GaguridanLonglonganPangkèngSastra

Puisi Khalil Tirta: Jaman Topeng

Avatar Of Dimadura
625
×

Puisi Khalil Tirta: Jaman Topeng

Sebarkan artikel ini

Topeng Topong

Koreografi Latar Video Khaliltirta Saat Baca Puisi &Quot;Jaman Topeng&Quot; (Sc.video Rumah Tangga Puisi)
Koreografi latar video Khaliltirta saat baca puisi "Jaman Topeng" (Sc.video Rumah Tangga Puisi)

Puisi “Jaman Topeng” oretan Khalil Tirta ini hendak mengajak kita untuk merenungi kerumitan dan kepalsuan dalam kehidupan modern. Dengan bahasa yang metaforis, penyair menggambarkan pertukaran wajah dan kepala sebagai simbol dari kepalsuan dan kontradiksi yang sering kita hadapi.

Dalam puisi ini, kita dibawa pada perjalanan batin yang kompleks melalui imajinasi tentang pertukaran identitas dan konflik dalam kehidupan sosial. Pemilihan kata-kata yang kaya menggambarkan kebingungan dan kebingungan dalam menghadapi realitas yang semakin kompleks.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Puisi Khalil Tirta *)

——————————

JAMAN TOPENG

Bagaimana jadinya, jika kepala sapi tertukar dengan kepala orang
Lalu kepala yang tertukar itu saling tak merasa
Jika wajah yang dipakai sudah bukan miliknya lagi.

Bagaimana jadinya, jika wajah silang yang sudah hilang asal-usulnya itu
suatu hari berjumpa dan bersapa. Bagaimana jadinya, jika keduanya tiba-tiba
saling bergandengan tangan menuju pasar malam, memasuki masjid, merasuki sekolah, nongkrong di istana negara, berceramah di acara maulid nabi, menjadi gambar orang-orangan jalan raya, mengolah kebudayaan, mengadakan seminar, membikin kabar yang setiap saat nampang di koran dan televisi.

Bertambah hari mengapa tubuh kita semakin riuh-amis pasar ikan?

Ya ikan-ikan yang seluruh tubuhnya telah diolesi formalin.

Dari arah yang berkabut siapa sebenarnya yang menggelar kepalsuan
membeli hati kita seharga daging kambing hitam di pasar global.

Hah! tiba-tiba kita semakin sukar untuk saling memberi salam
Apalagi saling mengenal dan meridhoi setiap pertemuan
Tetapi, semua diharap tenang! Jangan berisik! Jangan gegabah!
Sebab kita sedang menghadap ke panggung gelap
Seperti gelap angan kita yang suka berkelit, berbelit-belit
bermain topeng untuk sekadar menipu diri sendiri.

Dari pada bersedih lebih baik tertawa sepuas luka-luka dada

Sebab, Sesungguhnya Tuhan Maha Tertawa, ketika Menyaksikan kita sedang bermain MUKA!

Mari bertamasya ke dalam perut; pusat segala hasrat bersengkarut
Barangkali perasaan laparlah yang membuat perutku juga perutmu
Perut orang-orang dirasuki mahkluk lain yang terus menggeliat-geliat
bagai ulat-ulat kecil yang suka menari-nari dalam tumpukan kuning tai
karena alasan itukah? kita belajar segala macam siasat, tipu-muslihat
agar memenangi seluruh pertempuran dalam jagat?
nanti setelah pertunjukan usai pulanglah ke dalam cermin masing-masing
barangkali di kedalaman itu kita berjumpa lagi dengan semua yang hilang

Engkau pun pasti mengerti
mengapa laku leluhur sering mengikat perutnya hingga bertahun-tahun.
Mengapa juga bayi yang baru lahir tali pusarnya segera digunting
dengan disertai sebaris doa pembuka.

Hayya alassholah! Hayya alal falah!

Maka demi Dia yang mencintai kemurnian
Segera kembalikan seluruh raut wajah yang bukan milik kita.

BUANGLAH SAMPAH KE TEMPATNYA!

Monggo! Monggo! Kita menuju amsal air
untuk membeningkan lelaku wudhu`
agar kepala kita tak tumbuh sepasang tanduk.

Sumenep, Oktober 2018


Deklamasi Puisi Jaman Topeng


Ya, puisi berjudul “Jaman Topeng” atau yang seringkali dideklamasikan dengan latar suara ‘topeng topong’ ini mendorong kita untuk mengintrospeksi diri, mengenali dan menghadapi kepalsuan yang ada di sekitar kita.

Dengan nada yang kritis namun penuh harapan, penyair mengajak kita untuk membuang semua topeng dan kembali kepada keaslian dan kesejatian diri.***