PangkèngSastra

Puisi-puisi Filosofis ala Jokpin, Refleksi Buah dalam Kehidupan

Avatar Of Dimadura
1237
×

Puisi-puisi Filosofis ala Jokpin, Refleksi Buah dalam Kehidupan

Sebarkan artikel ini
Gambar Ilustrasi Puisi Filosofis Ala Jokpin | 8 Contoh Puisi Tema Buah @Dimadura (Istimewa)
Gambar ilustrasi puisi filosofis ala Jokpin | 8 contoh puisi tema buah @dimadura (Istimewa)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1SASTRA DIMADURA – Penggemar puisi Joko Pinurbo tentu mengenal kekuatan paradoks dan filosofi sederhana dalam setiap karyanya. Melalui permainan diksi dan perumpamaan yang khas, Jokpin — panggilan akrabnya — berhasil menciptakan kedalaman makna yang mampu menyentuh dan menggugah nalar pembaca.

Dalam artikel ini, redaksi hendak mengajak paramaos menelusuri puisi-puisi unik yang terinspirasi dari gaya Jokpin, fokus pada tema sederhana: buah.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Tema buah dipilih bukan tanpa alasan. Buah-buahan, dalam kesederhanaannya, menyimpan banyak pelajaran tentang hidup, pilihan, dan kerinduan manusia pada keindahan alami.

Puisi-puisi ini mengangkat buah sebagai metafora kehidupan, seperti bagaimana kita menunggu sesuatu matang, memetik apa yang diinginkan, atau terjebak dalam pilihan yang tak berujung.

Yuk, kita telusuri makna filosofis yang menggelitik dari setiap puisi berikut!

1. Musim Buah

Musim buah tiba dengan segala kemanjaan,
merah, kuning, hijau,
sekali belah,
aroma tumpah ruah tanpa sekat.
Manusia merayakan gigitannya,
lupa bahwa setelah kenyang
mereka hanya ingat bijinya saja.

Lalu, mereka bertanya:
Mana musim buah yang dulu?
Yang tumbuh di tanah hampa harap,
tanpa panen, hanya sekadar mimpi.
Bukankah lebih mudah merindukan
buah yang tak pernah ada?

2. Memetik Buah Mangga

Mangga itu tinggi, tak terjangkau,
kau yang di bawah hanya bisa menatapnya penuh harap,
seraya bertanya pada angin,
mungkinkah buah itu jatuh,
seperti kata pepatah,
tanpa melawan gravitasi?

Lalu kau berdoa, dengan hati getir,
agar mangga tak menghantam kepala,
agar jatuhnya mulus dalam pangkuan.
Ah, bukankah hidup ini juga begitu,
mengharap,
memetik,
tanpa tahu, apakah yang dipetik manis atau sekadar ilusi?

3. Pilih Nangka atau Cempedak

Dalam hidup ini selalu ada pilihan—
Nangka atau Cempedak,
di bawah pohon atau jauh dari pokoknya.

Kau menimbang, yang satu harum, yang satu liat,
satunya manis, satunya lengket.
Mungkin hidup adalah setangkai nangka yang tersisa,
atau cempedak yang hanya jadi bayangan.

Pada akhirnya,
pilihan bukan soal manis atau lekat,
melainkan yang kau tanggung setelahnya:
lengket di lidah atau di tangan.

4. Menunggu Pisang Matang

Di gardu sawah emak, seikat pisang menggantung.
Kuningnya samar, hijau bertahan,
membuat sabar berdiri dan menunggu.

Setiap hari kau cek warnanya,
serupa menanti janji yang tak kunjung sempurna.
Sambil berkata pada diri,
“Barangkali besok, atau lusa,
ia akan benar-benar matang.”

Namun di hari pisang sempurna menguning,
kau justru lupa memetiknya,
dan ia busuk perlahan di tempatnya,
tersenyum pahit seolah berkata,
“Tak semua yang matang harus dinikmati, bukan?”

5. Mengenang Durian Runtuh

Buah durian, dengan tajam dan aromanya,
tumbang tepat di halaman rumah.
Berkah? Bencana?

Kau tersenyum kecut,
menghitung untung, seperti
menimang-nimang cinta yang berduri.

Oh, durian runtuh—
buah yang jatuh tak diundang.
Yang lebih dikenang mungkin,
bukan dagingnya,
tapi rasa pedih saat memungut serpihannya,
dan bau yang menempel,
tak mau lepas, seperti kenangan
yang terjebak di udara.

6. Di Bawah Pohon Kelapa

Di bawah pohon kelapa, kau duduk merenung,
memandang buah yang menggantung tenang.
Kau paham betul,
satu angin kencang saja, ia bisa jatuh.
Ah, begitulah hidup ini,
selalu menunggu yang tak bisa diterka.

Namun kelapa itu tetap bergeming,
ia tahu, jatuh adalah kodratnya,
meski tak pernah tahu kapan.
Kau tersenyum, berpikir:
menunggu atau dijatuhi,
bukankah hanya soal nasib belaka?

7. Lahang Siwalan

Lahang yang menetes dari pohon siwalan,
memikat, manis setetes demi setetes,
seperti kepastian yang terus ditunggu.

Ia tak segera jadi tuak,
menahan waktu, meresapi takdirnya,
menjaga diri tetap tawar di tengah harap manis.

“Minumlah pelan-pelan,” katanya,
karena hidup ini, seperti lahang,
perlu diserap sebelum kita memabukinya.

8. Buah Simalakama

Buah ini dilemparkan di pangkuanmu,
satu gigitan menjanjikan pahit-manis,
satu gigitan mungkin racun.

Maka kau berhenti sejenak,
berpikir tentang pilihan yang tak sungguh-sungguh bebas:
jika dimakan, ibu mati,
jika tidak, bapak binasa.

Namun dalam keheningan itu,
kau sadar—
mungkin buah ini memang tak perlu dimakan,
cukup dilihat sebagai simbol,
bahwa ada pilihan-pilihan yang lebih baik dibiarkan
menjadi paradoks tanpa solusi.

Dengan gaya yang santai namun dalam, puisi-puisi ini menyuguhkan refleksi hidup melalui lensa filosofi sederhana ala Jokpin. Tidak hanya menyentuh tema-tema seperti penantian dan pilihan, namun juga menghadirkan paradoks yang menyentil dan mengajak berpikir ulang tentang hidup.

Bagi pecinta puisi, karya ini bisa menjadi inspirasi baru yang kaya akan makna. Menikmati puisi ala Jokpin adalah pengalaman yang menggugah, sebuah perjalanan singkat namun penuh pemikiran.

Semoga puisi-puisi filosofis ala Jokpin di atas mampu membawa paramaos dimadura pada renungan mendalam, seperti yang biasa kita temukan dalam karya Jokpin, dan memperkaya perspektif paramaos tentang dunia dan kehidupan sehari-hari. Selamat menikmati!

Respon (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *