NEWS DIMADURA, SUMENEP –Hari Pers Nasional (HPN) 2025 kembali diperingati dengan berbagai acara seremonial yang melibatkan insan pers, pemerintah, dan masyarakat.
Namun, perdebatan yang selalu menyertai peringatan ini kembali muncul: apakah HPN benar-benar mewakili seluruh insan pers di Indonesia, atau hanya sekadar perayaan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)?
Sejarah HPN dan Polemiknya
HPN ditetapkan pada 9 Februari melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 5 Tahun 1985, dengan alasan hari tersebut bertepatan dengan lahirnya PWI pada 9 Februari 1946.
Namun, sejak awal penetapannya, muncul kritik bahwa HPN lebih cenderung menjadi peringatan PWI daripada hari besar seluruh pers Indonesia.
Sebagai organisasi wartawan tertua, PWI memang memiliki peran historis dalam perkembangan pers di Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul berbagai organisasi lain seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan organisasi profesi lain yang juga memiliki kontribusi besar bagi dunia jurnalistik.
Menjadikan hari lahir PWI sebagai HPN dinilai mengabaikan keberagaman dan dinamika pers di Indonesia.
HPN 2025 dan Sikap Insan Pers
Perayaan HPN 2025 tetap berlangsung meriah di berbagai daerah, dengan seminar, penghargaan, dan pertemuan insan pers.
Namun, di sisi lain, sejumlah wartawan dan organisasi di luar PWI kembali mempertanyakan esensi HPN. Bagi mereka, jika HPN ingin benar-benar menjadi hari pers nasional, maka seharusnya tidak hanya berpusat pada sejarah satu organisasi saja.
AJI dan beberapa kelompok lain kembali menyerukan agar Keppres No. 5/1985 direvisi sehingga HPN lebih inklusif dan tidak hanya dikaitkan dengan PWI.
Mereka menekankan bahwa pers adalah institusi yang lebih luas dari sekadar satu organisasi.
Selain itu, tantangan utama pers saat ini bukan hanya soal peringatan seremonial, tetapi juga soal kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, serta ancaman terhadap independensi media.
Refleksi dan Tantangan ke Depan
Di tengah perubahan lanskap media, pers di Indonesia menghadapi tantangan besar, mulai dari tekanan politik, ancaman hukum terhadap jurnalis, hingga disrupsi digital yang mengubah pola konsumsi berita.
Momentum HPN 2025 seharusnya digunakan untuk merefleksikan peran pers dalam menjaga demokrasi, bukan sekadar ajang seremonial tahunan.
Ke depan, jika HPN ingin benar-benar menjadi milik semua insan pers, maka perlu ada perubahan mendasar dalam cara peringatan ini dipandang dan diperingati.
Jika tidak, maka HPN akan terus menjadi polemik tahunan yang membayangi dunia jurnalistik di Indonesia.***