Istriku Bukan Teroris
Cerpen: Khairul A. El Maliky *)
MASJID AL MUTTAQIN merupakan satu-satunya sekaligus menjadi masjid pertama yang dibangun oleh warga kepulauan terpencil di Pulau Puger Selatan.
13 tahun berdiri, Masjid Al Muttaqin kerap diterjang banjir rob. Selama belasan tahun juga air kerap menggenang dan merusak bangunan.
Masjid ini tak pernah diperbaiki, hingga kondisinya kian memburuk dan rawan ambruk. Kini anak-anak tak bisa mengaji, sedangkan warga kesulitan untuk menunaikan shalat Jum’at.
Bahagia rasanya ketika menyaksikan bebatuan yang terpasang menjadi pondasi, tiang-tiang kayu yang terpancang menopang atap dan dinding. Ibu-ibu pun sampai ikut terlibat mengangkut batu-batu besar menuju bangunan masjid.
Sayangnya, pembangunan masjid harus terhenti. Warga Pugersari kehabisan dana akibat ongkos dan kebutuhan material yang melambung tinggi. Maklum, dusun ini terletak jauh dari daratan yang membuat barang-barang harus diangkut melalui jalur laut dan sungai.
“Menuju bulan Ramadhan yang tinggal menghitung hari, warga pulau Puger terus berjuang untuk mengumpulkan biaya pembangunan,” kata Pak Harun, kepala desa kami itu memandang ke arahku pas ketika kami berdiri di depan masjid yang tegak di bawah basuhan cahaya senja.
“Saya akan coba bilang sama istri saya dulu ya, Pak. Kebetulan kami habis membeli bahan-bahan material bangunan, rencananya hendak merehab rumah. Bapak tahu sendiri kalau rumah yang kami tempati berasal dari uang tanah istri. Kalau rumah saya sendiri sih saya tidak perlu menunggu minta izin,” sahutku dengan menghela napas.
“Semoga istri Jenengan legawa, Pak Samsul.” Pak Harun tersenyum, aku mengangguk.
Setelah berbicara satu dua kalimat, aku pun pamit undur diri. Aku segera pulang ke rumah untuk menemui istriku. Aku melihat arloji sudah menunjukkan pukul lima sore. Tabir jingga telah dihamparkan oleh tangan-tangan malaikat. Cahaya matahari hampir tumbang di kaki langit. Istriku pasti tengah memanaskan makanan sambil menungguku pulang dari kantor. Aku memacu sepeda motor matic-ku. Akhirnya aku sampai di halaman rumah dan, anak sulungku yang sedang menemani adiknya bermain ayunan di bawah pohon nangka sambil membaca buku cerita bergambar, segera menyambutku.
“Hore! Ayah sudah pulang.” Anak sulungku girang, disusul adiknya yang baru menginjak usia 3 tahun.
“Ayo kita masuk ke dalam rumah, Kak! Ayah bawah oleh-oleh.” Aku memarkirkan motor matic-ku di halaman yang diselimuti rumput gajah miri. Aku pun menghampiri mereka. Kuraih si bungsu dan kugendong. Sementara si sulung kupegang tangannya.
“Ayah bawa oleh-oleh apa?” tanya si sulung tak sabar.
“Donat kesukaan kakak.”
“Hore! Ayah bawa donat.”
Kami sampai di ruang tengah dan tampak istriku sedang mempersiapkan makanan di atas meja. Perempuan yang mengenakan cadar dan jubah warna merah marun itu tampak cekatan sekali. Ketika melihatku datang, ia segera menghampiriku dan mencium tanganku penuh takzim. Ah ya, kalian pasti terkejut melihat cara berpakaian istriku. Kalian pasti berasumsi bahwa istriku penganut paham Islam garis keras atau Syiah. Iya kan?
“Pakaian kotornya langsung ditaruh di keranjang ya, Mas,” istriku mengingatkanku sambil mengambilalih si bungsu.
“Ya, Sayang.” Aku meletakkan kantong kresek berisi bungkusan kotak donat di atas meja.
“Bunda, bunda, aku mau donat yang dibeliin sama ayah.” Pinta anakku merengek sama ibunya.
“Nanti kalau sudah makan, Sayang, baru dimakan donatnya.”
“Nggak, aku mau makan donat sekarang.”
“Nak, kamu harus mendengarkan apa yang dibilang sama bunda,” kataku lembut dari balik pintu kamar.
“Nggak mau, nggak mau.” Rengeknya makin menjadi.
“Sudahlah, Sayang, dikasih saja donatnya!”
Istriku menghela napas, mengalah. Ia tidak mau cekcok denganku hanya karena pasal anak. Ia mengambilkan satu donat lalu diletakkan di atas piring.
“Kalau lagi makan, kakak harus duduk di kursi.”
Tanpa disuruh dua kali anakku langsung menuruti titah ibunya. Ia segera naik ke kursi dan duduk. Ia makan di meja makan. Kami memang membiasakan adab makan pada anak-anak sejak dini.
Selesai mandi aku segera berganti pakaian di kamar. Pakaian kotorku sudah kusumpal di keranjang kotor supaya langsung dicuci oleh istriku. Setelah itu, aku segera ke ruang makan. Di atas meja sudah siap masakan kesukaanku, sup jamur ayam, oseng paku dan pare dan semur jengkol yang masih panas. Aroma masakan yang tercium membuat nafsu makanku tergugah. Istriku mengambilkan piring dan nasi lalu dijulurkan padaku. Aku menyendok sup jamur ayam dan kutuangkan ke nasi. Sambil makan aku utarakan apa yang sudah aku bahas tadi dengan Pak Harun pada istriku.
“Bun, tadi aku ketemu sama Pak Harun. Selain menanyakan kabar keluarga kita dan urusan kantor, beliau juga membahas soal masjid,” aku memulai pembicaraan sambil mengunyah nasi. Istriku sendiri menyuap si bungsu. “Beliau bilang masjid kampung harus dibenahi agar segera dapat digunakan bulan Ramadan ini. Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau bahan-bahan material yang mau kita buat merehab rumah kita sumbangkan ke masjid.”
Aku terdiam. Aku menunggu respons dari istriku sehingga ruang makan dikuasai keheningan.
***
Setelah menikah aku memboyong istri ke desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sana kami awalnya mengontrak rumah sederhana yang cukup buat kami berdua. Rumah itu model rumah pedesaan yang memiliki sebuah halaman yang penuh dengan bunga-bunga. Istriku langsung jatuh cinta pada rumah itu. Apalagi ia sangat hobi menanam bunga. Lalu aku mencoba melamar pekerjaan di salah satu bank swasta yang berada di kota. Sambil menunggu wawancara, aku juga mengerjakan beberapa proyek komik yang kami kerjakan sesama alumni UGM. Semasa kuliah dulu aku memang mengambil dua jurusan sekaligus, Jurusan Akutansi dan Desain Grafis. Akhirnya aku pun lulus dari kedua jurusan dengan nilai memuaskan tapi mencari pekerjaan di kotaku sulitnya minta ampun. Lantas aku pun bergabung dengan teman-teman ISI Jogja yang berkecimpung di dunia komik. Di era awal bergabung aku mengerjakan proyek komik hero yang fenomenal. Dari honorarium menggambar komik, aku pun bisa menabung sedikit demi sedikit hingga berani menikah.
Aku mengenal istriku karena ia adik dari salah seorang sahabatku. Ia orangnya baik dan salihah. Awal melihatnya aku agak risih dengan caranya berpakaian. Sebagian keluargaku yang notabene pengikut paham Sunni awalnya menolak karena istriku memakai cadar. Mereka berspekulasi kalau istriku penganut paham Islam Ugal-ugalan. Akhirnya aku pun memutuskan untuk tinggal di rumah kawanku untuk mencari kebenaran. Akhirnya usut punya usut ternyata istriku alumni ponpes yang menjadi poros kekacauan di negeri ini. Selama dua minggu tinggal di rumah sohibku itu, aku pun memutuskan untuk tetap menikahinya. Pernikahan pun terjadi, dihadiri sebagian keluarga besarku.
Setelah menunggu satu minggu aku mendapat panggilan interview dari bank swasta itu. Dan dua minggu kemudian aku pun resmi bergabung. Dari gaji yang kudapatkan aku pun bisa menabung. Hingga pada akhirnya, Pak Sidik, pemilik rumah menawarkan rumahnya pada kami karena ia lagi membutuhkan biaya operasi anaknya yang mengidap Tuberculosis.
“Seratus lima puluh juta rupiah, Mas,” kata Pak Sidik.
Aku menelan ludah. Aku ingat jumlah saldo uang tabunganku di bank. Aku menoleh ke arah istriku. Ia tersenyum seakan hendak menenangkan hatiku.
“Saldo tabunganku tidak sampai segitu, Sayang.”
“Mas lupa kalau mas sudah punya aku?” Istriku tersenyum hingga terbit lesung pipinya. Binar netranya memancarkan ketenangan jiwa. “Aku bersedia membantu mas yang ridha menolong Pak Sidik.”
Apa maksud istriku?
“Aku akan menjual tanah bagianku di kampung. Kalau masih kurang, aku akan menjual perhiasanku.”
“Sayang, apa yang akan kamu lakukan? Menjual tanah? Tidak, Sayang, aku tidak mau menerima uang dari menjual tanah yang bukan milikmu.”
“Mas, tanah yang ada di pinggir kampung sudah diatasnamakan diriku oleh almarhum bapak dan otomatis tanah itu juga milikmu sebagai ahli warisku. Dan tanah itu sudah laku. Aku lupa tidak langsung memberitahumu karena aku ingin uang itu kusimpan saja di tabunganmu.” Istriku menatapku dengan penuh keyakinan. “Kita beli rumah ini.”
Esoknya kami pun menemui Pak Sidik untuk membeli rumahnya. Dengan begitu kami juga telah menolongnya. Sejak itu aku mulai mengenal sosok istriku yang jauh dari persepsi buruk yang didengungkan orang-orang sekitarku.
Dua bulan setelah rumah itu resmi berpindah kepemilikan ke kami, istriku hamil anak pertama. Anakku lahir tepat tanggal 17 Ramadhan sembilan bulan kemudian. Dan tiga tahun kemudian anak kedua kami lahir tepat malam takbiran Idul Fitri.
***
Jarum detik merambat serasa melambat hanya untuk menunggu persetujuan dari istriku.
“Iya. Nggak apa-apa, Mas. Sebaiknya kita sumbangkan saja bahan-bahan material itu buat masjid. Kan kita masih bisa beli lagi sekalian menghitung ongkos tukang.” Istriku mengulum senyum. Bulan sabit terbit di bibirnya.
“Insya Allah, bulan depan kita akan rehab rumah ini. Terima kasih, Sayang.” Aku juga mengulum senyum.
Akhirnya, kami pun menyerahkan bahan-bahan material bangunan itu kepada pengurus takmir masjid. Aku lega, istriku pun lega. Dengan segera panitia pun mulai merehab masjid hingga selesai sebelum bulan puasa. Awal Ramadhan kami pun shalat tarawih berjemaah di masjid tapi orang-orang memandang istriku dengan tatapan sinis dan merendahkan. Bahkan seorang ibu-ibu menjaga jarak saat istriku duduk di shaf. Lalu ibu-ibu bisik-bisik pada ibu-ibu yang lain kalau ponpes tempat istriku nyantri adalah sarangnya teroris dan pemberontak yang ingin mendirikan Negara Islam Nusantara. Katanya lagi, pengasuh ponpes juga mengajarkan nyanyian Yahudi dan Nasrani kepada para santrinya. Katanya ajaran ponpes itu jauh dari Al-Quran dan sunah Rasul. Mendengar gunjingan itu istriku menangis dalam pelukanku.
“Allah memang memilih hamba-Nya agar menjadi yang terpilih,” bujukku menenangkan hatinya. “Dan tidak semua hamba akan dipilih sepertimu.”
Aku mengusap sutra bening di kedua cekung netranya.
Hari kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, gunjingan-gunjingan beracun itu terus menyesaki kuping istriku. Hingga datanglah pengurus takmir bertamu di rumahku.
“Sebelumnya saya minta maaf, Mas. Saya mohon Jenengan tidak tersinggung dengan pertanyaan saya.”
“Insya Allah.”
“Apakah istri Pak Samsul alumni Ponpes Al-Zaytun?”
“Benar, Pak. Ada apa memangnya, Pak?”
“Apakah Jenengan tidak curiga gitu selama ini?”
“Apa yang patut saya curigai dari istri sendiri? Selama ini saya tidak mencurigai orang yang berseberangan paham dengan paham yang saya anut. Sebab selama ini saya lebih fokus mengamalkan ajaran Al-Quran. Misal memberi makan fakir miskin, menyantuni anak yatim piatu, menolong orang-orang lemah, menghormati dan menghargai orang lain dan memuliakan tetangga. Bukankah semua ini adalah amalan sunah Rasulullah?”
Pengurus takmir salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri.
“Lalu, pernahkah sekali saja Bapak melihat hal-hal aneh yang ada dalam diri istri saya?”
Pengurus masjid menggeleng.
“Istri saya memang bercadar, tapi dia bukan teroris, Pak.”
Suasana ruang tamu pun lengang. []
Probolinggo, 19-06-2023
*) Khairul A El Maliky. Novelis, peracik cerpen dan kopi