Dua Penghasil Migas di Madura Tetap Bertahan Jadi Kabupaten Termiskin se-Jawa Timur
KOLOM, DIMADURA – Di laut Madura, industri migas bekerja tanpa henti. Sunyi, tetapi menghasilkan nilai yang mencengangkan. Pertanyaannya, mengapa hingga kini Sampang dan Sumenep masih bertahan sebagai kabupaten termiskin se-Jawa Timur?
Sebagaimana dilansir laman ekonomi Bisnis.com, (28/11/2023), HCML, yang mengoperasikan lapangan BD, MDA-MBH, hingga MAC, kini memproduksi sekitar 250 MMSCFD, angka yang bila dikonversi ke harga gas domestik dapat bernilai triliunan rupiah per tahun.
Medco Energi yang beroperasi di wilayah Madura Timur juga mengambil peran penting dalam suplai energi nasional, menambah besarnya volume lifting yang keluar dari perairan Sumenep.
Tak luput juga Kangean Energy Indonesia (KEI) yang beroperasi di gugusan pulau Madura melalui Blok Kangean yang mencakup Pulau Pagerungan dan TSB (Terang-Sirasun-Batur).
KEI memiliki tanggung jawab sosial melalui program PPM, mencakup konservasi terumbu karang dan pemberdayaan komunitas pesisir (Global Energi, 2 Juni 2025).
Di balik 3 anak raksasa SKK Migas di atas, deru ekonomi yang mengalir ke pusat belum benar-benar terasa menghangatkan dapur masyarakat pesisir.
Dua kabupaten yang menjadi penyangga utama aktivitas industri ini justru masih menanggung beban kemiskinan paling berat di Jawa Timur.
Sampang berada di posisi paling buncit dengan tingkat kemiskinan 20,83% (BPS, 15 Januari 2025, dikutip Selasa, 25/11/2025).
Sumenep menyusul dengan angka 17,78%, menempatkannya sebagai salah satu dari tiga daerah termiskin di provinsi ini. Angka-angka ini termuat dalam rilis BPS kabupaten yang dikutip sejumlah media.
Kontras itu begitu telak. Laut Madura mengangkat gas dalam volume raksasa, tetapi daratan Madura masih berkutat dalam statistik kemiskinan.
Seperti rumah besar yang tamu VIP-nya makan kenyang di ruang depan, sementara dapurnya tetap gelap, berasnya menipis, dan anak-anaknya makan sekadarnya.
Masalahnya bukan hanya soal angka ekonomi, tetapi soal arah tanggung jawab sosial yang tidak berjalan seirama dengan besarnya pendapatan sektor energi.
CSR dan PPM KKKS seperti HCML dan Medco Energi selama ini cenderung hadir dalam bentuk seremonial: pelatihan sehari, bantuan sekali, foto bersama, selesai.
Di sisi lain, warga pesisir merasakan dampak langsung dari aktivitas industri. Mulai dari terbatasnya ruang tangkap ikan, perubahan kualitas ekologi laut, hingga ketergantungan ekonomi yang tidak pernah betul-betul diberdayakan.
Padahal, bentuk kontribusi sosial yang benar-benar menolong masyarakat tidak harus rumit:
Program beasiswa berkelanjutan bagi anak pesisir, bukan bantuan insidental menjelang acara tertentu.
Pelatihan vokasi jangka panjang yang membuka peluang kerja riil, bukan sekadar kelas singkat untuk menambah foto laporan.
Pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, terutama bagi nelayan dan perempuan pesisir.
Penguatan kapasitas media lokal, agar fungsi kontrol dan transparansi sosial bekerja secara sehat.
Riset sosial-lingkungan yang melibatkan kampus lokal untuk memantau dampak industri secara objektif.
Semua itu bukan “kedermawanan korporasi” melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap wilayah yang berkontribusi langsung pada keberlanjutan industri mereka.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah transparansi. Regulasi seperti PP 27/2017 memang mewajibkan laporan disampaikan kepada menteri, tetapi tidak pernah secara eksplisit memandatkan publikasi kepada masyarakat.
Akibatnya, warga pesisir yang hidup paling dekat dengan dampak migas justru paling jauh dari informasi. Mereka tidak mengetahui nilai lifting, tidak paham arus pendapatan, dan tidak bisa menuntut hak sosial karena informasi yang diperlukan tidak pernah benar-benar dibuka.
Karena itu, pemerintah daerah Sumenep dan Sampang perlu lebih lantang bersuara. Masyarakat dan pemerintah punya hak untuk meminta KKKS mempublikasikan laporan CSR/PPM secara jelas, rinci, dan mudah diakses.
Tanpa itu, masyarakat akan terus hidup dalam kabut. Yang ada hanya bisa menebak-nebak besar aliran uang yang sebenarnya berasal dari tanah dan laut mereka sendiri.
Madura tidak membutuhkan CSR yang sekadar tampil di baliho. Yang dibutuhkan adalah perubahan struktur kesejahteraan, agar kemiskinan yang selama ini bertahan di urutan tertinggi se-Jatim tidak lagi menjadi identitas dua kabupaten penghasil migas.
Jika gas terus diangkat dalam volume raksasa, tetapi kemiskinan tidak kunjung bergerak turun, maka pertanyaannya sederhana dan tetap sama:
“Untuk siapa sebenarnya kekayaan itu dikeruk?”
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow






