NEWS SUMENEP, DIMADURA–Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur, masih menunjukkan angka yang tinggi dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Sumenep melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sepanjang 2022 hingga pertengahan 2025, tercatat sebanyak 156 kasus kekerasan terjadi, baik terhadap perempuan maupun anak.
Rinciannya, pada tahun 2022 tercatat 40 kasus, 2023 menurun menjadi 34 kasus, kemudian melonjak tajam pada 2024 menjadi 50 kasus, dan hingga Juni 2025 tercatat 32 kasus.
UPT PPA mencatat, jenis kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pencabulan/persetubuhan terhadap anak, dan penganiayaan.
Pada tahun 2022, terdapat 11 kasus KDRT terhadap perempuan, serta 7 kasus penelantaran perempuan.
Sementara itu, kasus pencabulan terhadap anak tercatat 17 kasus di tahun 2023 dan 16 kasus di 2024. Hingga pertengahan 2025, sudah ada 6 kasus serupa.
”Kekerasan seksual dan KDRT masih menjadi kasus tertinggi yang kami tangani. Korbannya sebagian besar perempuan dan anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar,” ujar Kepala Dinsos P3A Kabupaten Sumenep, Mustangin Selasa (17/6/2025).
Tak hanya kekerasan fisik dan seksual, menurutnya, UPT PPA juga mencatat berbagai bentuk kekerasan lain seperti pelecehan seksual, bullying, perebutan hak asuh anak, hingga penelantaran bayi.
Bahkan, pada 2024 dan 2025 masing-masing ditemukan 1-2 kasus bawa lari anak dan perceraian yang berdampak langsung pada anak.
Data juga menunjukkan adanya tindak pidana lain yang melibatkan anak sebagai pelaku (Anak yang Berhadapan dengan Hukum/ABH), seperti pencabulan, pembunuhan, narkoba, dan pencurian, meskipun jumlahnya relatif kecil.
Secara keseluruhan, pada 2024 kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 19, sedangkan terhadap anak mencapai 31.
Sementara pada semester pertama 2025, kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat 16 dan terhadap anak juga 16.
Mustangin menambahkan, faktor pemicu utama dari tingginya kasus kekerasan ini mencakup minimnya edukasi soal kesetaraan gender, lemahnya kontrol sosial, dan masih tingginya budaya patriarki di lingkungan keluarga.

Ia juga mengungkapkan bahwa Dinsos P3A Sumenep terus menggencarkan sosialisasi perlindungan anak dan perempuan, serta menjalin kerja sama lintas sektor, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga organisasi masyarakat sipil guna sebagai upaya pencegahan.
“Penanganan dan pencegahan kasus kekerasan ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Dibutuhkan peran aktif dari masyarakat, terutama dalam melaporkan dan memberikan pendampingan awal kepada korban,” tegas Mustangin.***