak akan membiarkanku pergi sampai aku membayar semuanya.”
Aku merasakan darahku berdesir. “Siapa mereka?”
Octa menunduk, tidak ingin menatapku. “Orang-orang yang mengendalikan tempat ini. Aku sudah terjebak dalam lingkaran ini terlalu lama, Mas. Awalnya hanya pekerjaan biasa… tapi hutang-hutang itu datang dan semakin besar. Aku tak punya jalan keluar.”
Aku merasa seperti ditarik ke dalam situasi yang lebih dalam dan lebih gelap dari yang pernah kubayangkan. Ini lebih dari sekadar perasaan. Ini adalah hidup yang dipertaruhkan.
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tanyaku, walaupun aku tahu, menawarkan bantuan seperti ini akan membawaku lebih dalam ke dalam masalahnya.
Octa menatapku dengan mata yang penuh keputusasaan. “Mereka ingin aku membayar 50 juta rupiah, secepatnya. Jika tidak, aku tidak akan pernah bisa keluar dari sini.”
Aku terdiam. Jumlah itu memang tidak besar bagiku, tapi masalahnya bukan pada uang. Masalahnya, jika aku menolongnya kali ini, apa artinya bagi hubungan kami? Apakah ini hanya akan memperpanjang keterikatanku dengan dunia kelam yang dia jalani?
“Apa kau yakin ini satu-satunya cara?” tanyaku, mencoba mencari alternatif yang mungkin bisa kami ambil.
Dia mengangguk pelan. “Aku sudah mencoba segalanya, Mas. Aku bahkan hampir… hampir melakukan hal yang lebih buruk dari ini. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa terus seperti ini.”
Aku merasakan dilema besar membelit pikiranku. Di satu sisi, aku ingin menolongnya, membebaskannya dari situasi ini. Di sisi lain, aku tahu bahwa jika aku terlalu terlibat, aku mungkin tak akan bisa melepaskan diri dari lingkaran ini.
Namun, melihat sorot mata Octa yang begitu penuh keputusasaan, aku tak bisa mengabaikannya. Mungkin inilah api yang membakarku—perasaan ingin menolong, bahkan ketika aku tahu itu bisa menghancurkanku.
Aku menghela napas panjang. “Baik, aku akan membantumu. Tapi aku ingin kau berjanji padaku satu hal.”
Dia menatapku, sedikit terkejut. “Apa itu?”
“Kau harus meninggalkan tempat ini. Jangan kembali lagi. Dan jika kau butuh bantuan, aku akan ada di sini, tapi aku tidak bisa terus-menerus menolongmu.”
Octa terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku berjanji, Mas.”
Dengan itu, aku meninggalkan kamar dan keluar dari klub, menatap langit yang masih diguyur hujan deras. Perasaan lega dan cemas bercampur jadi satu. Aku tahu, ini mungkin bukan akhir dari masalah. Ini mungkin hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Tapi aku sudah membuat keputusan, dan aku harus menanggung semua konsekuensinya.
—
Di apartemenku, aku menatap layar ponsel, mencari-cari nama seorang teman yang mungkin bisa membantuku menyelesaikan urusan ini dengan cepat. Uang bukan masalah, tapi bagaimana aku akan menjalani hari-hari ke depan, setelah semua ini berakhir?
Tak lama kemudian, pesan dari Octa muncul di layarku.
“Terima kasih, Mas. Kau satu-satunya orang yang peduli padaku.”
Aku menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya mengetik balasan singkat.
“Kita lihat saja, apakah ini akhir atau justru awal dari segalanya.”
***
Bersambung ke Bagian 6: Harga Kebebasan
Respon (1)