LegendaLonglongan

Legenda Makam Hujan Angin

Avatar Of Dimadura
165
×

Legenda Makam Hujan Angin

Sebarkan artikel ini
Legenda Makam Hujan Angin
Ilustrasi Kisah Legenda Makam Hujan Angin (Istimewa)

Legenda Makam Hujan AnginDIMADURA.IDInilah kisah legenda asal mula tumbuhnya pohon jati raksasa dekat Makam Hujan Angin yang terletak di Dusun Kotthe Desa Longos, Gapura, Sumenep, Jawa Timur.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang Iklan Bisnis Dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

Konon, saat kejadian ini terjadi, Kampung Kotthè sedang dilanda musim némor téghâ berkepanjangan. Dikatakan némor téghâ, karena panas pancar matahari ketika itu benar-benar menampar. Ya, benar-benar menampar nasib penduduk sebuah dusun, Dusun Kotthe namanya.

Tanah sawah di Dusun Kotthe benar-benar kering-kerontang. Tak ada orang bercocok tanam. Sulit lauk untuk makan. Orang-orang Dusun Kotthe, Desa Longos, Gapura memakan apa saja yang dapat mereka makan.

Demikian keadaan masyarakat Dusun Kotthe ketika itu. Paceklik. Tak ada pekerjaan yang menjanjikan. Mayoritas penghuripan masyarakat Kotthe adalah merajut bâjut tempat rumput, sapu seppet dan sapu lidi. Jarang orang ke laut menjaring ikan. Padahal, hanya butuh 100 langkah untuk sampai di pesisir Laut Longos.

Setiap tahun, musim kemarau di kawasan Kampung Kotthè jauh lebih lama dari musim penghujan. Barangkali memang karena ketika itu, mayoritas masyarakat Kotthè pelit, kikir, buakhil, sehingga pun kena laknat. Namun demikian, tak ada yang tahu kenapa tiap musim kemarau tiba, senantiasa paceklik timpa hidup mereka.

***

Diceritakan, adalah seorang kakek tua renta bungkuk bertongkat nan sabar dan tulus. Sepanjang jalan tangan kanannya tak pernah lepas menuntun tangan bocah. Bocah itu masih sangat belia. Satu tahun kira-kira usianya, usia anak baru belajar jalan berdiri.

Kakek dan bocah itu setiap hari datang memanggil salam dari rumah ke rumah. Menggendong kantong lusuh. Ngemmis!

Tiga hari tiga malam berkeliling Longos, Sang Kakek dan Si Bocah tak memperoleh apa pun.

Hanya terkadang, jika kebetulan bertemu dengan orang luman, Kakek dan Si Bocah barulah dapat rejeki, itupun sebatas air putih saja.

Habislah haus, tetaplah lapar. Kakek dan bocah terus saja berjalan mengikuti degup perintah pikiran dan hatinya.

Tak ada orang yang peduli keberadaan mereka. Tak satu pun ada yang menanyakan darimana asal mereka. Tak ada yang bertanya dimana kakek dan si bocah berteduh saat terik; dimana mereka rehat saat malam tiba. Tidak ada.

Saban hari hidup berkawan jalan, kadanglah meringkuk di warung-warung kosong pinggir jalan. Kadang pula di ranggun tengah sawah, di congkop-congkop asta, dan tak jarang mereka nyenyak di bawah pohon-pohon raksasa.

“Sabar ya, Nak! Tiga hari sudah aku dan kau minur air cuma. Persediaan air minum kini sudah sirna. Semoga sebentar lagi ada rumah. Ayolah kita lanjut! Semoga ada yang welas”.

Sembari mengelus ubun-ubun si bocah, kakek menekan keroncong perutnya sendiri. Kosong melompong tapi ramai, perutnya lapar bergemuruh.

Terbenam matahari. Angin yang sejak mula bertiup kencang kini mulai lirih. Di tengah jalan tabun bersemak, sedikit masuk ke utara dari jalan raya Gapura, jejatuh hujan kian deras.

Tak ada rumah. Jauh dari pohon ‘tuk berteduh. Sang Kakek dan Si Bocah tertegun heran, terperangkap dalam keadaan yang mendadak genting. Hujan angin betapa kencang. Tak sebagaimana biasanya. Semakin lama, semakinlah deras menjadi-jadi. Langit pun tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Tak jauh dari tempat kakek dan bocah berdiri, dari arah Laut Longos, tiga gulung angin ola’ taon berputar keras terus kian mendekat. Mengangkat dan memutar perahu, sampan, tongkang, sampah-sampah, hewan-hewan liar dan setiap pohon yang dilewatinya.

Bagai dua onggok batu, kakek dan bocah diam tertegun. Di depan mata mereka angin puting beliung dahsyat. Keadaan sekitar gelap dan mencekam. Sungguh ganas angin ola’ taon kian mengancam. Menoleh kanan kiri tidak melihat apa-apa. Tak ada benda untuk memegang dan berlindung.

Tak boleh lengah, tanpa pikir panjang, kakek lalu menancapkan tongkatnya ke bengkak tanah di bawahnya. Hanya itu barangkali satu-satunya cara agar kakek dan si bocah selamat dari amuk hujan, kilat halilintar dan dahsyatnya hembus angin ola’ taon.

Sia-sia. Tongkat yang menancap tak mampu berbuat banyak untuk keselamatan kakek dan bocah. Sang Kakek dan Si Bocah digilas dan diputar kuat ola’ taon. Terus ditarik. Erat tangan Kakek menggenggam tongkat sambil mendekap tubuh Si Bocah.

Ajaib. Ola’ taon berlalu menjauh ke utara. Kakek dan Si Bocah tak tergilas. Tetap mereka di tempat. Meringkuk. Tapi tubuh Kakek dan Si Bocah lemas tak berdaya. Bersimpuh lemah ke tanah. Cekung perut mereka semakin keroncongan. Tangan kakek tetap begitu erat menggenggam tongkat yang menancap.

***
Tak ada yang melihat keadaan ini. Tak berdaya. Rasa lapar itu menyerang kuat mereka. Sendi-sendinya melemah. Di sini, nafas mereka pun berhenti berhembus.

Baru keesokan harinya, saat Pak Saterrak hendak berangkat menangkap ikan. Bolamatanya belalak terperangah, terpana ke satu arah.

Lebih dekat diperhatikan, rupanya wajah Kakek dan Si Bocah yang tak asing di matanya. Kakek dan bocah yang, pernah suatu ketika, Pak Saterrak beri mereka minum.

Antara terkejut dan bingung, Pak Saterrak lalu pulang. Ia pun naik ke musala dan meraih pengeras suara.

“Kakek dan bocah peminta-minta itu telah mati. Kakek dan bocah yang kemarin datang ketuk pintu rumah kalian telah mati. Di sana, di tengah jalan ke laut Longos!”

Selesai. Pak Saterrak pun bergegas kembali. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi kematian Kakek dan Si Bocah. Di tempat itu juga, dimandikanlah mereka, dikafani, diolesi minyak wangi, dan dikebumikan sesuai adat para sesepuh Kampung Kotthè.

***
Malam berganti siang. Siang berganti malam. Bulan dilumat tahun. Tak ada yang tahu dan menyadari betapa tongkat Sang Kakek yang tertancap itu kini tumbuh jadi pohon jati.

Sampai kini, saat cerita ini ditulis, pohon jati itu kian tinggi menjulang. Lebar melingkar bagailah pohon raksasa. Luas diameternya kurang lebih lima peluk tangan orang dewasa.

Menurut pitutur masyarakat setempat, suatu ketika pohon jati itu coba ditebang oleh dagang. Namun, saat baru saja gergaji mesin menyentuh, dari pokok batang pohon jati tiba-tiba menyeruak bau anyir. Darah segar mengalir, di sini, dari dalam pokok jati.

Demikian, merasa ada lamat bahwa darah segar itu pertanda tola, niat pedagang ‘tuk memotong jati raksasa yang tumbuh di atas Makam Hujan Angin itu pun segera ia gagalkan. Si pedagang lalu lekas membeli kain kafan untuk membalut luka Jati Makam Hujan Angin.

Sampai kini, menjadi keyakinan kuat masyarakat Kampung Kotthè, bahwa pohon jati Makam Hujan Angin ini adalah pohon keramat. Barangsiapa coba menebangnya, pastilah kan mendapat malapetaka!

Baca: Artikel dimadura di Google News

1. Kotthè: Kampung yang terletak di Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep.
2. Bâjut: Wadah rumput untuk pakan sapi berupa anyaman dari janur. Bentuknya bulat dan berlubang-lubang kecil.
3. Tola: Karma, musibah yang tak disangka-sangka menimpa diri seseorang; celaka karena ulahnya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *