NEWS, SUMENEP – Kantor Puskesmas Batang-batang, Sumenep, Madura didemo puluhan aktivis Garda Raya bersama warga atas dugaan malpraktek oleh bidan senior setempat, Selasa (28/11) siang.
Pantauan di lokasi, sejumlah masa memadati pintu masuk Puskesmas Batang-batang. Ada sekitar 70 demonstran, gabungan antara aktivis Gerakan Pemuda Timur Daya (Garda Raya) dengan warga Desa Tamidung.
Korlap Aksi, Abd Halim mengatakan, berdasarkan pengakuan keluarga korban, ditemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pengambilan darah oleh pihak puskesmas setempat.
Pertama, Halim mempertanyakan mengapa proses skrining atau SHK terhadap si bayi dilakukan tanpa persetujuan keluarga korban?
“Kedua, tumit yang diambil darahnya itu ada bekas lebam hitam,” katanya, disusul teriakan massa, “Betul, itu ada bukti foto dan videonya,” lantang mereka.
Ketiga, lanjut Halim, setelah pengambilan skrinning hipotiroid kongenital atau SHK, ternyata kondisi kesehatan bayi menurun drastis. “Dia tiba-tiba tidak mau menyusu dan badannya panas,” timpal dia lantang.
“Di sini kita curiga telah terjadi kecerobohan oleh oknum bidan Puskesmas Batang-batang,” ujarnya.
Halim kemudian mengungkap bahwa kejadian seperti ini bukan hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya, kata dia, kejadian hampir serupa terjadi pada salah satu warga asal Desa Batang-batang Daya dan Kolpo.
“Kasus demi kasus yang terjadi membuat masyarakat tidak lagi percaya pada pelayanan Puskesmas Batang-batang,” katanya.
“Sebab itulah, kami Aliansi Gerakan Pemuda Timur Daya bersama masyarakat, terlebih keluarga korban, mengibarkan bendera perlawanan di sini, dan dengan tegas menuntut agar bidan yang menangani bayi tersebut mundur dari profesinya,” tutur Halim.
Ia menuding, bidan berinisial WD tidak professional bahkan sudah lalai dalam melakukan tugas dan wawenangnya.
Korlap Halim bersama massa aksi lain kemudian berteriak lantang agar Kepala Puskesmas Batang-batang, de Fatimatus Insoniyah segera mengundurkan diri dari jabatannya.
“Jika tidak mampu, Anda sebaiknya undur diri sebagai Kapuskesmas Batang-batang,” katanya.
Aksi demonstrasi berjalan damai, Kapuskesmas Insoniyah keluar menemui massa dengan kawalan personel pengamanan dari Polres Sumenep.
“Kami sudah bertugas sesuai prosedur, SHK ini adalah program langsung dari kementerian untuk setiap bayi yang lahir,” jelas dr Insoniyah.
Diwawancara lebih lanjut usai aksi, Kapuskesmas Batang-batang, dr Fatimatus Insoniyah menjawab sejumlah tuntutan yang disampaikan massa aksi Garda Raya.
Soal pernyataan bahwa tindakan skrining tanpa persetujuan keluarga korban, Kapuskesmas Insoniyah menjelaskan, skrining terhadap setia bayi yang baru lahir itu wajib dilakukan.
“Jadi setiap bayi baru lahir itu wajib diskrining hypotiroid kongenital atau SHK, tujuannya adalah untuk menjaga kemungkinan bayi tersebut kerdil, jadi mencegah kekerdilan,” tuturnya.
dr Insoniyah kemudian lebih lanjut menuturkan kronologi bahwa bayi tersebut lahir pada hari Rabu (15/11) pagi, sekitar pukul 01.00 WIB.
Sebelum melahirkan, pihak puskesmas menurutnya telah memberikan edukasi terhadap keluarga korban terkait kondisi si ibu, berikut kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi pada saat persalinan.
“Nah yang ketiga, karena ini merupakan program baru, jadi dijelaskan tentang pengambilan darah untuk SHK,” katanya.
Setelah itu, pihak keluarga diperkenankan pulang dan diminta agar kembali pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023. Karena pengambilan SHK berdasarkan ketentuan Pemerintah Pusat memang harus dilakukan minimal 1 x 24 jam setelah lahir, “hingga paling lambat 2 minggu setelahnya,” tambah dr Insoniyah.
“Nah, pada hari ketiga itu ibunya dateng bareng suaminya, berarti mau dia untuk diambil (skrining,red) kan, jadi diambil (darahnya),” katanya menyimpulkan.
Kapuskesmas Insoniyah lebih lanjut mengatakan, berdasarkan KMK No. 78 Tahun 2014, bahwa untuk program SHK ini memang tidak mewajibkan pihak Puskesmas untuk melakukan kontrak persetujuan dengan pasien atau keluarga pasien.
“Jadi pelaksanaan program SHK ini tidak memerlukan inform concern karena merupakan program pemerintah. Jadi kayak imunisasi itu pak, setiap akan imunisasi itu kan ndak perlu disuruh tanda tangan, jadi untuk ini memang tidak ada dan sudah termaktub dalam KMK-nya,” paparnya.
Yang harus melakukan persetujuan, tutur dia, adalah jika si pasien menolak untuk dilakukan skrining.
Sejak diterapkannya program SHK ini, mulai 1 September 2023 hingga hari ini, Selasa (28/11), menurutnya bayi yang diskrining total sudah berjumlah 35 bayi. “Ya, termasuk bayi yang meninggal itu,” pungkasnya.***