Kosa KataKolomLonglonganPangkèng

Tapa’ Ḍângḍâng vs Temmo Ghellâng

Avatar of dimadura
732
×

Tapa’ Ḍângḍâng vs Temmo Ghellâng

Sebarkan artikel ini
Gambar Ilustrasi Jalan Tapa Ḍangḍang. Lokasi titik perempatan Pasar Canḍhi Kecamatan Dungkek Sumenep Madura Arsip @dimadura.id

IMG 20230304 014921 202 e1680177139947Dalam Bahasa Madura, ada dua istilah unik yang menurut penulis menarik untuk didiskusikan bersama paramaos DimaduraID. Dua istilah unik tersebut yakni, tapa’ ḍângḍâng dan temmo ghellâng.

Dua istilah unik bahasa Madura ini merupakan sebutan untuk sebuah tempat yang—menurut kepercayaan leluhur—menyimpan aura magis dan penuh misteri.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

Dikatakan magis dan penuh misteri karena oleh leluhur di Madura, utamanya leluhur masyarakat Kabupaten Sumenep, tempat ini menjadi salah satu situs keramat dimana seringkali terjadi sesuatu yang tak masuk akal.

 

Tapa’ ḍângḍâng

 

Tapa’ dalam bahasa Madura berarti tapak dalam bahasa Indonesia. Sementara ḍângḍâng (baca, dengdeng; burung gagak) dalam kepercayaan orang Madura terdahulu dianggap sebagai burung pembawa sial.

 

Jika ada burung gagak terbang mengelilingi rumah-rumah sebuah perkampungan, berarti sebentar lagi akan ada orang yang meninggal di kampung tersebut.

 

Jadi, tapa’ ḍângḍâng merupakan gabungan dua kata antara tapak dan burung gagak. Ya, secara etimologi, tapa’ ḍângḍâng adalah tapak burung gagak.

Sementara secara terminologi bahasa Madura, arti tapa’ ḍângḍâng sebenarnya adalah titik tengah perempatan jalan dimana jalan tersebut dipercaya rawan akan gangguan mahluk halus.

Di tempat ini kerap kali terjadi musibah kecelakaan atau orang kesurupan, yakni jika manusia tidak hati-hati melintas di titik tempat tersebut.

Ya, setiap kali menyebut tapa’ ḍângḍângjhâlân sè acangka empa’ atau perempatan jalan—maka dalam pikiran orang-orang Madura akan terbayang aura mistis dan keangkerannya.

Doeloe, orangtua di Madura akan menyuruh anak-anak mereka agar membaca doa-doa keselamatan saat hendak melintas di titik jalan tapa’ ḍângḍâng.

Jika pun ada yang kesurupan jin, biasanya orangtua mereka akan meletakkan sesajen berupa penganan dan bunga tujuh rupa, dupa, serta juga uang seadanya:

 

“Sebuah penghormatan sekaligus permohonan kepada mahluk halus penghuni tempat tersebut agar tidak lagi mengganggu anaknya”.

 

Mengutip kata Marciano Guerrero dan Martin Heidegger, “Bahasa adalah rumah wujud”, maka barangkali inilah salah satu “ada” dalam bahasa yang mereka maksud; bahwa dalam bahasa bersemayam “ada” sekaligus “ADA” yang tak terlihat tapi berdampak.

Lebih jauh, betapa bahagianya penulis jika ada di antara paramaos yang menuliskan preferensi makna istilah unik bahasa Madura ini dalam sudut pandang masing-masing.

Anggap saja artikel ini adalah pemantik untuk diskusi-diskusi ilmiah selanjutnya dari paramaos dimadura.

 

Macam-macam sebutan tapa’ ḍângḍâng

 

Ada tiga bentuk pengucapan untuk istilah unik bahasa Madura yang menunjuk tempat mistis ini, antara lain: 1) tapa’ ḍângḍâng, 2) tapa ḍângḍâng, dan 3) tapak ḍângḍâng.

Makna kata antara tapa’, tapa, dan tapak saat disandingkan dengan hewan mamalia terbang tersebut (ḍângḍâng) sebenarnya tidak jauh beda.

Pertama, “tapa’ ḍângḍâng”. Nama tempat ini sangat erat kaitannya dengan “hinggap”-nya burung gagak yang dianggap sebagai hewan pembawa sial.

Selanjutnya, tapak (baca: Madura) berarti pernah mencicipi, pernah melalui, pernah mengenyam dan/atau pernah-pernah yang lainnya.

Asumsi penulis, entah itu burung gagak asli atau burung gagak jadi-jadian, suatu ketika doeloe, pernah hinggap tidak hanya menjejakkan kaki di tempat tersebut, tetapi juga menciptakan sejarah atau semacam konsensus dengan manusia leluhur di Madura.

Terkahir, arti kata “tapa” dalam bahasa Madura sama dengan “tapa” dalam bahasa Indonesia. Merujuk Wikipedia, “tapa” atau “pertapaan” berasal dari akar kata tap yang berarti energi.

Lebih jelas, tapa adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia untuk mengendalikan energi dalam tubuhnya agar terpusat sehingga dapat digunakan untuk suatu tujuan. Seperti dalam ajaran Hindu, Tuhan melakukan tapa untuk melakukan penciptaan semesta.

