Oleh: Soemarda Paranggana
Semacam Prolog
Dalam momen tertentu, puisi terkadang menjadi medium yang tak hanya mengungkapkan perasaan dan pemikiran, tetapi juga menjembatani antara dunia nyata dan metafisik si penyair juga bagi pembacanya.
Puisi “Mitigasi Surgawi” karya Deni Puja Pranata berikut ini merupakan contoh sempurna bagaimana kata-kata dapat menyampaikan pengalaman spiritual, refleksi filosofis, dan keindahan bahasa.
Dalam esai ini, mari kita coba analisis dari sudut cermin linguistik, tasawuf, dan filsafat, untuk memahami sekilas kedalaman makna yang terkandung dalam puisi “Mitigasi Surgawi”.
Teks: “Mitigasi Surgawi”
“`
Aku pergi dengan puisi
Selamanya
Selama angin dihempas Tuhan
Di seribu tiupan doa yang kekal
panggillah aku untuk tak bedebah
Burung-burung putih bernyanyi salsa
Di depan majalah buram
dua rapal tangan mantra
Aku mengigat mataku sembab sejak 25 tahun silam, di simpang tiga di bawah pohon akasia, kau buat kepulan asap dari air mata
36 detik berjalan, aku menemukan jalan surgaSumenep, Madura 2024
“`
BACA JUGA:
1. Cermin Linguistik
Pertama, mari kita tengok puisi ini dari sudut cermin linguistik. Ya, secara linguistik, puisi “Mitigasi Surgawi” menampilkan penggunaan bahasa yang kaya akan simbolisme dan metafora.
Misalnya, frase “angin dihempas Tuhan” menggabungkan elemen alam dan ketuhanan, menciptakan gambaran yang kuat tentang kekuatan ilahi yang tak terlihat namun dirasakan. Penggunaan “seribu tiupan doa yang kekal” menunjukkan repetisi dan durasi, memberikan nuansa keabadian dan spiritualitas.
Struktur kalimat dalam puisi ini cenderung longgar dan fragmentaris, mencerminkan aliran pemikiran dan perasaan yang tidak terstruktur. Penggunaan aliterasi dalam “burung-burung putih bernyanyi salsa” menciptakan ritme yang musikal, seolah-olah menambah dimensi suara pada visualisasi burung putih.
Metafora “majalah buram” dan “dua rapal tangan mantra” memberikan lapisan makna yang lebih dalam, menghubungkan dunia nyata dengan dunia spiritual.
BACA JUGA:
2. Cermin Tasawuf
Dari perspektif tasawuf, puisi ini tampak sarat dengan simbolisme spiritual dan perjalanan batin. Istilah “Mitigasi Surgawi” sendiri bisa diartikan sebagai usaha untuk meringankan atau meredakan beban duniawi menuju kondisi surgawi atau keadaan spiritual yang lebih tinggi.
Penggunaan kata “puisi” sebagai kendaraan untuk “pergi” menunjukkan bahwa ekspresi artistik adalah sarana untuk mencapai pencerahan spiritual.
Lanjut pada frase “angin dihempas Tuhan” dan “seribu tiupan doa yang kekal”, di sini penyair seperti sedang mendeskripsikan cermin pengaruh Tuhan dalam setiap aspek kehidupan, sesuai dengan konsep tasawuf tentang kedekatan manusia dengan Tuhan. “Burung-burung putih” dapat diartikan sebagai simbol jiwa yang bebas dan suci, bernyanyi salsa sebagai bentuk ekstasi spiritual.
Pengingat tentang “25 tahun silam” di bawah “pohon akasia” mungkin menggambarkan momen pencerahan atau kesadaran spiritual yang mendalam. Akhirnya, “36 detik berjalan, aku menemukan jalan surga” bisa diartikan sebagai simbol perjalanan singkat namun signifikan menuju pencerahan atau kebahagiaan abadi.
3. Cermin Filsafat
Secara filosofis, puisi ini mengajukan pertanyaan tentang eksistensi, waktu, dan makna kehidupan. “Aku pergi dengan puisi” dapat diinterpretasikan sebagai refleksi tentang bagaimana seni dan ekspresi pribadi memberikan makna pada kehidupan manusia. Ada juga elemen refleksi mendalam tentang masa lalu, seperti terlihat dalam frasa “25 tahun silam” dan pengingat tentang kejadian di bawah “pohon akasia.”
Frase “panggillah aku untuk tak bedebah” menyiratkan pencarian identitas dan pengakuan, suatu tema umum dalam filsafat eksistensial. Penggambaran burung putih yang bernyanyi dan mantra spiritual juga mengisyaratkan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi dan keinginan untuk melampaui kondisi manusia yang terbatas.
Akhir puisi ini, dengan “36 detik berjalan, aku menemukan jalan surga,” mengandung makna filosofis tentang waktu dan perjalanan menuju pencerahan. Detik-detik yang singkat tersebut menunjukkan bahwa momen-momen kecil dalam hidup dapat membawa kita menuju kebijaksanaan atau kebahagiaan abadi.
BACA JUGA:
Semacam Epilog
Membaca puisi “Mitigasi Surgawi” ciptaan Deni Puja Pranata yang kaya akan metafora makna dan simbolisme ini, saya seperti mendapatkan ada suasana baru sekaligus klasik yang tak kunjung selesai dicerna benak dan otak.
Dari sudut pandang linguistik, tasawuf, dan filsafat, puisi ini menawarkan refleksi mendalam tentang perjalanan spiritual, makna kehidupan, dan hubungan manusia dengan yang ilahi.
Melalui penggunaan bahasa yang puitis dan metaforis, puisi seperti ingin mengajak pembaca untuk merenungkan aspek-aspek terdalam dari eksistensi dan pencarian makna. Tabik, bro! ***
Respon (7)