GARDU SEJARAH, DIMADURA – Di era digitalisasi saat sekarang, distorsi sejarah memang sangat mudah terjadi. Jadi kita harus bijak dalam menyikapi.
Di Madura saja sudah beredar bahwa bentuk pemerintahannya adalah ‘Kerajaan’ dengan penguasanya Pangeran Cakraningrat I. Begitulah kalau penyusun sejarah kurang jauh pikniknya.
Madura Timur (Songennep) memang pernah ada kerajaan, Rajanya yakni Nararya Kulupkuda (th 1177-1191 Saka atau 1255-1269 Masehi), sejaman dengan Prabu Wisnuwardhana dari Kerajaan Singosari. (Sumber: Prasasti Mula Malurung, lempengan VI a & b).
Sedangkan Arosbaya Bangkalan, baru ada pemerintahan setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke XVI pemerintahan Ki Ageng Pragolbo / Pangeran Islam Onggu’, putra Ki Demang Palakaran th 1500-an masehi. (Sumber: Zainalfattah; 1952).
Setelah Prabu Kertanegara (Singosari) maka Madura Timur atau Songennep diubah status pemerintahannya menjadi Kadipaten, yaitu Adipaṭi Arya Wiraraja tahun 1191 Saka atau 1269 Masehi, karena Arya Banyak Wide membangkang pada kehendak Raja Kertanegara lalu dinohaken atau dibuang ke Songennep (Sumber: Serat Pararaton & kidung Ranggalawe).
Dan sejak th 1191 Saka /1269 Masehi, Madura tidak ada lagi Kerajaan, yang ada Adipati, dan sejak tahun 1672, seluruh Madura sudah di bawah pemerintahan Belanda, tidak langsung menjadi Regent atau Bupati.
Untuk pulau Madura, tidak ada gelar Sultan dari keturunan karena bukan kerajaan. Hanya Regent atau Bupati yang membantu Belanda dalam perang melawan penguasa pribumi, maka akan dapat pangkat Sultan dari Belanda, sebanyak 3 orang, yakni:
- Sultan Cakraadiningrat I (Bangkalan: 1780-1815)
- Sultan Cakraadiningrat II (Bangkalan: 1815-1847)
- Sultan Abdurrahman / Pakunataningrat (Sumenep: 1811-1854)
Dan pangkat Sultan pemberian Belanda tsb tidak bisa diteruskan pada keturunannya, sebagaimana dilansir berbagai sumber.***