Lanjut, mari kita tengok istilah unik selanjutnya: temmo ghellâng dan temmo ghellâm.

 

Temmo ghellâng

 

Kita mulai dari “temmo ghellâng“. Istilah ini masih erat kaitannya dengan tapa’ ḍângḍâng; bahwa doeloe, menurut sejarah lisan masyarakat Madura, ada sebuah tirakat kesehatan sekaligus untuk melatih kanuragan yang hanya bisa dilakukan di tempat ini.

 

“Tèrakat temmo ghellâng nyamana,” sebut salah seorang teman penulis, Nihrawi, yang pernah melakukan tirakat jenis ini.

 

“Dhullu, aḍhâsar pètodhuna ghuru, sèngko’ toman ajhâlân tèrakat temmo ghellâng. Maksoddhâ, ajhâlân ḍâri bujhellâ tapak ḍângḍâng teppa’ neng è parempadhân Pasar Canḍhi: alènglèng ka ḍâjâ sampè’ ḍâpa’ ka Lombâng, terros ka bârâ’ ka parempadhân Pasar Legghung, ka lao’ ka parempadhân Kacamadhân Tang-Bhâtang, terros ka tèmor sampè’ ḍâpa’ polè ka tengnga’anna parempadhân Pasar Canḍhi,” tuturnya menggunakan bahasa Madura.

 

Dulu, kata dia, berdasarkan petunjuk dari gurunya, ia pernah berjalan tirakat temu gelang, yakni berjalan mulai dari pusat perempatan Pasar Candi, (Kecamatan Dungkek, Sumenep, Madura, red) menuju perempatan ke arah Pantai Lombang, terus ke barat menuju perempatan Pasar Legung, (terus berjalan menuju) ke selatan arah Kantor Kecamatan Batang-batang, dan kembali menuju pusat perempatan Pasar Candi.

 

“Jârèya èlakonè sabbhân bulân, sabbhân malem Jumat Manès, molaè kol ḍubellâs ka buḍi. Biyasana sampe’ empa’ Jumat Manès. Dhaddhi samalem rowa ollè saghellâng, samalem Jumat Manès ḍâtengngan èyulangè polè kantos ollè pa’ Jumat. Totok tèrakat temmo ghellâng, pas ngajhi abhâreng neng è Asta sè tèra’ ta’ adhâmar, è dhissa’, è tèmorra Pasar Canḍhi,” jhârna’ crètana kanca.

Tirakat atau riyadhah tersebut ia lakukan setiap bulan, tepatnya pada tengah malam Jumat Manis. Tirakat temu gelang harus berturut-turut dilakukan selama 4 malam Jumat Manis, alias tidak boleh putus (tobâng).

Pada napak tilas terakhir, setibanya kembali di titik perempatan Pasar Candi, sang guru pun memimpin pengajian Alquran, bertempat di sebuah Asta atau Bhuju’ yang terletak di tenggara Pasar Candi.

Okara Panotop

Ya, itulah sekilas gambaran tentang tapa’ ḍângḍâng dan tirakat temmo ghellâng. Jadi yang dimaksud dengan tirakat temmo ghellâng adalah napak tilas atau berjalan kaki setiap tengah malam bulan purnama, dimulai dari titik sebuah perempatan hingga kembali ke titik semula. Seluruh arah menuju titik tersebut harus tuntas dilalui.

Jika didefinisikan dalam bahasa Madura, temmo ghellâng èngghi ka’ḍinto alomampa alènglèng ḍâri sèttong kennengan kantos ḍâpa’ ka kennenganna polè.

Rèngkessèpon temmo ghellâng panèka tatemmona konco’ sareng bhungkèl, manabi epalèngker dhâddhina akadhiyâ ghellâng.

Ca’epon rèng kona, orèng sè mampo ajhâlân temmo ghellâng bhâkal dhâddhi orèng sè rajjhâ alias soghi tor ontong.

Sekadar tambahan, bahwa menurut sejarah lisan masyarakat setempat, di Pasar Candi Kecamatan Dungkek Sumenep ini ada sebuah situs dimana tempat tersebut tidak pernah kepanasan dan tak pernah kahujanan.

Ca’epon rèng kona, orèng sè mampo ajhâlân temmo ghellâng tor bisa ngoladhi situs kasebbhut bhâkal dhâddhi orèng sè rajjhâ alias soghi tor ontong.

Nah, untuk bisa melihat atau menemukan situs tersebut, butuh tirakat khusus. Ya, salah satunya adalah dengan tirakat temmo ghellâng dari titik tapa’ ḍângḍâng Pasar Canḍhi.

Temmo Ghellâm

Ada yang mengatakan temmo ghellâng dengan istilah temmo ghellâm. Tentu saja dua istilah tersebut beda makna. Ghellâng itu perhiasan melingkar, sementara ghellâm adalah nama kayu; kaju ghellâm, kata orang Madura.

Ciri-ciri kayu gelam adalah warnanya yang mencolok kemerah-merahan. Biasanya kayu ini digunakan untuk penyangga atap rumah (osok dan rèng-errèng).

Ya, jadi yang benar adalah temmo ghellâng, bukan temmo ghellâm. Wallahu a’lam dan mator sakalangkong. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *