NEWS SUMENEP, DIMADURA – Kasus kacau balau pergantian kWh meter di tambak Jaelani, warga Kecamatan Dungkek, tidak hanya memicu kegelisahan masyarakat, kini bahkan memantik sindiran pedas dari aktivis muda Sumenep. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sumenep, Moh. Syauqi, melontarkan komentar satir atas bobroknya sistem administrasi PLN.
Dalam wawancara Senin (28/4/2025), Syauqi mengutarakan bahwa praktik dalam kasus ini seolah menunjukkan bahwa PLN hidup dalam ‘hukum administrasi versinya sendiri’.
“Mungkin di PLN, surat kuasa tanpa tanggal itu sah. Mungkin di sana, mengganti meteran dulu baru cari-cari laporan belakangan dianggap prosedur baku,” ujarnya dengan nada getir.
Aktivis muda ini mengkritik lambannya langkah PLN dalam menyelesaikan persoalan ini. “Biasanya kalau pelanggan telat bayar listrik lima menit saja, surat pemutusan sudah siap. Tapi kalau internal mereka sendiri yang kacau, alasannya: proses sedang berjalan,” sindirnya.
Menurutnya, dalam konteks hukum administrasi negara, kesalahan prosedur seperti penerimaan surat kuasa tidak lengkap bisa membatalkan seluruh tindakan administratif yang diambil. Ia menilai PLN telah lalai dalam melindungi hak pelanggan.
“Kalau ini dibiarkan, bukan cuma soal Jaelani. Ini preseden buruk nasional. PLN itu BUMN, bukan toko kelontong!” tegas Ketua BEMSU, Moh. Syauqi.
Holding Statement Kosong dan Ketidakjelasan
Sepekan berlalu sejak mediasi pelanggan dengan PLN, berbagai janji yang dilontarkan di meja mediasi pun tinggal janji. Hingga kini, status Benny (petugas PLN) dan Iksan (pemberi kuasa misterius) tetap remang-remang.
Manager PLN UP3 Madura, Fahmi Fahresi, melalui humasnya, Kharisma Noor, dalam Holding Statement yang diterima media ini, Jumat (25/4/2025), diduga sengaja tidak menyebut satu pun nama keduanya.
Pihaknya cuma menegaskan dugaan pelanggaran penggunaan listrik tanpa meteran pada 14 April 2025, tanpa merinci bagaimana temuan itu bisa terjadi sebelum adanya laporan pelanggan resmi.
Dalam rilis resmi tersebut, Manager Fahmi mempertegas pernyataan yang justru membuat publik mengernyit.
“Kami fokus pada perbaikan layanan, mohon masyarakat mempercayai proses internal kami,” katanya singkat, tanpa membahas status hukum dari prosedur rusak yang menimpa perusahaan yang dipimpinnya.
Di sisi lain, Jailani, pelanggan yang dikenai denda Rp33 juta, semakin mantap untuk membawa kasus ini ke ranah hukum.
“Saya pelanggan resmi, bukan pelanggar. Saya hanya minta keadilan. Kalau harus ke jalur hukum, ya siap,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, PLN belum mengeluarkan klarifikasi baru soal status Benny dan Iksan, serta kebenaran surat kuasa tanpa tanggal yang menjadi dasar penindakan terhadap Jailani.
Di tengah kelesuan respon PLN, publik kini menanti, sampai kapan PLN membiarkan pelanggan bertarung sendirian di tengah rimba birokrasi yang mereka ciptakan sendiri? ***