dimadura
Beranda Roma Organisasi Dua Kubu PGRI Saling Klaim Legitimasi, Iuran Guru Sentuh Rp90 M per Bulan, Pengamat: Kedua Pihak Perlu Bijak

Dua Kubu PGRI Saling Klaim Legitimasi, Iuran Guru Sentuh Rp90 M per Bulan, Pengamat: Kedua Pihak Perlu Bijak

Gambar Ilustrasi Saling Klaim Legitimasi Ketua PB PGRI antara Kubu Teguh Sumarno dan Unifah Rosyidi (Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1NEWS NASIONAL DIMADURA — Di tengah bergulirnya sengketa kepemimpinan di tubuh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), isu soal penggalakan iuran guru kembali mencuat ke publik.

Di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Sumenep, pengurus PGRI di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., diketahui mulai kembali mengintensifkan penarikan iuran anggota sebesar Rp6.000 per bulan melalui kepala sekolah.

Nominal yang terlihat kecil itu menjadi sorotan lantaran jika dikalikan dengan total anggota PGRI se-Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta orang, maka jumlah dana yang terkumpul bisa menembus Rp90 miliar setiap bulan.

Kegiatan penggalangan iuran tersebut terjadi bersamaan dengan konferensi cabang PGRI serentak di berbagai kecamatan di Kabupaten Sumenep, Rabu (5/11/2025), yang diklaim sebagai bagian dari konsolidasi organisasi.

Namun di balik acara itu, beberapa peserta mengaku diminta membayar iuran rutin setiap bulan senilai Rp 6.000 melalui kepala sekolah masing-masing lembaga.

“Setiap kecamatan sekarang mengadakan Konferensi PGRI. Konferensi serentak tiap kecamatan itu tadi,” ujar salah seorang anggota yang enggan disebut namanya, Rabu (5/11) sore.

“Mereka yang hadir seperti biasa, pengurus PGRI kecamatan, kepala sekolah, dan perwakilan guru. Iuran diminta untuk bayar,” tambahnya.

Dugaan di Balik “Gerakan Iuran”

Pengamat pendidikan, Moh. Saleh, menilai penggalakan iuran anggota di berbagai daerah bukan hal yang netral.

“Kalau dilihat momentumnya, bisa jadi ini bagian dari upaya mempertahankan ‘nafas organisasi’ di tengah konflik kepengurusan. Kubu yang sedang terdesak secara politik tentu butuh amunisi finansial dan legitimasi di bawah,” ujarnya kepada dimadura.id, Kamis (6/11).

Ia menambahkan, sejak konflik internal muncul pasca Kongres XXIII PGRI Maret 2024, dua kubu terus berusaha menunjukkan eksistensi di lapangan.

“Kalau kita melihat konteksnya, saling klaim kursi ketua PB bukan hanya soal legitimasi hukum, tapi juga soal sumber daya, uang, dukungan, dan kepercayaan publik guru,” kata Saleh.

Lanjut Moh. Saleh menilai, bahwa penggalakan iuran guru di berbagai daerah boleh jadi tidak berdiri sendiri. Langkah tersebut menurutnya bisa jadi merupakan instruksi dari PB PGRI pimpinan Unifah Rosyidi, yang saat ini tengah menghadapi tekanan akibat proses hukum yang masih berlangsung.

“Sekilas nominalnya tampak kecil, namun jika dikalikan dengan total anggota PGRI se-Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta orang, maka potensi dana yang terkumpul mencapai Rp90 miliar setiap bulan,” urainya.

“Konteksnya bukan sekadar iuran rutin. Ini tampak seperti langkah untuk mengamankan sumber daya organisasi di tengah sengketa panjang antara dua kubu,” imbuhnya.

Angka fantastis tersebut ia nilai menjadi salah satu pemicu sengitnya perebutan kursi Ketua Pengurus Besar (PB) PGRI antara dua tokoh utama, Prof. Dr. Unifah Rosyidi dan Dr. Drs. H. Teguh Sumarno, M.M.

“Jika satu bulan bisa mengumpulkan Rp90 miliar, itu bukan sekadar organisasi profesi, tapi sudah menyentuh wilayah ekonomi dan kekuasaan yang sangat strategis,” katanya.

Sebelum menutup keterangan, Moh. Saleh menegaskan bahwa baik kubu Unifah maupun Teguh seharusnya menempatkan kepentingan guru di atas kepentingan politik organisasi.

“PGRI lahir dari semangat perjuangan dan solidaritas guru, bukan untuk menjadi alat rebutan kekuasaan. Kedua pihak perlu kembali ke nilai dasarnya: melindungi martabat profesi guru dan memperjuangkan kesejahteraannya,” ujarnya.

“Kalau energi besar organisasi ini terus habis untuk perebutan kursi, maka yang rugi bukan hanya PGRI, tapi dunia pendidikan kita secara keseluruhan,” pungkas pria asal Mojokerto itu menambahkan.

Kubu Teguh: Potensi Pelanggaran Hukum

Dari kubu Teguh Sumarno, kritik keras disampaikan Dr. Ahmad Hosaini, M.Pd., Ketua PGRI Sumenep versi kepemimpinan Teguh. Ia menilai, penarikan iuran di tengah status hukum organisasi yang belum tuntas adalah tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum.

“Pembayaran iuran organisasi profesi yang masih berstatus sengketa hukum dan masih berlangsung tak dibenarkan dilakukan oleh salah satu pihak yang bersengketa. Organisasi yang tetap menarik iuran dalam situasi itu adalah bagian dari pungli,” tegas Hosaini.

Ia mengingatkan bahwa tindakan tersebut bisa dijerat KUHP Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 423 tentang penyalahgunaan wewenang.

“Saatnya anggota PGRI cerdas. Jika oknum pengurus butuh uang, carilah rezeki yang halal dan jangan gunakan organisasi sebagai mata pencaharian,” katanya.

Sementara itu, Ilham Wahyudi, Humas PB PGRI kubu Teguh, menegaskan bahwa hingga kini, status kepemimpinan PGRI masih berada dalam proses hukum di dua lembaga peradilan, yaitu Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Jadi saya luruskan kepada seluruh anggota PGRI, khususnya di Kabupaten Sumenep. Sampai hari ini, status kepemimpinan di PB PGRI masih bersengketa di dua tempat, di PK Mahkamah Agung dan di PTUN,” kata Ilham kepada media ini, Selasa (21/10/2025).

Sebab itu, sambung dia, pengurus PGRI di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak diperbolehkan melakukan pembayaran iuran ke pihak manapun sebelum ada kejelasan hukum terkait kepengurusan yang sah.

“PK (Peninjauan Kembali) masih berjalan di pengadilan dan belum ada putusan. Bahkan kami mengajukan gugatan faktual terkait SK AHU milik Unifah tanggal 8 Maret 2024,” tegasnya.

“Keputusan terakhir beberapa waktu lalu di tingkat Kasasi, inkrahnya sudah, inkrah dualisme (kepengurusan, red),” imbuhnya.

Kubu Unifah: Kepengurusan Unifah Sah Secara Hukum

Sebaliknya, Karim, M.Pd., Ketua PGRI Sumenep dari kubu PB PGRI pimpinan Unifah beranggapan, bahwa sengketa sebenarnya sudah tuntas melalui putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga pengurus di bawah berhak mengumpulkan iuran guru berdasarkan AD/ART.

“Masalah sengketa sudah selesai diputuskan di Mahkamah Konstitusi. Ibu Unifah Rosyidi resmi dan legal menjadi Ketua PB PGRI, sedangkan iuran PGRI sudah berdasarkan AD/ART yang ada,” katanya.

Terpisah,  H. Tomo, M.Si., M.Pd., Wakil Sekretaris PGRI Jawa Timutlr juga menegaskan bahwa kepemimpinan Unifah Rosyidi telah sah secara hukum nasional. Ia mengaku menjadi salah satu saksi langsung digelarnya Kongres XXIII PGRI di Jakarta, 1–3 Maret 2024.

“Prof. Unifah Rosyidi terpilih kembali secara aklamasi dalam Kongres XXIII yang diikuti utusan dari 34 provinsi dan 504 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, disaksikan Presiden RI dan sejumlah pejabat negara,” jelas Tomo belum lama ini dalam keterangan tertulis.

Ia menjabarkan, Kemenkumham telah menerbitkan SK Nomor AHU-0000332.AH.01.08 Tahun 2024 tertanggal 8 Maret 2024 yang menetapkan kepengurusan PB PGRI di bawah Unifah Rosyidi.

“Kasasi MA Nomor 333 K/TUN/2025 tertanggal 23 Juli 2025 juga sudah memutuskan bahwa kepengurusan dengan Ketua Umum Unifah Rosyidi adalah yang sah secara hukum,” ungkapnya.

Ia menegaskan, Pemerintah, pengurus provinsi, dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia disebut telah menyatakan dukungan kepada kepengurusan hasil Kongres XXIII di bawah Unifah.

“Dengan adanya dua putusan itu, klaim dualisme secara formal dan nasional sebenarnya sudah tidak relevan.”

Menurut Tomo, dengan adanya SK Kemenkumham dan putusan MA tersebut, maka kepengurusan PGRI di bawah pimpinan Unifah Rosyidi memiliki keabsahan hukum nasional, dan dukungan dari pemerintah serta organisasi guru di seluruh Indonesia.

“Kemenkumham hanya menerbitkan satu nomor AHU untuk satu kepengurusan PGRI. Kalau sudah ada SK baru, otomatis SK lama tidak berlaku. Klaim dualisme itu secara formal sebenarnya sudah selesai,” tandasnya.***

Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.

Follow
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Konten Iklan