NEWS KOMUNITAS – Malam itu, Malaka Kopi yang berlokasi di Pangarangan, Kecamatan Kota, Sumenep, Kabupaten Sumenep, Madura, dipenuhi ratusan penonton yang takjub menyaksikan sebuah pertunjukan penuh simbolisme yang menggugah kesadaran.
Di panggung, Saprol, seniman sekaligus aktor dari Teater Dialektik Soengennep, tampil dengan performa provokatif dalam pertunjukan bertajuk Kontra.
Acara ini menjadi pembuka diskusi tentang Krisis Ekologi, Oligarki, dan Arah Politik Gen-Z yang berlangsung Selasa malam tanggal 24 September 2024.
Saprol, nama panggung Umar Faruq Sunandar, bukan sosok asing di dunia teater. Sejak 2007, ia telah menekuni seni peran dengan berguru di beberapa sanggar teater ternama seperti Teater Koma, Teater Kubur, hingga Teater Mandiri asuhan Putu Wijaya.
Jejak kreatifnya bahkan membentang hingga ke mancanegara, dengan proyek-proyek seni lintas budaya seperti Unhopless Nodies di perairan Sanur, Bali, bersama Caitlyn Fionnuala dari Skotlandia. Meski pernah mengalami kegagalan dalam proyek serupa di Jepang, semangat Saprol tak pernah surut.
Dalam Kontra, Saprol mempersembahkan kritik tajam terhadap oligarki yang, menurutnya, melakukan politik penjarahan dengan memanfaatkan kekuasaan dan sumber daya. Ia menyoroti betapa di Sumenep, kekuatan progresif masih belum terbangun kuat, memungkinkan oligarki terus berkuasa tanpa perlawanan yang berarti.
“Kita harus bersikap kontra terhadap segala bentuk mobilisasi yang dijadikan alat oligarki untuk menipu rakyat,” tegasnya.
Pertunjukan dimulai dengan kehadiran patung merah berdasi kuning, simbol kekuasaan oligarki, yang berdiri megah di tengah panggung. Di belakang patung, tertulis kata besar “oligarki” di dinding. Saprol, dengan suasana mistis, membakar dupa dan melemparkan telur bertuliskan “Fosfat,” “Galian C,” dan “Migas” ke arah patung tersebut—menyimbolkan eksploitasi sumber daya alam oleh oligarki.
Adegan ini diakhiri dengan Saprol memecahkan telur dan menghancurkan piring, menandakan perlawanan terhadap kekuasaan.
Tak berhenti di situ, Saprol mengambil Gelindera dan memenggal kepala patung merah, yang disambut sorakan dari penonton. Kemarahan Saprol terhadap simbol oligarki tak kunjung padam.
Ia menghantam kepala patung itu dengan palu hingga pecah, sebuah tindakan teatrikal yang menggambarkan pembebasan dari belenggu kekuasaan oligarki.
Dalam klimaks pertunjukan, seniman yang dikenal memilih hidup lajang ini membentangkan bendera di depan kata “oligarki” yang terpampang di dinding, sebelum akhirnya duduk dan mengucapkan terima kasih.
Suasana hening sejenak, lalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan panjang dari penonton yang terpukau.***