TOMANG AUSTRALIA, DIMADURA – Salah satu sekolah paling elite di Darwin, Essington, mengumumkan rencana untuk menutup program Bahasa Indonesia pada akhir semester pertama tahun 2025.
Dikutip dari ABC, Minggu, 15 Desember 2024, keputusan ini mengejutkan berbagai pihak yang peduli terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia.
“Keputusan untuk menutup program Bahasa Indonesia didasarkan pada tinjauan menyeluruh terhadap prioritas kurikulum, masukan orang tua, dan keterlibatan siswa,” ujar juru bicara Essington.
Ia menambahkan, pihak sekolah akan berkonsultasi dengan keluarga siswa awal tahun depan untuk mengeksplorasi bahasa pengganti.
Penutupan program Bahasa Indonesia ini terjadi tak lama setelah Scotch College, sekolah bergengsi di Melbourne, melakukan hal serupa awal tahun ini.
Hal ini memicu kekhawatiran akan semakin menurunnya minat terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia.
Kekhawatiran Atas Penurunan Minat
Bayu Prihantoro, asisten guru Bahasa Indonesia di Scotch College, menyayangkan keputusan tersebut. “80 hingga 90 persen anak-anak antusias belajar Bahasa Indonesia, terutama saat penutur asli hadir,” ungkap Bayu kepada ABC.
Namun, tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan para orang tua, program tersebut dihapus begitu saja dari kurikulum.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra, Mukhamad Najib, menyatakan keprihatinannya.
“Penutupan ini bukan hanya soal anggaran, tetapi pemerintah Australia harus lebih serius mendukung pembelajaran bahasa negara Asia, khususnya Bahasa Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, Silvy Wantania, Presiden Asosiasi Guru Bahasa Indonesia Victoria (VILTA), menyoroti masalah persepsi negatif masyarakat Australia terhadap Indonesia.
“Banyak orang hanya melihat Indonesia sebagai tempat liburan, tanpa memahami pentingnya hubungan strategis dengan negara ini,” katanya.
Sebuah Kemunduran Strategis
Luke Gosling, anggota parlemen lokal, menyebut langkah ini sebagai kemunduran besar. “Ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap tetangga kita yang strategis penting,” tegas Luke.
Ia menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah federal dan daerah untuk mengatasi kekurangan tenaga pengajar dan mendukung pembelajaran Bahasa Indonesia.
Sementara itu, Alistair Welsh, dosen Bahasa Indonesia di Deakin University Melbourne, menilai keputusan ini lebih bersifat ideologis.
“Banyak sekolah mengganti Bahasa Indonesia dengan bahasa lain, seperti Prancis, yang tidak relevan secara strategis,” ujarnya.
Penurunan minat belajar Bahasa Indonesia tercermin dari data penurunan jumlah universitas di Australia yang menawarkan program ini, dari 22 pada 1992 menjadi hanya 12 pada 2022.
Harapan untuk Masa Depan
Meski tantangan terus menghampiri, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Canberra, Mukhamad Najib, berharap kolaborasi antara guru, ahli pendidikan, dan pemerintah Australia dapat menghasilkan materi pengajaran yang lebih relevan.
Selain itu, integrasi budaya pop Indonesia seperti musik dan film ke dalam kurikulum diharapkan mampu menarik minat generasi muda Australia.
“Indonesia tidak akan hilang begitu saja. Mereka adalah tetangga terdekat kita yang harus terus kita pahami dan hargai,” utara dosen Bahasa Indonesia di Deakin University Melbourne, Alistair Welsh.***