Dalam kehidupan sehari-hari, kita terkadang menjumpai individu yang tampak selalu berusaha untuk tampil baik dan menyenangkan di mata orang lain, misal dengan membantu pekerjaan tetangganya.
Di sisi lain, dia acapkali memamerkan kebaikan tersebut dengan menceritakannya kepada orang lain sambilalu menekan mereka agar men-justice buruk terhadap orang yang dibantunya. Dia adalah sosok pribadi yang dapat kita sebut sebagai “orang sok baik”.
Fenomena ini menarik untuk diteliti dari sudut pandang psikologis karena perilaku semacam ini seringkali menyembunyikan kompleksitas motivasi dan dinamika psikologis yang mendasarinya.
Studi Kasus: Anna
Anna (bukan nama sebenarnya) suka membantu pekerjaan tetangganya. Tetapi di satu sisi, dia selalu membicarakan kebaikannya tersebut kepada orang lain untuk menjatuhkan harkat martabat tetangga yang dibantunya.
Baca Juga: Viral Figur Cabup Sumenep 2024 Makan Bareng Wanita Seksi Asal Turki di Bali
Misal, Anna membantu membersihkan halaman tetangganya yang lanjut usia, tetapi kemudian dia menceritakan kepada orang lain bahwa tetangganya itu malas dan tidak bisa merawat rumahnya sendiri.
Kajian Psikologis tentang Kasus Anna
Kasus Anna dapat dilihat dari beberapa perspektif psikologis untuk memahami motivasi di balik perilaku sok baiknya dan dampaknya pada hubungan interpersonal.
Di permukaan, tindakan Anna mungkin tampak sebagai upaya tulus untuk membantu tetangganya. Namun, perilaku membicarakan kebaikannya kepada orang lain untuk merendahkan orang yang dibantunya menunjukkan adanya motivasi lain yang lebih dalam dan kompleks.
Motif di Balik Perilaku Anna
Menurut Dr. Jennifer K. Bosson, seorang profesor psikologi di University of South Florida, perilaku semacam ini sering didorong oleh kebutuhan mendalam untuk mendapatkan penerimaan dan validasi dari orang lain.
Dalam kasus Anna, membantu tetangganya mungkin merupakan cara untuk mendapatkan pengakuan sosial dan merasa dihargai.
Namun, dengan menceritakan kebaikannya dan menjatuhkan harkat martabat tetangganya, Anna mungkin juga berusaha untuk menonjolkan dirinya sebagai individu yang superior.
Dr. Susan Krauss Whitbourne, profesor emerita psikologi di University of Massachusetts Amherst, dalam tulisannya untuk Psychology Today, menjelaskan bahwa individu yang memiliki harga diri rendah sering kali merasa perlu mendapatkan validasi dari orang lain melalui tindakan kebaikan yang berlebihan.
Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak berharga atau tidak layak dicintai jika mereka tidak selalu menyenangkan dan berperilaku baik.
Pada kasus Anna ini, perilaku membicarakan kebaikannya kepada orang lain mungkin merupakan upaya untuk mendapatkan validasi tambahan dan memperkuat citra dirinya yang positif di mata orang lain.
Perspektif Teori Kepribadian
Salah satu teori psikologi yang relevan dalam memahami fenomena ini adalah teori kepribadian Carl Rogers.
Dalam teorinya tentang “diri ideal” dan “diri nyata,” Rogers menjelaskan bahwa ketika ada kesenjangan besar antara bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan bagaimana mereka berpikir mereka harus menjadi (diri ideal), ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketegangan internal.
Anna mungkin merasa perlu selalu tampil baik dan membantu orang lain karena dia merasa diri yang sebenarnya tidak cukup baik atau tidak akan diterima oleh orang lain.
Namun, tindakan menjatuhkan harkat martabat orang lain yang dibantunya menunjukkan adanya konflik internal dan perasaan tidak aman.
Anna mungkin merasa bahwa dia perlu merendahkan orang lain untuk merasa lebih baik tentang dirinya sendiri. Dalam bukunya “On Becoming a Person,” Rogers menekankan pentingnya penerimaan diri dan autentisitas.
Menurutnya, individu yang sehat secara psikologis adalah mereka yang bisa menerima diri mereka sendiri apa adanya dan tidak merasa perlu untuk terus-menerus mencari validasi eksternal.
Dalam kasus Anna, perilaku sok baiknya mungkin menunjukkan kurangnya penerimaan diri dan ketergantungan yang kuat pada validasi eksternal.
Dampak pada Relasi Sosial
Perilaku sok baik seperti yang ditunjukkan oleh Anna dapat memiliki dampak signifikan pada hubungan interpersonal.
Orang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain sering kali mengorbankan kebutuhan dan batasan mereka sendiri, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan mereka.
Menurut Dr. Harriet B. Braiker dalam bukunya “The Disease to Please,” orang yang terjebak dalam perilaku sok baik sering merasa tertekan dan terbebani oleh harapan orang lain.
Mereka mungkin merasa sulit untuk mengatakan “tidak,” yang dapat menyebabkan mereka merasa dieksploitasi atau tidak dihargai dalam hubungan mereka.
Perilaku membicarakan kebaikan kepada orang lain untuk merendahkan orang yang dibantunya juga dapat merusak hubungan sosialnya.
Orang-orang di sekitarnya mungkin mulai merasa tidak nyaman atau bahkan terancam oleh perilaku Anna, karena mereka mungkin merasa bahwa Anna tidak tulus dalam kebaikannya dan hanya berusaha untuk meningkatkan citra dirinya sendiri.
Ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan ketidakpercayaan dalam hubungan interpersonal Anna.
Pandangan Psikolog
Dr. Whitbourne mengemukakan bahwa perilaku sok baik sering kali terkait dengan harga diri yang rendah dan ketakutan akan penolakan.
Ketergantungan pada validasi eksternal dan kebutuhan untuk merasa superior bisa jadi mencerminkan rasa tidak aman yang mendalam.
Dr. Whitbourne menyarankan bahwa terapi kognitif-behavioral (CBT) dapat membantu individu seperti Anna mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang mendasari perilaku mereka.
Melalui CBT, individu dapat belajar untuk lebih menerima diri mereka sendiri dan mengurangi ketergantungan mereka pada validasi eksternal.
Dalam bukunya “Radical Acceptance,” Tara Brach mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah kunci untuk mengatasi perilaku yang merusak diri sendiri dan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan autentik.
Meningkatkan kesadaran diri dan mengembangkan keterampilan menetapkan batasan yang sehat dapat membantu mengatasi kecenderungan untuk selalu berusaha menyenangkan orang lain dan merendahkan orang yang dibantunya.
Mengatasi Perilaku “Sok Baik”
Mengatasi perilaku sok baik memerlukan pendekatan yang berfokus pada peningkatan harga diri dan pengembangan keterampilan menetapkan batasan yang sehat.
Terapi kognitif-behavioral (CBT) sering digunakan untuk membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang mendasari perilaku mereka.
Melalui CBT, individu dapat belajar untuk lebih menerima diri mereka sendiri dan mengurangi ketergantungan mereka pada validasi eksternal.
Selain itu, penting untuk mengembangkan kesadaran diri yang lebih baik.
Mindfulness dan meditasi dapat membantu individu menjadi lebih sadar akan perasaan dan motivasi mereka, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang lebih sadar tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain.
Dalam bukunya “Radical Acceptance,” Tara Brach mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah kunci untuk mengatasi perilaku yang merusak diri sendiri dan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan autentik.
Kesimpulan
Perilaku sok baik adalah fenomena kompleks yang sering kali didorong oleh kebutuhan mendalam untuk diterima dan dihargai oleh orang lain.
Dalam kasus Anna, perilaku membantu tetangganya tetapi kemudian merendahkan mereka menunjukkan adanya konflik internal dan ketergantungan yang kuat pada validasi eksternal.
Dari perspektif psikologis, penting untuk memahami motivasi di balik perilaku ini dan dampaknya pada hubungan interpersonal.
Dengan meningkatkan kesadaran diri dan harga diri, serta belajar menetapkan batasan yang sehat, individu seperti Anna dapat mengatasi kecenderungan untuk selalu berusaha menyenangkan orang lain dan menciptakan hubungan yang lebih autentik dan memuaskan.
Respon (1)