Perusahaan Migas Wajib Lapor ke Menteri, Bukan ke Rakyat?
KOLOM, DIMADURA – Di tengah gencarnya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi oleh berbagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), mulai dari HCML, Medco Energi, KEI, hingga yang terbaru MGA, ada satu aturan penting yang kerap luput dibicarakan publik: PP 27 Tahun 2017, revisi dari PP 79/2010 yang mengatur pengendalian biaya operasi (cost recovery) di sektor hulu migas.
Di pasal 34, pemerintah sebenarnya sudah mewajibkan SKK Migas untuk menyusun pedoman pengendalian biaya dan melaporkan pembukuan cost recovery secara berkala kepada Menteri Keuangan dan Menteri ESDM.
Di atas kertas, kewajiban ini terlihat seperti mekanisme pengawasan yang ideal: SKK Migas mengelola, Menteri memantau.
Namun satu hal krusial tidak disebutkan dalam regulasi ini, yakni kewajiban untuk mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat, terutama kepada warga yang hidup paling dekat dengan dampak operasi migas.
Rakyat Kepulauan Tak Masuk dalam Alur Informasi
Di sinilah persoalan mulai terasa. SKK Migas bekerja dengan angka-angka besar: lifting, biaya operasi, recovery cost, belanja hulu, program pengembangan. Semua laporan itu bergerak vertikal, dari SKK Migas ke Jakarta.
Tetapi masyarakat kepulauan yang lautnya menjadi ruang bor, yang merasakan getaran dari rig, yang kehilangan zona tangkapan ikan, sejauh ini tidak pernah berada di dalam lingkaran informasi.
Mereka mendengar kabar keberhasilan industri, tetapi tidak memperoleh data dasar yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai masyarakat terdampak.
Dalam narasi resmi, masyarakat lokal sering hadir hanya sebagai kalimat penutup:
“diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.”
Sayangnya, manfaat itu lebih sering menjadi retorika ketimbang realita yang terukur.
Tidak ada kewajiban transparansi tentang berapa besar lifting migas di wilayah operasi KKKS tertentu.
Tidak ada laporan yang menjelaskan bagaimana nilai ekonomi itu kembali dalam bentuk program sosial, pendidikan, mitigasi lingkungan, atau keberlanjutan hidup masyarakat pulau.
Akibatnya, warga kepulauan hidup dalam kabut informasi. Mereka tahu tanah dan laut mereka sedang “diambil manfaatnya”, tetapi tidak tahu seberapa besar nilai itu dan seberapa besar hak yang mereka terima.
Mengapa Penting Diketahui
Pertama, karena ketertutupan data membuat warga tidak punya dasar untuk menilai apakah aktivitas migas membawa manfaat atau justru memperdalam ketimpangan sosial-ekologis di wilayah mereka.
Kedua, karena tanpa transparansi, program-program yang diklaim sebagai pembangunan sosial hanya akan menjadi dokumentasi seremonial, bukan pertanggungjawaban publik.
Ketiga, karena keuntungan negara dari sektor migas tidak boleh mengubah masyarakat kepulauan menjadi penonton pasif di tanah sendiri, apalagi hanya menjadi penanggung risiko ekologis jangka panjang.
Transparansi bukan permintaan aktivis, tetapi pondasi keadilan sosial. Lifting migas adalah milik negara, dan negara, terdiri dari rakyat, terutama mereka yang merasakan dampaknya langsung.
Jika laporan wajib hanya berhenti di meja kementerian, maka suara masyarakat kepulauan akan terus tenggelam di tengah hiruk-pikuk industri migas yang mengeruk bumi namun tidak membuka data.
Di kolom ini, penulis hendak mengingatkan pihak terkait, sekaligus masyarakat terdampak, bahwa:
Setiap sumur migas punya cerita, dan cerita itu seharusnya juga ditulis oleh masyarakat yang hidup paling dekat dengannya.
***
Penulis: Mazdon
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow






