” Aisah “
TINTA jingga mencelup pepucuk menara-menara masjid, menara-menara BTS, tiang-tiang kapal di dermaga, dan awan-awan yang berarak dari arah Gunung Mahameru.
Lantunan murattal ayat-ayat suci Al-Quran bergema di tiap penjuru kota kecilku, mengalir bersama angin hingga menelisik ke sela-sela telinga. Dedaunan bergerak karena embusan angin, berjatuhan seumpama jiwa-jiwa manusia yang dihempaskan oleh nasib dan tak takdir yang tidak beruntung.
Memasuki bulan Juni, kota kecilku sudah ditinggalkan oleh hujan yang entah berselingkuh dengan siapa, meninggalkan tanpa permisi kepada katak bangkong yang memanggil-manggilnya di rawa.
Dan seperti biasa, di sore menjelang petang ini aku duduk di bangku sebuah warung kopi bambu sambil menikmati secangkir kopi hitam yang telah berubah menjadi sedingin mayat sejak tadi. Kuseruput pelan hingga mengalir di kerongkongan. Kemeja putih dan celana hitam masih lekat di tubuhku. Belum kuganti.
Di pojok sana terdengar kelakar beberapa lelaki pengunjung kopi yang tampak asyik bermain catur. Sesekali kudengar gemertak butir catur di papan berukuran 25×25 cm.
Catur memang sudah menjadi kegemaran lelaki di kampungku. Apalagi kalau menjelang hari kemerdekaan negara Republik Indonesia. Papan-papan catur digelar di atas meja-meja sampai di luar warung kopi. Para kampiun catur saling duduk berhadapan untuk saling terjang. Siapa yang menguasai peperangan, dialah yang menang dan dialah yang berhak menjadi juara.
“
Sekak!
“
Lelaki paruh baya itu bersabda. Suara tawa terlempar-lempar di langit sore.