KolomLonglongan

Tradisi Tanèyan Lanjhâng Sumenep: Struktur dan Filosofi Pemukiman di Madura

Avatar of dimadura
1347
×

Tradisi Tanèyan Lanjhâng Sumenep: Struktur dan Filosofi Pemukiman di Madura

Sebarkan artikel ini
Tradisi Tanèyan Lanjhâng di Sumenep, Madura (Gambar: Tadjul Arifien R. for dimadura.id)
Tradisi Tanèyan Lanjhâng di Sumenep, Madura (Gambar: Tadjul Arifien R. for dimadura.id)

Oleh: Tadjul Arifien R


Logo dimadura.idKOLOM DIMADURA – Sejak zaman dahulu, di Sumenep, Madura, Jawa Timur, terdapat rumah keluarga besar yang dikenal dengan istilah tanèyan lanjhâng. Terutama di pedesaan, tanèyan lanjhâng merupakan kebiasaan masyarakat lokal yang kemudian menjadi tradisi.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

Dalam perspektif pemukiman tanèyan lanjhâng, selalu ada rumah induk atau utama (roma patobin/tongghu) yang dibangun pertama kali—posisinya berada di ujung barat sisi utara, menghadap ke selatan.

Di depannya terdapat bangunan dapur yang menyatu dengan kandang sapi, berbentuk memanjang dan menghadap ke utara.

Pintu masuk di sebelah timur dinamakan labâng sakèthèng. Menurut bentuknya, ada yang dinamakan labâng sakèthèng dan ada pula yang menyebut labâng saèssèn.

Konsep Peletakan Joglo (Bhângsal, Madura)

Manabi kalongghuwânnna Lora Disa, biyâsana lakar bâḍâ manḍhâpana, romana asèkot bhângsal (joglo) sè jhângghâr bubunganna bâḍâ bitonganna, ghumantong sareng kabâḍâ’ânna (strata-èpon)

BACA JUGA: Fenomena Psikologis Orang Sok Baik

Manabi keluarga ka’ḍinto ghi’ bâḍâ katoronan kopala dhisa, è aḍâ’na roma patobin biyâsaèpon bâḍâ manḍhâpa otabâ panḍhâpa.

Seiring berjalannya waktu, jika orang tua meninggal dunia, rumah induk tersebut akan ditempati oleh anak perempuan pertama bersama suaminya.

Rumah untuk anak-anak selanjutnya (roma poto) dibangun di sebelah timur rumah induk, menghadap ke selatan, dan terus dibangun ke arah timur hingga batas pekarangan (pamengkang).

Selanjutnya, rumah-rumah dibangun ke arah selatan, menghadap ke utara, membentuk pola tanèyan lanjhâng yang khas.

Pada umumnya, bangunan baru ini disediakan untuk anak perempuan bersama suaminya, karena anak laki-laki biasanya tinggal bersama keluarga istrinya.

Sementara itu, dapur (ḍâpor) dan kandang sapi (kanḍhâng) biasanya disatukan dalam satu bangunan, dipisahkan oleh dinding bambu anyam (tabing).

Ukuran ḍâpor dan kanḍhâng lebih kecil dari rumah tinggal dan lebih rendah, menghadap ke utara, sehingga orang yang masuk harus merendahkan tubuhnya.

Bangunan ḍâpor dan kanḍhâng sapi terbuat dari kayu dengan dinding bambu anyam (biḍhik).

Dapur berfungsi untuk memasak, sedangkan kandang sapi digunakan untuk memelihara sapi, hewan piaraan yang umum di Sumenep, Madura.

Selain itu, terdapat bangunan kobhung atau langghâr. Bagi masyarakat Madura, langghâr memiliki peranan penting, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai identitas tanèyan lanjhâng.

Langghâr berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga, makan bersama, menerima tamu, sholat berjamaah, mengaji, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang belum menikah.

Tamu laki-laki diterima di langghâr, sedangkan tamu perempuan diterima di serambi rumah atau ampèr.

Pada awalnya, langghâr menggunakan anyaman bambu (tabing) sebagai dinding tanpa ornamen. Seiring waktu, dindingnya menggunakan batu bata dengan ornamen sederhana berupa motif okel (tangkai utama tanpa daun). Saat ini, langghâr atau kobhung sering disebut musholla.

Tanèyan Lanjhâng (Foto: Tadjul Arifien R for dimadura.id)
Tanèyan Lanjhâng (Foto: Tadjul Arifien R for dimadura.id)

Budaya tanèyan lanjhâng dilestarikan oleh masyarakat Sumenep karena terikat dengan “titah” leluhur untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan, demi keseimbangan ekosistem natural dan supranatural.

Filosofi tertinggi etnik Madura adalah agama Islam, sehingga rumah adat tanèyan lanjhâng selalu memiliki langghâr atau musholla.

Tanèyan lanjhâng memiliki makna filosofi mendalam, membentuk karakter orang Sumenep, Madura yang santun, arif, dan bijaksana dalam menghargai orang lain.

Keteraturan posisi, bentuk, dan proporsi rumah di kampung tanèyan lanjhâng menunjukkan penguasaan masyarakat atas penataan ruang hunian.

Selain tanèyan, ada pula istilah pamengkang, pakarangan, kebbhun, talon, dan tegghâl untuk menyebut sebidang tanah dengan sistem penataan dan peruntukan yang berbeda.

Kekompakan masyarakat pedesaan dalam beraktivitas menunjukkan rasa solidaritas dan kekompakan yang tinggi.

Dalam membangun rumah, mereka mengenal istilah gotong royong (ghutong-rojhung song-osong lombhung), seperti saat menanam ketela pohon (sabbrâng) di Desa Jelbudan, Kecamatan Dasuk.

Pemilik tanah menyediakan makanan untuk sarapan, dan tetangga datang membantu dengan semangat gotong royong. Dalam waktu singkat, pekerjaan selesai, dan semuanya makan bersama dengan saling menjumput makanan dari wadah yang sama, menunjukkan sistem kekerabatan yang kuat.***

Respon (4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *