CongkopGarduObituariSejarah

BRIGADIR JENDRAL R.P. ABDULLAH

Avatar Of Dimadura
598
×

BRIGADIR JENDRAL R.P. ABDULLAH

Sebarkan artikel ini

Serial Pahlawan Nasional: oleh Tadjul Arifien R, Sumenep

Kolase Foto R.p. Abdullah Dan Piagam Penghargaan Bintang Gerilya (Sumber: Tadjul Arifien R. For Doc. Dimadura)
Kolase Foto R.P. Abdullah dan Piagam Penghargaan Bintang Gerilya (Sumber: Tadjul Arifien R. for Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1SEJARAH, DIMADURAPutra Sumenep Madura yang pantang menyerah dalam melakukan perjuangan ini, bergabung menjadi militer sejak masa penjajahan. Pada pendudukan Jepang menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA).

Setelah tanggal 22 September 1945 terbentuk BKR. Tanggal 27 September 1945, Madura juga membentuk BKR. RP. Abdullah bergabung dengan pangkat Kapten karena menyesuaikan dengan di PETA serta sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya.

Melalui Maklumat Presiden tanggal 5 Oktober 1945 Badan Keamanan Rakyat dirubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat atau TKR, di Madura baru mengalami perubahan tanggal 17 Oktober 1945.

Madura dibentuk dua Resimen, bagian barat meliputi Bangkalan dan Sampang dibentuk Resimen 36 Mayangkoro dipimpn Letkol R. Asmoroyudo. Bagian timur meliputi Pamekasan dan Sumenep dibentuk Resimen 35 Jokotole dipimpin Letkol R. Chandra Hassan, untuk Sumenep ada dua Batalyon, Sumenep dan Ambunten.

Batalyon Sumenep di bawah komando Mayor RA. Mangkuadiningrat membawahi 4 Kompi yang antara lain: Kompi I – Kapten R. Abd. Latief, Kompi II – Kapten R. Moh. Saleh, Kompi III – Kapten RP. Abdullah, Kompi IV – Kapten Citroasmoro.

Sedangkan Batalyon Ambunten di bawah komando Mayor R. Abd. Madjid.
Kompi III dipimpin Kapten RP. Abdullah bermarkas di Sronggi dengan anggota 146 personel. Kekuatan persenjataannya hanya 20 sampai dengan 30 senjata api kelas ringan.

Untuk melengkapinya, mereka menggunakan tombak, keris, pedang, bambu runcing serta senjata lainnya. Namun semangat perjuangan mereka tetap berkobar sekalipun resikonya sangat besar, karena pihak Belanda mempunyai senjata lebih lengkap dan canggih. Sronggi merupakan benteng terakhir bilamana pertahanan Prenduan jebol.

Di Desa Tanjung timur Sronggi, merupakan tempat yang strategis untuk memantau kapal perang Belanda bila mendarat di Pelabuhan Kalianget, Tanjung dan pulau Giligenting. Di sana dibangun pos pemantauan yang dijaga secara bergantian oleh prajurit TKR.

Untuk mengatur strategi Kapten RP. Abdullah menugaskan Letda RP. Tadjul Arifin bersama beberapa pasukan untuk bertugas di pulau Sepudi. Brigade IV Sersan Moh. Yusup bersama empat belas orang anggotanya ditugas ke pulau Giligenting menggantikan Brigade I Sersan Abdu yang ditarik ke daratan.

Karena ada informasi di Giligenting terjadi peristiwa penangkapan terhadap lima orang pejuang dan penembakan terhadap K. Abd. Muhni. Pada waktu Belanda menduduki kota Sumenep, Letkol R. Chandra Hassan memerintahkan agar TKR dan MB kembali kerumahnya masing-masing agar semua anggota slagorde segera menyelamatkan diri serta membaur dengan rakyat biasa.

Bintang Gerilya, Piagam Penghormatan Tertinggi Yang Ditandatangani Presiden Soekarno (1958) Sebagai Pahlawan Nasional Dan Harus Dimakamkan Di Tmp. Bila Di Luar Tmp, Pasti Ada Tanda Bendera Merah Putih Dari Besi. (Sumber: Tadjul Arifien R. For Doc. Dimadura)
bintang gerilya: piagam penghormatan tertinggi yang ditandatangani presiden soekarno (1958) sebagai pahlawan nasional dan harus dimakamkan di tmp. Bila di luar tmp, pasti ada tanda bendera merah putih dari besi. (sumber: tadjul arifien r. For doc. Dimadura)

Para perwira diperintahkan agar mencari jalan untuk hijrah ke Jawa. Kapten RP. Abdullah dan beberapa prajuritnya hijrah ke Jawa.

Setelah pasukan Resimen 35 Jokotole tiba di Kediri, lalu menyusun kekuatan, dikoordinir/dipimpin Mayor R. Abujamal, karena Letkol R. Chandra Hassan masih belum tiba. Kapten RP. Abdullah dengan pasukannya ditugas ke Kertosono untuk melakukan pertempuran dengan tentara Belanda melalui Papar.

Setelah melakukan pertempuran di Kertosono, menerima tugas untuk menuju Ngimbang. Berangkatlah dengan kekuatan dua Kompi dijadikan satu, menuju utara melalui Ploso, Kabuh. Untuk menyusun kesatuan, pasukan bergerak cepat dengan melakukan siasat perang gerilya, selanjutnya pasukannya diarahkan ke utara menuju Gresik.

Pada malam hari diguyur hujan lebat, paginya sampai di Metato dan diserang oleh tentara Belanda. Karena tekanan begitu kuat, Seksi Letnan Moh. Saleh mundur ke timur dan tersesat ke daerah Sambikerep di barat Surabaya. Kemudian masuk ke Surabaya satu-persatu untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Untuk mengurangi tekanan dari pihak musuh, pasukan yang ada di Metato melakukan penyerangan ke markas tentara Belanda di Cereme dengan tembakan Mortir, tapi sia-sia. Dan pasukan TKR mundur ke barat menuju Tikung, terus ke Prijetan menuju Gundangdea, sampai di Sukorono diserang lagi dari arah timur.

Pihak pejuang langsung ke selatan menuju Bengkong, di tengah perjalanan melakukan serangan terhadap patroli Belanda. Untuk mengelabuhi tentara Belanda, sebagian para pejuang membelok ke arah Gondang kemudin menuju ke Kertosono. Setelah para pejuang berkumpul di Kertosono, oleh Komandan Resimen di Kediri ditugaskan agar kembali ke Madura.

Mereka berangkat menuju ke arah timur lewat Jombang, Mojoagung, Trowulan, Sooko, Mojokerto terus ke Sidoarjo. Sesampainya di wilayah Sidoarjo dihadang oleh tentara Belanda sehingga terjadi pertempuran, karena tidak seimbang pihak TKR mundur dan sebagian lagi ada yang tertangkap. Kapten RP. Abdullah ikut tertangkap dan dimasukkan ke penjara Kalisosok Surabaya.

Selanjutnya, sesuai dengan hasil dari keputusan Konferensi Meja Bundar pemerintah Belanda terpaksa mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia Serikat, dan dilakukan penyerahan kekuasaan pada tanggal 27 Desember 1949. Semua tawanan Belanda dibebaskan termasuk Kapten RP. Abdullah yang sempat mendekam satu setengah tahun.

Kapten RP. Abdullah pun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian berubah menjadi Tentara Rakyat Indonesia, yang akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia. Pangkat terakhir yang disandang beliau adalah Brigadir Jendral.

Beliau wafat tanggal 26 Maret 1971 beliau tidak mau di makamkan di TMP sekalipun telah mendapat Bintang Gerilya, dan dikuburkan di komplek pemakaman raja-raja di Astatinggi Sumenep, denganH tanda bendera merah pi]utih dari basi, sebagai tanda makam Pahlawan Nasional.

Sumber/Referensi:

  • Brigjen Abdullah, 1971, Sejarah Perjuangan di Madura, Badan Arsip Nasional

  • H Mustaji, BA. & Didik Hadijah HS, 1988, Perjuangan Rakyat Madura, Agung Karya Perkasa

  • Sulaiman, 1993, Masalah Pokok Sarasehan, Dewan Harian Cabang Angkatan 1945

  • Tadjul Arifien R, 2022, Perjuangan Rakyat Sumenep, Pustaka INDIS